March 2, 2014

Angel Spring - Part 13

"Channie..."

"hem..."

"kenapa bisa tiba-tiba menjemputku? dari mana kau tahu aku ada di sana?"

"memangnya apa yang aku tak tahu tentangmu? bahkan kebiasaanmu saat tidur pun aku tahu..."

"ooh, begitu ya?! hemm..."

* * * *

ting...ting... ~ tuing...tuing...

"yeoboseo..." sapaku tanpa melihat siapa yang menelepon.

"masih tidur?"

Ah, siapa ini? segera kuamati baik-baik nama yang tertera di layar.

"Oh, Kwon Jiyong... he, baru saja akan bangun" jawabku bohong. Padahal aku benar-benar masih di alam mimpi saat ponsel berbunyi, tadi. "Bagaimana keadaanmu?"

"Jam 9 pagi ini sudah boleh pulang. Mau ke sini? Ah tidak, kau harus ke sini sekarang juga! Kuberi waktu 45 menit mulai dari sekarang! Aku menunggumu!!"

"Apa?"

"tut...tut...tut..."

YA! Dia menutup teleponnya? Apa maksudnya 45 menit harus sudah ada di sana? Segera kupanggil balik nomor Jiyong.

"Kenapa masih menelepon? Waktumu tinggal 40 menit! Cepatlah! Kau akan menyesal kalau sampai terlambat. Mandi cukup 2 menit saja, tak usah berdandan seperti tuan putri. Seperti biasanya saja, OK! Sudah ya!?" cerocos Jiyong.

"Heyy.... jangan dulu ditutup!! Apa maksudnya ini? Kenapa aku harus mengikuti kemauanmu?" teriakku. Tapi percuma, Jiyong sudah menutup telepon. Iish... apa maunya??

Aku segera turun dari tempat tidur dan menuju kamar mandi. Ini memang sudah musim panas, tapi mandi di pagi buta begini? Aaahh.... ini kan hari libur! Eh, bukankah semalam aku sedang di dalam mobil? Apa Chansung yang membawaku kemari? Rasanya samar-samar aku sempat menanyakan sesuatu padanya...

Setelah menyelesaikan kegiatan mandi kilat ala bebek, aku langsung bergegas mematut diri seperlunya. "Tak usah berdandang seperti tuan putri" , katanya. Siapa juga yang akan berdandan serepot itu. Sambil menyambar ponsel di atas meja, sekilas kulihat jam menunjukkan angka 08.40 AM. Berarti aku sudah menghabiskan waktu sekitar 20 menit sejak bangun tidur hingga rapi seperti sekarang. Pemecahan rekor yang sempurna. Biasanya 20 menit hanya habis untuk mandi saja, ditambah sedikit berdandan totalnya akan jadi 45 menit. Sekarang, dalam 45 menit aku sudah harus tiba di Rumah Sakit? Dia memamg ingin mengerjaiku. Kurasa Jiyong ingin balas dendam karena semalam aku memintanya membelikan jus lemon hanya dalam waktu 10 menit. Dasar.

Setengah berlari aku keluar kamar. Kulihat kamar Chansung masih rapat tanpa tanda-tanda vital kehidupan. Mungkin dia masih tidur atau malah sudah pergi. Latihan kah? Ah entahlah... 

"Bibi... aku pergi dulu, maaf tak membantumu menyiapkan sarapan, hehe..." sapaku pada Bibi Hwang yang sedang menata meja makan.

"Sayaang... kenapa lari-lari seperti itu? Hati-hati! Jangan lupa makan, nak!" teriak bibi di sela-sela aktivitasnya. Beliau memang sudah seperti ibuku. Kasih sayang yang ia berikan, tak berbeda dengan apa yang ia lakukan pada Chansung. Begitu pun paman. Itulah sebabnya kenapa aku tak merasa seperti kehilangan keluarga. 

* * * *

Jarak dari rumah ke rumah sakit memang tak jauh. Hanya memerlukan waktu 10 menit untuk sampai di sana dengan menggunakan taksi. Tapi apakah akan semudah itu mendapat taksi?! 

Oh...! Ternyata memang tak sesulit yang kukira. Seperti sebuah keajaiban, tiba-tiba sebuah taksi melintas tepat di depanku. Tanpa pikir panjang, tentu saja segera kuhentikan. 

"Rumah Sakit Pusat, Pak" pintaku pada sopir taksi. "Maaf, kalau bisa kemudikan dengan cepat. Saya hampir terlambat..." lanjutku.

Sopir taksi itu hanya mengangguk. Ada kesan misterius yang kurasakan. Dia memakai masker sehingga yang nampak jelas hanya bagian matanya saja dan saat mata kami tanpa sengaja saling bertabrakan di kaca spion, ia cepat-cepat mengalihkan pandangan. Aneh sekali. Apa sopir taksi ini seorang penjahat yang melarikan diri? Atau jangan-jangan penculik? Badan yang tegap dan proporsional rasanya terlalu bagus untuk seseorang dengan rambut yang mulai memutih di mana-mana itu. Ah, mungkin aku terlalu berlebihan. Tapi, matanya ituuu... sepertinya aku kenal...

* * * *

Perjalanan terlalu singkat untuk mengamati sopir taksi itu lebih jauh. Tapi ya sudahlah, aku sendiri punya hal yang jauh lebih penting untuk dilakukan. Lagipula dia hanya sopir taksi. Kecil kemungkinan kami akan bertemu lagi karena aku termasuk orang yang jarang menggunakan jasa taksi.

Jiyong bilang aku akan menyesal jika tak tiba tepat waktu. Apa maksudnya? Memangnya apa yang akan terjadi jika aku terlambat? Apa hal yang buruk akan terjadi padaku? Atau padanya? Aaah... membuatku penasaran saja!

Dengan berlari, kususuri lorong-demi lorong Rumah Sakit. Bahkan tadi aku harus melewati tangga darurat untuk sampai di lantai dua ini karena antrean penuh di depan elevator membuatku tak sabar menunggu, terutama karena aku tak ingin membuang waktu. Begitu memasuki ruangan tempat Jiyong dirawat, kulihat dia masih santai sambil memakan apel di tempat tidur. Youngbae Oppa yang asyik dengan ponselnya, sepertinya sedang bermain games, menclok di kursi tunggu.

"Hehe, akhirnya kau tiba juga" sambut Jiyong begitu melihatku memasuki ruangan. Youngbae Oppa pun segera menghentikan kegiatannya seraya menghampiri.

"Huuft... ada apa ini?" tanyaku.

"Kenapa kau terengah-engah begitu?" tanya Youngbae Oppa heran.

"Hem... aku tadi naik tangga karena lift penuh"

"Hahaha, apa kau berlari-lari? Hahaha..." Jiyong menertawakanku.

"Memangnya apa lagi yang akan kulakukan? Kau memintaku cepat-cepat datang, ada apa??" sungutku kesal.

"Kenapa harus cepat-cepat?" Youngbae Oppa sepertinya tidak mengerti dengan situasi yang terjadi. Dia memandangku dan Jiyong secara bergantian.

"Haha, bagaimana rasanya melakukan sesuatu dengan terburu-buru?" tanya Jiyong dengan wajah penuh kepuasan. Youngbae Oppa hampir terbahak mendengar jawaban Jiyong, tapi kemudian kembali mengatur ekpresi saat aku menatapnya tajam.

"Kau benar-benar...!" aku hanya menarik nafas panjang menyadari yang baru saja terjadi. Ingin marah, tapi rasanya percuma juga.

"Han Dain sudah di sini?" Guru Kim yang baru masuk tersenyum melihat keberadaanku.

"Ah, selamat pagi sonsaengnim" sapaku. "Saya baru tiba setelah tadi dikejar-kejar siluman naga" lanjutku sambil melirik Jiyong dengan sinis.

"Siluman naga?" Guru Kim mengerenyitkan dahi.

"Maksudnya dia tergesa-gesa karena khawatir padaku, hyung" jawab Jiyong percaya diri. Mendengarnya saja membuatku bergidik geli. Youngbae Oppa menepuk-nepuk pundakku sambil tersenyum seolah ingin mengatakan, "Kena kau! Sabar yaa!"

"Ooh... sejak tadi Jiyong memang tak sabar menunggu Han Dain" ujar Guru Kim sambil tersenyum hangat.

"Ah ya, benar itu.  Dia ingin segera tahu hasil kompetisi semalam. Sebenarnya aku sudah akan memberi tahunya, tapi dia melarangku berkata sepatah katapun sebelum kau datang" Youngbae Oppa menambahkan.

"Benarkah? Kenapa begitu? Jadi kau belum tahu hasilnya? Kenapa harus menungguku segala? Memangnya kau tak penasaran? Oppa, bagaimana?" tanyaku bertubi-tubi.

"Hem... awalnya aku juga tak tahu kenapa. Tapi setelah melihat kejadian barusan, aku baru sadar. Sepertinya kau ingin membuatnya menjadi spesial kan, Jiyongie? Sampai harus menunggu Han Dain..."

Jiyong hanya tersenyum sambil berpindah duduk ke sebuah kursi roda di samping tempat tidur. Yup, sekalian bersiap-siap.

"Aku jadi... Bagaimana mengatakannya ya? Hehe" Yongbae Oppa terlihat salah tingkah.

"Ok, hyung. Bagaimana hasilnya?" tanya Jiyong.

"Mungkin sebelumnya aku harus minta maaf. Aku tak tahu ini akan begitu spesial untuk Jiyong dan mungkin juga untuk Han Dain. Tapi..."

Kulihat Jiyong menatap Youngbae Oppa dengan mata berbinar. Perhatian Guru Kim juga tertuju pada Youngbae Oppa.

"...tapi aku benar-benar minta maaf SONG JIYONG..." lanjut Youngbae Oppa.

"Apa? Song Jiyong? Maksudnya..." tanyaku. Segera kualihkan pandangan pada Jiyong yang sejak tadi begitu antusias. Sekarang semua mata beralih padanya. Jiyong memalingkan wajah.

Aku memperhatikan Youngbae Oppa untuk mencari kemungkinan apakah ada tanda-tanda dia sedang bercanda ataukah tidak. Tapi wajah Youngbae Oppa benar-benar serius. Tak ada senyum atau setidaknya menahan senyum sedikitpun yang artinya Youngbae Oppa tidak main-main.

"Kwon Jiyong..." aku tak tahu bagaimana harus beraksi terhadap hal ini. Ingin sekali aku menggenggam tangannya atau bahkan merangkulnya lalu mengatakan, "It's OK, ini hanya sebuah kompetisi. Tak ada yang perlu disesali. Kau sudah berusaha dengan maksimal dan bisa mencoba lagi di lain kesempatan". Tapi aku ingat bagaimana dia menyingkirkan tanganku saat kami berbicara tentang kalung bintang hadiah dari ibunya. Sepertinya Jiyong tak suka mendapat perhatian yang seperti itu.

"Jadi aku harus berganti nama menjadi Song Jiyong..." Jiyong tersenyum tipis. Kami bisa melihat kalau itu adalah senyum yang dipaksakan. Ada raut kesedihan yang tak ingin Jiyong tunjukkan di hadapan kami.

Guru Kim memegang bahu Jiyong. Beliau pun sama membisunya sepertiku.

"Meskipun begitu, kau adalah runner-up dan mendapat banyak pujian dari para juri juga peserta lain. Mereka membicarakan kehebatanmu, apalagi setelah mereka tahu kalau kau sebenarnya sedang kurang fit..."

"Oppa..." aku menghentikan Youngbae Oppa. Ceritanya justru akan membuat Jiyong...

"Apa bagusnya mendapat pujian kalau mereka tahu keadaanku! Payah... Tak ada gunanya!" ujar Jiyong sambil menepis tangan Guru Kim dari bahunya lalu berdiri dari kursi roda. "Ayo kita pulang..." dia langsung melangkah keluar ruangan. Aku segera mengikutinya.

"Hey, Kwon Jiyong... tunggu aku!"

Sambil merangkulkan tangan di bahunya, aku berusaha membuat situasi jadi lebih nyaman dan ringan. "Ya~ karena tadi kau memintaku cepat-cepat datang, aku jadi belum sempat sarapan. Temani aku makan, OK! Aku ingin..."

"Aku tak berselera, pergi dengan Youngbae Hyung saja atau dengan Hwang Chansungmu..." Iish, dia ini. Kenapa malah menyuruhku pergi dengan orang lain. Padahal aku hanya ingin sedikit menghiburnya agar tak terlalu kecewa berlarut-larut.

"Kau ingin makan apa Han Dain?" Youngbae Oppa tiba-tiba menyambar. Oppa memang terkadang sedikit kurang peka dengan situasi. Dia malah menawarkan diri dan mengajakku segala... Tapi, mungkin ini kesempatan yang baik untuk membuat Jiyong kesal sekalian. Dia selalu bersikap seolah-olah dirinya tak pantas merasa nyaman, senang, tenang, atau sejenisnya.

"Oppa, temani aku ke supermarket saja yuk!"

"Dengan senang hati..." jawab Youngbae Oppa sambil tersenyum.

"Ok, kalau begitu kau pulang dengan Guru Kim saja ya... Nanti aku dan oppa menyusul. Sonsaengnim, kuserahkan Jiyong kepada anda..."

Guru Kim tersenyum melihat tingkahku. Tapi aku yakin sebenarnya beliau mengerti dengan tujuan sebenarnya. Aah... orang yang lebih dewasa memang berbeda. Hehe...

"Memangnya barang 'diserahkan' segala" seloroh Jiyong pelan.

Aku merangkul lengan Youngbae Oppa dan menariknya berlari. Dia masih sempat melambaikan tangan pada Jiyong sebelum kami berlomba dengan orang-orang yang akan menggunakan lift. Jiyong dan Guru Kim pasti harus menunggu sedikit lebih lama karena lift langsung turun begitu kami menginjakkan kaki dengan selamat di dalamnya.

* * * *

Tak banyak yang aku dan Youngbae Oppa lakukan di supermarket. Kami juga tak berbelanja. Sebenarnya kalau mau jujur, aku pun tak begitu lapar. Youngbae Oppa ternyata mengerti hal itu. Aku jadi malu telah menuduhnya 'tak begitu peka pada situasi'. Tapi karena memang belum sarapan, oppa mentraktirku makan di sebuah food court. 

"Sepertinya aku bukan orang spesial bagimu..." ujar Youngbae Oppa.

"Waeyo? Kenapa oppa berkata seperti itu?" tanyaku heran.

"Karena kau sama sekali tak menjaga image-mu saat makan. Kau makan dengan seenaknya, seperti tak peduli akan terlihat jelek atau buruk di mataku. Biasanya wanita akan menjaga image di hadapan pria, terutama pria yang dianggapnya istimewa. Apalagi kita hanya makan berdua seperti ini."

"Aah... oppa. Itu karena aku tak menganggap oppa orang asing, makanya aku bisa makan dengan nyaman tanpa harus berpura-pura anggun. Hehe..."

"Oowh, benarkah seperti itu? Kalau begitu aku jadi merasa spesial sekarang. Hahaha..."

"Hahaha... oppa bisa saja. Lagipula hal itu tak terpikirkan olehku. Makan berdua bersama Jiyong pun aku tetap seperti ini. Apakah wanita memang harus begitu ya kalau di depan pria?"

"Aah... jadi Jiyong itu istimewa ya, bagimu?"

"Apa? Aku tak berkata seperti itu. Kenapa oppa selalu menggodaku!"

"Baiklah... baiklah... aku mengerti. Hehe.."

"Jadi, apakah wanita memang harus seperti itu?" tanyaku penasaran.

"Hmm... sepertinya memang bukan aturan baku. Hanya saja, pada umumnya mereka demikian. Beberapa gadis yang pernah makan denganku pun melakukannya. Saat makan bersama untuk pertama atau kedua kali, mereka akan menjaga image. Lalu kemudian mulai lebih natural di kesempatan makan bersama berikutnya..."

"Waah... pasti oppa punya banyak teman wanita. Hahaha..."

"Ya... ya tidak seperti itu juga sih, hehe" oppa langsung memasukkan makanan dengan cepat ke dalam mulutnya.   
* * * *

Aku hampir saja berteriak saat memasuki toko musik Guru Kim sebelum akhirnya sadar kalau beliau sedang berbicara dengan pelanggan. Akhirnya, aku langsung naik ke lantai atas dalam keheningan. Kulihat Jiyong sedang... push up?  Ya, dia sedang push up di lantai dan langsung berhenti begitu melihatku.

"Kau? Sedang apa?" tanyaku heran. Bukan pertanyaan karena aku tak tahu apa yang dia lakukan, tapi lebih pada 'kenapa' dan 'untuk apa' dia melakukannya.

"Bodoh! Anak kecil saja akan tahu apa yang kulakukan" jawabnya sinis sambil menyeka keringat. Kaos yang dipakai Jiyong sudah basah, itu berarti dia sudah 'berolahraga' sejak tadi.

"Bukan begitu, tapi... Ah sudahlah bukan urusanku kan?"

"Ya! Ya! Jangan bilang kalau kalian bertengkar lagi..." seru Youngbae Oppa saat menampakkan diri di hadapan kami.

"Dia yang mulai bertingkah aneh..." tudingku.

"Kalian benar-benar dewasa" sindir Youngbae Oppa.

"Jus tomat-nanas ini baiknya kuapakan ya? Sudah terlanjur dibeli saat perjalanan pulang tadi..." aku memamerkan se-cup jus tomat-nanas. Kami memang sengaja membelinya untuk Jiyong, tapi sikapnya yang tak bersahabat membuatku enggan memberikan dengan cara yang manis.

Tak kuduga Jiyong langsung menyambar cup di tanganku dan mengeksekusi jus itu. Dia memperlihatkan ekspresi yang aneh saat pertama menyeruputnya.

"Rasanya tak seperti biasa..." komentarnya.

"Tentu saja, karena biasanya aku sendiri yang membuatnya di rumah. Itu kami beli di kedai jus" jawabku refleks.

"Pasti karena jus yang itu tidak ada sentuhan cintanya" goda Youngbae Oppa sambil terkekeh.

"Mulai lagi..." aku dan Jiyong serempak.

"Hahaha, itulah yang aku suka setiap kali menggoda kalian. Setelahnya kalian pasti akan memberikan reaksi yang seragam dan sama persis. Selalu!"

Lagi-lagi aku dan Jiyong terjebak permainan Youngbae Oppa. Kami mendengus sambil melipat tangan di depan dada yang (lagi-lagi) bersamaan. Membuat tawa Youngbae Oppa kian pecah.

* * * *

Aku memutuskan pulang ke rumah dengan kembali naik taksi dan menolak Jiyong yang bersikeras akan mengantar. Bukan karena tak ingin, tapi tak mau membuatnya kelelahan. Fisiknya belum pulih benar dan masih harus banyak istirahat. Begitu pesan dokter. Dasar naga keras kepala, siang tadi dia malah sudah berolahraga. Meski hanya olahraga ringan seperti push-up, tetap saja menguras tenaganya yang belum kembali 100%.

Sepertinya ada takdir yang Tuhan atur untukku dan sopir taksi misterius itu, aku menaiki taksi yang sama dengan yang tadi pagi mengantarku ke Rumah Sakit. Masker dan tubuh proporsional sang sopir yang sudah beruban hampir di seluruh kepala masih kuingat dengan jelas.

"Aah... paman yang tadi pagi mengantarku ke Rumah Sakit. Apa masih ingat padaku?" tanyaku pada si sopir.

Sopir itu hanya mengangguk. Tadi pagi pun ia tak banyak bicara. Emm... bahkan memang tak bicara sama sekali.

"Apa paman sudah lama mengemudi taksi?" pancingku. Aku ingin tahu apakah kali ini dia akan membuka suara atau masih akan membisu.

"Sudah sepuluh tahun" jawab sopir itu dengan suara yang serak. Hmm... jadi dia sedang batuk atau flu berat, makanya memakai masker dan bersuara serak. Beralasan tak ingin penumpangnya tertular kah? Atau ada alasan lain yang disembunyikannya?

"Wah... sudah lama juga. Emm, paman sepertinya sedang kurang sehat. Kenapa masih bekerja?" pertanyaanku sepertinya mulai bernada kurang sopan. Sopir itu tak menjawab.

"Ah~ maaf kalau saya kurang ajar. Saya hanya penasaran..." ujarku.

Aku biasanya tak seperti ini. Tapi ada sesuatu yang mengganggu. Berbagai kemungkinan dugaan bermunculan di kepalaku.

"Paman, bisakah mengantar jemputku ke sekolah setiap hari? Aku senang dengan cara menyetir paman..."

Sang sopir nampak terkejut dengan permintaanku. Matanya sedikit membelalak. Meski tak terlalu kentara, tapi jelas itu adalah tatapan kaget. Mata kami kembali beradu di kaca spion dan memang itulah yang kuharapkan. Aku ingin melihat lagi mata yang sepertinya kukenal. Ada perasaan aneh saat hal itu terjadi pagi tadi. Kami baru pertama kali bertemu tapi entah kenapa aku merasa tak asing. Reaksinya kali ini yang segera mengalihkan pandangan pun menyiratkan sesuatu dan makin memperkuat keyakinanku...

"Bagaimana? Paman sopir taksi...."

-bersambung-


Part 12 < Prev                    Next > Part 14

No comments: