Sang sopir nampak terkejut dengan permintaanku. Matanya sedikit
membelalak. Meski tak terlalu kentara, tapi jelas itu adalah tatapan
kaget. Mata kami kembali beradu di kaca spion dan memang itulah yang
kuharapkan. Aku ingin melihat lagi mata yang sepertinya kukenal. Ada
perasaan aneh saat hal itu terjadi pagi tadi. Kami baru pertama kali
bertemu tapi entah kenapa aku merasa tak asing. Reaksinya kali ini yang
segera mengalihkan pandangan pun menyiratkan sesuatu dan makin
memperkuat keyakinanku...
"Bagaimana? Paman Sopir Taksi HWANG...? Apakah anda bisa mengantar-jemputku setiap hari??"
"Bagaimana? Paman Sopir Taksi HWANG...? Apakah anda bisa mengantar-jemputku setiap hari??"
CIIIITTTT.... suara ban yang bergesekan dengan aspal sungguh memekakan telinga. Tubuhku hampir terlempar jika saja sabuk keselamatan tak terpasang dengan benar. Tak ada yang lebih menakutkan bagiku selain munculnya lagi kenangan itu. Kenangan yang tiba-tiba melompat ke dalam benak bersamaan dengan decit rem yang membuat keringat dingin langsung mengalir deras di pelipis dan kedua telapak tanganku. Sopir itu menginjak pedal rem secara mendadak saat aku menyebut nama "Hwang".
"Maaf nona, saya menghindari kendaraan yang tiba-tiba muncul dari arah depan. Apa anda baik-baik saja?" kali ini suara seraknya terdengar cukup panjang dan jelas. Aku mengenali suaranya. Tapi pikiranku benar-benar blur.
"Nona, apa anda baik-baik saja?" tanya orang itu lagi.
"Nona, apa anda baik-baik saja?" tanya orang itu lagi.
"Apa kau masih akan seperti ini? Hah?" tanyaku seraya mengusap lelehan air mata yang mengalir perlahan.
"Maaf... sekali lagi saya mohon maaf..." serunya lagi. Suaranya tak lagi serak, tapi dia masih tetap bersikeras. Aku bisa mendengar helaan nafasnya saat taksi kembali melaju.
"Hentikan mobilnya!"
"Apakah anda akan turun di sini?" tanyanya tak yakin.
"BERHENTI, KATAKU!!"
Bluk! Kubanting pintu dengan keras begitu berhasil meloloskan diri dari dalam taksi...
"Nona... nona... " suara itu rupanya mengikutiku.
"Wae? Apa kau sudah berubah pikiran??" tanyaku pada si sopir taksi.
"Anu... maaf nona, saya benar-benar tidak mengerti maksud anda. Tapi..."
"Tapi apa??" gertakku kasar.
"Tapi... anda belum membayar ongkos taksinya..."
DUENG~ sial!
"Ish..." dengan muka merah antara malu dan kesal kukeluarkan sejumlah uang untuk membayar. Tadinya kupikir dia akan segera mengaku, tapi rupanya dia lebih tertarik pada ongkos taksi. "Aku kecewa padamu!" lanjutku.
* * * *
Padahal jarak ke rumah hanya tinggal beberapa ratus meter, tapi bila berjalan di sore musim panas yang terik seperti ini, rasanya... fiuuuhhh.
"Aku pulaang...." ucapku sambil memindai sekeliling ruangan.
"Kau sudah pulang?" aku dikejutkan oleh suara Chansung yang menyapa sambil bergelayut manja di atas sofa ruang keluarga. Tingkahnya seperti anak kucing yang menyambut majikan.
"Kau...?" tanyaku heran.
"Kau seperti baru melihat hantu saja. Kenapa?" Chansung mencecarku.
"Tidak! Kau pasti sedang membodohiku!" teriakku sambil berlari ke kamar.
Apa ini? Apa aku sudah gila? Bagaimana bisa Chansung sedang bersantai di rumah?? Benar-benar tak masuk akal...
* * * *
Sejak pulang dari rumah Guru Kim hingga selesai makan malam ini, aku masih mengacuhkan Chansung. Berulangkali dia mencoba mengajakku bicara tapi kuabaikan. Marah, kecewa, entahlah perasaan apa lagi yang kurasakan.
"Hannie..." Cansung berteriak dari luar kamarku. "Aku tahu kau belum tidur... bisa kita bicara?" tanyanya lagi.
Bimbang. Apakah aku akan membiarkannya masuk atau diam saja dan pura-pura tidur...
"Han Dain, kumohon... Apapun itu, aku minta maaf... Tapi tolong jangan seperti ini" pinta Chansung. Kali ini dengan suara pelan.
"Salahmu sendiri kenapa membohongiku..." ucapku dalam hati.
"Hannie... kau tega membiarkanku berdiri di sini?"
"Aku tak minta kau berdiri di situ!" jawabku. Akh... spontan aku langsung menepuk jidat setelah tanpa sadar menjawab pertanyaan Chansung. Padahal tadinya akan pura-pura tidur, tapi malah keceplosan.
"YA! Kau belum tidur. Ayolaahhh.... ijinkan aku masuk, lima meniiittt saja!" bujuk Chansung dengan semangat.
"Janji hanya lima menit?"
"Iya... iya hanya lima menit. Mungkin lebih kalau kau nanti masih merindukanku..." jawabnya.
"Ish... tak akan kubuka!"
"Ya... ya...! Han Dain..."
Aku membiarkannya beberapa saat sembari memikirkan berbagai kemungkinan. Jika tak kuijinkan masuk, Chansung pasti akan berkemah di depan kamarku, lalu kalau dia sampai sakit gara-gara tidur di sana... aku akan didera rasa bersalah yang berkepanjangan.
"Masuklah!" akhirnya...
"Hee..." Chansung menyeringai tepat di depan wajahku.
"Lima menit!" seruku sambil mengacungkan lima jari.
"Baiklah... aku hanya ingin minta maaf..." ujar Chansung sambil mengekor di belakangku. Bahkan dia menata tempat tidur agar kami bisa mengobrol dengan nyaman lalu menyilakanku duduk.
"Apa yang membuatmu tiba-tiba ingin minta maaf?" tanyaku malas.
"Aku... aku tak tahan... Kau tak pernah mendiamkanku seperti ini..."
"Ish... aku tak suka dramamu!"
"Baiklah... aku salah tak memberitahumu sejak awal. Kupikir kau tak akan mengetahuinya sampai semua ini selesai..."
"Jadi kau memang tak berniat memberitahuku?? Keterlaluan!" kupalingkan muka dari Chansung. Aku memang belum pernah sekesal ini padanya. Apapun selalu kuceritakan padanya, tapi dia...
"Ya~ tentu aku akan memberitahumu di saat yang tepat nanti. Aku... tak ingin membuatmu khawatir. Aku tahu kau sangat peduli padaku..."
"HWANG CHANSUNG!!"
"Arasseo... arasseo... mianhae...! Aku sungguh tak ingin membuatmu khawatir. Kau sudah membantuku membuat rekaman hagwon. Perhatianmu juga pasti terfokus padanya yang akan mengikuti kompetisi kan? Aku tak ingin membebanimu..."
"Kau pikir aku ini apa? Apa artinya kebersamaan kita selama ini? Untuk hal serius seperti ini kau masih memikirkan tentang membebaniku??" tanyaku sambil terisak.
"Ya~" Chansung menghapus air mata di pipiku. Dia mendekap sangat erat... "Maafkan aku, Han Dain... Maafkan aku... "
"Untuk apa kau melakukan semua ini?"
"Kau ingat perdebatanku dengan appa tentang audisi?"
"Hmm... aku ingat..." jawabku sambil menarik diri dari dekapan Chansung.
"Appa memperbolehkanku mengikuti audisi dan bersedia menandatangani surat persetujuan orang tua......"
"Bukankah itu bagus?"
"Tapi aku harus keluar dari rumah ini..." lanjut Chansung.
"Apa??" tanyaku tak mengerti.
"Benar, aku boleh mengikuti audisi tapi harus melepas nama Hwang dari namaku"
"Apa?? Tapi... mungkin kau hanya salah paham atau salah mengerti dengan maksud appa-mu?"
"Aku meminta waktu enam bulan untuk tetap tinggal di sini sampai mendapatkan apartemen murah dan mengumpulkan uang"
"Ini... Chansung, aku... "
"Aku tahu kau mungkin meragukan ceritaku. Tapi inilah yang terjadi... Aku juga berharap semua ini hanya mimpi buruk. Tapi, mungkin sekarang memang sudah saatnya bagiku belajar jadi orang dewasa dan bertanggung jawab pada keputusan yang kuambil..."
Aku sangat ingin tak mempercayai cerita Chansung. Tapi dia tak akan berbohong untuk hal semacam ini. Paman...? Bibi...? Mereka adalah orang yang merawatku sejak orang tuaku meninggal. Tapi Chansung juga adalah orang yang tak pernah meninggalkanku saat aku terpuruk... Apa yang harus kulakukan sekarang?? Harus di pihak mana aku berada?
"Hannie... tak usah khawatir berlebihan seperti itu. Aku tak se-menyedihkan yang kau bayangkan..." ujar Chansung sambil tertawa dan memegang kedua bahuku.
"Apa yang harus kulakukan, Channie...?"
"Emm, yang harus kau lakukan adalah... nikmati liburanmu, lalu nanti sekolah seperti biasanya, buat rekaman hagwon untukku seperti biasanya, lakukan hobi memasakmu seperti biasanya, apa lagi ya? Ah ya... mendukung si kasar itu seperti yang selama ini kau lakukan, kudengar dia kalah di kompetisi dance itu kan? Haha, kasihan sekali... Dia memang tak sehebat seorang Hwang Chansung. Ah tidak! Mungkin namaku nanti hanya Chansung... Hahaha..."
"Chansung..." Aku tak tahan lagi. Kubenamkan kepalaku di dada bidangnya.
"Ya~ Kau pasti sangat merindukanku karena belakangan ini kita jarang berbicara seperti ini!? Hahaha... Maafkan aku ya... Aku terlalu lelah sampai-sampai tak pernah menanyakan kabarmu. Aku tak tahu kalau kau akan serindu ini..."
Chansung... Bagaimana mungkin dia masih memikirkan orang lain?! Bahkan selama ini dia selalu terlihat baik-baik saja. Sekarang pun dia masih berusaha terlihat konyol dan tertawa. Padahal yang sedang bertengger di pundaknya bukanlah beban yang ringan.
"Enam bulan itu... berapa lama lagi?" tanyaku
"Hehe, kau meragukan kemampuanku? Uangku sudah hampir terkumpul untuk sekedar menyewa apartemen murah..." jawab Chansung penuh percaya diri.
"Berapa lama lagi?" ulangku.
"Satu bulan lagi..."
"Bagaimana dengan ujian dan kompetisi taekwondo-mu?"
"Ooh, aku lupa memberitahumu kalau kompetisinya sudah kulewati dengan sukses. Medali perak sudah di tangan, tapi... aku masih harus mengulang ujiannya..." jawabnya dengan sedikit cemberut.
"Ah~ kupikir itu hebat" hiburku. Sebisa mungkin aku ingin terlihat biasa saja untuk tetap menjaga perasaannya.
"Hmm... harusnya aku mendapat emas agar senyummu lebih lebar dari ini. Apa kau mulai kagum padaku, hah? Lihatlah betapa kerennya aku! Hehe... Walau sibuk bekerja, pencapaianku tak terlalu buruk kan?"
"Aku benci padamu... Kau menanggung semua ini sendiri tanpa memberitahuku sama sekali. Aku merasa tak berarti dan tak berguna... Aku membencimu Hwang Chansung...!!"
"Hannie..." Chansung kembali mendekapku. Lengan-lengan kekarnya melingkar penuh di sekeliling bahu.
* * * *
Cerita Chansung membuatku tak bisa tidur. Apa yang bisa kulakukan untuk membantunya? Meminjamkan uang tabungan, sudah pasti akan ditolaknya mentah-mentah. Membujuk paman? Bagaimana caranya? Aah... aku benar-benar tak berguna. Chansung selalu peka setiap kali aku ada masalah, tapi aku sama sekali tak menyadari kesulitan yang dialaminya. Jiyong benar, aku memang bodoh...
* * * *
Sarapan kali ini terasa berbeda. Suasananya benar-benar dingin. Baru kusadari kalau beberapa bulan ini paman dan Chansung tak saling bicara saat sarapan. Aku masih tak habis pikir, apa sebenarnya alasan di balik sikap paman pada Chansung.
Chansung yang selesai sarapan lebih dulu segera berpamitan. Aku bergegas menyusulnya.
"Kenapa kau mengikutiku?" tanya Chansung.
"Aku ingin tahu apa yang kau lakukan" jawabku tanpa berhenti sedikitpun mengikutinya. Kami berjalan menuju sebuah pangkalan taksi di pinggiran kota tak jauh dari rumah.
"Kau membawa adikmu?" salah seorang pria paruh baya berkemeja biru muda yang sedang berkumpul bersama pria berkemeja biru muda lainnya menyapa Chansung dengan wajah penuh tanda tanya. Tak heran, mungkin dia merasa aneh melihat kehadiranku yang tak biasa.
"Aku penumpang pertamanya..." jawabku segera.
"Sudahlah ayo masuk! Ahjussi-ahjussi ini tak bisa melihat perempuan cantik..." seloroh Chansung sambil melambaikan tangan ke arah kerumunan pria berseragam itu.
"Kau tak akan memperkenalkannya pada kami?" tanya pria berseragam yang lain.
"Lain kali saja..." Chansung segera memacu mobil meninggalkan pangkalan.
* * * *
Chansung menurunkanku tepat di depan toko musik Guru Kim setelah kami berputar-putar dan berbincang mengenai banyak hal. Dia akan nyopir sampai jam lima sore lalu berlatih fisik untuk persiapan ujian ulang sampai jam delapan malam. Setelah itu, Chansung mendapat jatah dua shift menjadi waiter di suatu cafe hingga jam sebelas. Selanjutnya, yang paling membuatku khawatir, dia akan bertugas sebagai bartender di cafe lain hingga jam dua pagi. Menurut Chansung, manajernya di cafe itu memberi keringanan waktu bekerja karena dia masih pelajar.
Sebelum sekolah libur, Chansung hanya bekerja selama enam jam terhitung dari selesai latihan intensif taekwondo di jam delapan malam. Sekarang, waktu senggangnya lebih banyak sehingga mengambil jatah nyopir lebih banyak pula. Chansung tak ingin menyia-nyiakan waktunya agar bisa mendapat penghasilan tambahan.
Aku memandangi taksi yang perlahan menjauh. Pikiranku tak bisa lepas dari Chansung begitu saja meski sekarang akan menemui Jiyong...
* * * *
* * * *
Sejak pulang dari rumah Guru Kim hingga selesai makan malam ini, aku masih mengacuhkan Chansung. Berulangkali dia mencoba mengajakku bicara tapi kuabaikan. Marah, kecewa, entahlah perasaan apa lagi yang kurasakan.
"Hannie..." Cansung berteriak dari luar kamarku. "Aku tahu kau belum tidur... bisa kita bicara?" tanyanya lagi.
Bimbang. Apakah aku akan membiarkannya masuk atau diam saja dan pura-pura tidur...
"Han Dain, kumohon... Apapun itu, aku minta maaf... Tapi tolong jangan seperti ini" pinta Chansung. Kali ini dengan suara pelan.
"Salahmu sendiri kenapa membohongiku..." ucapku dalam hati.
"Hannie... kau tega membiarkanku berdiri di sini?"
"Aku tak minta kau berdiri di situ!" jawabku. Akh... spontan aku langsung menepuk jidat setelah tanpa sadar menjawab pertanyaan Chansung. Padahal tadinya akan pura-pura tidur, tapi malah keceplosan.
"YA! Kau belum tidur. Ayolaahhh.... ijinkan aku masuk, lima meniiittt saja!" bujuk Chansung dengan semangat.
"Janji hanya lima menit?"
"Iya... iya hanya lima menit. Mungkin lebih kalau kau nanti masih merindukanku..." jawabnya.
"Ish... tak akan kubuka!"
"Ya... ya...! Han Dain..."
Aku membiarkannya beberapa saat sembari memikirkan berbagai kemungkinan. Jika tak kuijinkan masuk, Chansung pasti akan berkemah di depan kamarku, lalu kalau dia sampai sakit gara-gara tidur di sana... aku akan didera rasa bersalah yang berkepanjangan.
"Masuklah!" akhirnya...
"Hee..." Chansung menyeringai tepat di depan wajahku.
"Lima menit!" seruku sambil mengacungkan lima jari.
"Baiklah... aku hanya ingin minta maaf..." ujar Chansung sambil mengekor di belakangku. Bahkan dia menata tempat tidur agar kami bisa mengobrol dengan nyaman lalu menyilakanku duduk.
"Apa yang membuatmu tiba-tiba ingin minta maaf?" tanyaku malas.
"Aku... aku tak tahan... Kau tak pernah mendiamkanku seperti ini..."
"Ish... aku tak suka dramamu!"
"Baiklah... aku salah tak memberitahumu sejak awal. Kupikir kau tak akan mengetahuinya sampai semua ini selesai..."
"Jadi kau memang tak berniat memberitahuku?? Keterlaluan!" kupalingkan muka dari Chansung. Aku memang belum pernah sekesal ini padanya. Apapun selalu kuceritakan padanya, tapi dia...
"Ya~ tentu aku akan memberitahumu di saat yang tepat nanti. Aku... tak ingin membuatmu khawatir. Aku tahu kau sangat peduli padaku..."
"HWANG CHANSUNG!!"
"Arasseo... arasseo... mianhae...! Aku sungguh tak ingin membuatmu khawatir. Kau sudah membantuku membuat rekaman hagwon. Perhatianmu juga pasti terfokus padanya yang akan mengikuti kompetisi kan? Aku tak ingin membebanimu..."
"Kau pikir aku ini apa? Apa artinya kebersamaan kita selama ini? Untuk hal serius seperti ini kau masih memikirkan tentang membebaniku??" tanyaku sambil terisak.
"Ya~" Chansung menghapus air mata di pipiku. Dia mendekap sangat erat... "Maafkan aku, Han Dain... Maafkan aku... "
"Untuk apa kau melakukan semua ini?"
"Kau ingat perdebatanku dengan appa tentang audisi?"
"Hmm... aku ingat..." jawabku sambil menarik diri dari dekapan Chansung.
"Appa memperbolehkanku mengikuti audisi dan bersedia menandatangani surat persetujuan orang tua......"
"Bukankah itu bagus?"
"Tapi aku harus keluar dari rumah ini..." lanjut Chansung.
"Apa??" tanyaku tak mengerti.
"Benar, aku boleh mengikuti audisi tapi harus melepas nama Hwang dari namaku"
"Apa?? Tapi... mungkin kau hanya salah paham atau salah mengerti dengan maksud appa-mu?"
"Aku meminta waktu enam bulan untuk tetap tinggal di sini sampai mendapatkan apartemen murah dan mengumpulkan uang"
"Ini... Chansung, aku... "
"Aku tahu kau mungkin meragukan ceritaku. Tapi inilah yang terjadi... Aku juga berharap semua ini hanya mimpi buruk. Tapi, mungkin sekarang memang sudah saatnya bagiku belajar jadi orang dewasa dan bertanggung jawab pada keputusan yang kuambil..."
Aku sangat ingin tak mempercayai cerita Chansung. Tapi dia tak akan berbohong untuk hal semacam ini. Paman...? Bibi...? Mereka adalah orang yang merawatku sejak orang tuaku meninggal. Tapi Chansung juga adalah orang yang tak pernah meninggalkanku saat aku terpuruk... Apa yang harus kulakukan sekarang?? Harus di pihak mana aku berada?
"Hannie... tak usah khawatir berlebihan seperti itu. Aku tak se-menyedihkan yang kau bayangkan..." ujar Chansung sambil tertawa dan memegang kedua bahuku.
"Apa yang harus kulakukan, Channie...?"
"Emm, yang harus kau lakukan adalah... nikmati liburanmu, lalu nanti sekolah seperti biasanya, buat rekaman hagwon untukku seperti biasanya, lakukan hobi memasakmu seperti biasanya, apa lagi ya? Ah ya... mendukung si kasar itu seperti yang selama ini kau lakukan, kudengar dia kalah di kompetisi dance itu kan? Haha, kasihan sekali... Dia memang tak sehebat seorang Hwang Chansung. Ah tidak! Mungkin namaku nanti hanya Chansung... Hahaha..."
"Chansung..." Aku tak tahan lagi. Kubenamkan kepalaku di dada bidangnya.
"Ya~ Kau pasti sangat merindukanku karena belakangan ini kita jarang berbicara seperti ini!? Hahaha... Maafkan aku ya... Aku terlalu lelah sampai-sampai tak pernah menanyakan kabarmu. Aku tak tahu kalau kau akan serindu ini..."
Chansung... Bagaimana mungkin dia masih memikirkan orang lain?! Bahkan selama ini dia selalu terlihat baik-baik saja. Sekarang pun dia masih berusaha terlihat konyol dan tertawa. Padahal yang sedang bertengger di pundaknya bukanlah beban yang ringan.
"Enam bulan itu... berapa lama lagi?" tanyaku
"Hehe, kau meragukan kemampuanku? Uangku sudah hampir terkumpul untuk sekedar menyewa apartemen murah..." jawab Chansung penuh percaya diri.
"Berapa lama lagi?" ulangku.
"Satu bulan lagi..."
"Bagaimana dengan ujian dan kompetisi taekwondo-mu?"
"Ooh, aku lupa memberitahumu kalau kompetisinya sudah kulewati dengan sukses. Medali perak sudah di tangan, tapi... aku masih harus mengulang ujiannya..." jawabnya dengan sedikit cemberut.
"Ah~ kupikir itu hebat" hiburku. Sebisa mungkin aku ingin terlihat biasa saja untuk tetap menjaga perasaannya.
"Hmm... harusnya aku mendapat emas agar senyummu lebih lebar dari ini. Apa kau mulai kagum padaku, hah? Lihatlah betapa kerennya aku! Hehe... Walau sibuk bekerja, pencapaianku tak terlalu buruk kan?"
"Aku benci padamu... Kau menanggung semua ini sendiri tanpa memberitahuku sama sekali. Aku merasa tak berarti dan tak berguna... Aku membencimu Hwang Chansung...!!"
"Hannie..." Chansung kembali mendekapku. Lengan-lengan kekarnya melingkar penuh di sekeliling bahu.
* * * *
Cerita Chansung membuatku tak bisa tidur. Apa yang bisa kulakukan untuk membantunya? Meminjamkan uang tabungan, sudah pasti akan ditolaknya mentah-mentah. Membujuk paman? Bagaimana caranya? Aah... aku benar-benar tak berguna. Chansung selalu peka setiap kali aku ada masalah, tapi aku sama sekali tak menyadari kesulitan yang dialaminya. Jiyong benar, aku memang bodoh...
* * * *
Sarapan kali ini terasa berbeda. Suasananya benar-benar dingin. Baru kusadari kalau beberapa bulan ini paman dan Chansung tak saling bicara saat sarapan. Aku masih tak habis pikir, apa sebenarnya alasan di balik sikap paman pada Chansung.
Chansung yang selesai sarapan lebih dulu segera berpamitan. Aku bergegas menyusulnya.
"Kenapa kau mengikutiku?" tanya Chansung.
"Aku ingin tahu apa yang kau lakukan" jawabku tanpa berhenti sedikitpun mengikutinya. Kami berjalan menuju sebuah pangkalan taksi di pinggiran kota tak jauh dari rumah.
"Kau membawa adikmu?" salah seorang pria paruh baya berkemeja biru muda yang sedang berkumpul bersama pria berkemeja biru muda lainnya menyapa Chansung dengan wajah penuh tanda tanya. Tak heran, mungkin dia merasa aneh melihat kehadiranku yang tak biasa.
"Aku penumpang pertamanya..." jawabku segera.
"Sudahlah ayo masuk! Ahjussi-ahjussi ini tak bisa melihat perempuan cantik..." seloroh Chansung sambil melambaikan tangan ke arah kerumunan pria berseragam itu.
"Kau tak akan memperkenalkannya pada kami?" tanya pria berseragam yang lain.
"Lain kali saja..." Chansung segera memacu mobil meninggalkan pangkalan.
* * * *
Chansung menurunkanku tepat di depan toko musik Guru Kim setelah kami berputar-putar dan berbincang mengenai banyak hal. Dia akan nyopir sampai jam lima sore lalu berlatih fisik untuk persiapan ujian ulang sampai jam delapan malam. Setelah itu, Chansung mendapat jatah dua shift menjadi waiter di suatu cafe hingga jam sebelas. Selanjutnya, yang paling membuatku khawatir, dia akan bertugas sebagai bartender di cafe lain hingga jam dua pagi. Menurut Chansung, manajernya di cafe itu memberi keringanan waktu bekerja karena dia masih pelajar.
Sebelum sekolah libur, Chansung hanya bekerja selama enam jam terhitung dari selesai latihan intensif taekwondo di jam delapan malam. Sekarang, waktu senggangnya lebih banyak sehingga mengambil jatah nyopir lebih banyak pula. Chansung tak ingin menyia-nyiakan waktunya agar bisa mendapat penghasilan tambahan.
Aku memandangi taksi yang perlahan menjauh. Pikiranku tak bisa lepas dari Chansung begitu saja meski sekarang akan menemui Jiyong...
* * * *
-bersambung-
No comments:
Post a Comment