"Hey, cepat kemari! Aku akan menunjukkan sesuatu padamu..." sambut Jiyong begitu melihatku di ambang pintu. Tumben sekali dia terlihat ceria. Benar-benar berbeda dari hari kemarin.
"Ceria sekali, apa kau salah minum obat? Perlukan kuantar menemui dokter? Sepertinya ada yang salah dengan obat yang kau minum..." ucapku datar.
"Hehe, coba kau lihat lirik yang baru kubuat...!" serunya sembari memperlihatkan selembar kertas.
"Kurasa ini seperti ungkapan cinta... Emm, entahlah bagiku terlihat seperti itu. Meski sama sekali tak ada kata cinta di dalamnya, tapi ini jelas sebuah perasaan yang mendalam"
"Jadi bagaimana menurutmu?"
"Hmm...O.K!"
"Hanya O.K saja?" Jiyong terdengar tak senang dengan komentarku.
"Apa aku harus melompat-lompat atau menari balet agar kau puas?"
"Ish... sudahlah!!" dia merebut kertas yang masih kupegang lalu meremas dan melemparnya sembarangan. Tanpa berkomentar aku langsung berjalan ke lantai dua. Kubiarkan Jiyong bergelut dengan kekesalan yang langsung terlihat dari raut wajahnya. Dia juga sepertinya tak menyadari saat aku memungut kembali kertas berisi lirik lagu yang dibuangnya itu.
* * * *
Di dapur, kulihat Guru Kim sedang menyiapkan sarapan, emm... mungkin lebih tepatnya makan siang. Segera kutawarkan diri untuk membantu. Guru Kim yang sudah kuanggap seperti kakak, tak keberatan aku turut merecoki acara memasaknya. Sejak lebih dekat dengan Jiyong, secara tidak langsung aku pun memang jadi lebih akrab dengan Guru Kim. Meski di sekolah kami tetap berperan sebagai guru dan murid, tapi di luar sekolah seperti ini, label guru-murid itu seolah menguap dengan sendirinya.
"Han Dain yang merajang sayuran, biar saya yang memasak" perintah Guru Kim dengan lembut.
Beliau memang benar-benar sosok kakak yang baik. Beruntung sekali Jiyong memiliki hyung seperti beliau. Entah bagaimana kini hubungan Jiyong dengan ibunya, tapi sekarang mungkin hanya Guru Kim lah keluarga yang paling dekat. Hubungan mereka memang unik, mereka seolah ditakdirkan untuk saling menjaga. Meski pernah kurang begitu akrab, yang terlihat saat ini justru sebaliknya.
"Ah...haruskah kuceritakan tentang Chansung pada Guru Kim? Yang sedang dialaminya bukanlah masalah yang tak serius. Bagaimana jika hubungannya dengan keluarga benar-benar harus terputus? Apa mungkin ini hanyalah kesalahpahaman? Apa yang harus kulakukan? Mana mungkin aku diam saja dan berpura-pura tak tahu apa-apa... Tapi, apa tak masalah jika aku bercerita pada Guru Kim? Mungkin Chansung tak akan senang..."
"HAN DAIN!" teriakan Guru Kim membuatku tersentak.
"Ah ne?" tanyaku kaget.
"Apa kau baik-baik saja?" Guru Kim memandangku dengan khawatir.
"Ne?"
"Kau hampir memotong jarimu! Apa kau sedang tidak sehat?" tanya Guru Kim lagi.
"Ne?" aku benar-benar terkejut saat melihat pisau sudah beberapa inchi di atas telunjuk, jari tengah, dan jari manisku. Guru Kim benar, jika saja aku tak mendengar teriakannya, mungkin aku sudah kehilangan tiga buah jari.
"Jeosonghamnida..." ucapku lirih.
Tiba-tiba saja Jiyong sudah menarik lenganku. Bahkan bisa juga kukatakan dia menyeret dengan kasar. Tak ada yang kulakukan selain mengikuti langkahnya. Di pintu toko kami berpapasan dengan Youngbae Oppa yang baru datang.
"YA, KWON JIYONG! Apa yang kau lakukan?" oppa berusaha menghentikan Jiyong yang masih menyeretku.
"Maaf hyung, aku ada urusan dengannya!" jawab Jiyong sambil terus melangkah. Aku sendiri hanya diam saja tanpa sepatah kata.
Jiyong membawaku ke sebuah padang ilalang tak jauh dari toko dan baru melepaskan tanganku di sana.
"Kau pikir kau ini malaikat? Ada apa denganmu? Apa yang kau lakukan? Hah? Mengabaikanku lalu hampir memotong jarimu sendiri?" tanya Jiyong bertubi-tubi sambil mengguncang bahuku.
"Aku... entahlah..." jawabku bingung.
Jiyong menarikku ke dalam pelukannya, "Maaf aku tak bermaksud kasar. Setidaknya ceritakan masalahmu agar aku bisa melindungimu..." kata-katanya tak lagi terlalu memburu. Hal seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya. Jiyong tak pernah terlihat benar-benar marah seperti barusan lalu memelukku sehangat ini.
"Kwon Jiyong aku... gomawo..." kubalas pelukan hangatnya. "Aku baik-baik saja, hanya saja... Chansung..." belum usai kalimat yang kukatakan Jiyong sudah langsung menjaga jarak.
"CHANSUNG?!" dia mendorongku. Baru beberapa detik merasakan kehangatannya, kini Jiyong seolah langsung mengempaskanku dari ketinggian. Aku benar-benar tak mengerti, sikapnya bisa tiba-tiba berubah dalam sekejap. Bahkan kini dia meninggalkanku mematung seorang diri.
"Ya~ Kwon Jiyong..." panggilku sambil mengejar langkahnya yang lebar-lebar. Jangankan menoleh, dia malah semakin menjauh. Dengan sedikit kepayahan aku berusaha agar tak tertinggal. "Apa dia pernah jadi atlet jalan cepat? Susah sekali mengejarnya!" pikirku dalam hati.
Di depan toko, wanita bergaun merah yang pernah kutemui di rumah Jiyong tampak sedang berbicara dengan Youngbae Oppa dan Guru Kim.
Di depan toko, wanita bergaun merah yang pernah kutemui di rumah Jiyong tampak sedang berbicara dengan Youngbae Oppa dan Guru Kim.
"Kau! Sudah kubilang jangan pernah menemuiku!" hardik Jiyong pada wanita itu. Senyum yang hampir mengembang dari bibirnya langsung hilang seketika.
"KWON JIYONG!" meski masih terengah-engah aku balik menghardiknya karena sudah berbicara tak sopan.
"Selesaikan urusanmu sendiri!" seru Jiyong dengan ketus seraya membalikkan badan dan menubruk tubuhku hingga hampir terjatuh lalu pergi entah kemana, yang pasti bukan masuk ke dalam toko.
"Bibi, maaf... Ini salahku. Jiyong sedang kesal padaku" ucapku pada wanita itu.
"Ah~ tak apa Dain-ssi, saya juga salah. Sebaiknya saya pergi saja..." pamitnya pada kami bertiga. Nada bicaranya sopan dan lembut. Berbeda dengan saat kami pertama kali bertemu tempo hari.
"Bibi, mohon jangan seperti itu..." aku merasa tak enak hati.
"Benar, masuklah dulu. Saya sudah memasak, kita makan siang bersama" Guru Kim menambahkan.
"Tidak perlu, saya permisi..." jawab wanita itu sambil berlalu dengan wajah kecewa. Kami bertiga hanya menghela nafas dan memandang kepergiannya tanpa bisa mencegah. Entah apa yang sedang terjadi, tapi jika wanita itu sampai mencari Jiyong kemari, pastilah ada hal yang penting. Sikap Jiyong padanya benar-benar keterlaluan.
"Baiklah, ayo kita saja yang makan..." ajak Guru Kim memecah keheningan.
"Tapi Jiyong..."
"Kalau lapar dan kesalnya hilang dia akan pulang dan makan, tak usah khawatir..." Youngbae oppa melirik dan mengedipkan sebelah matanya.
* * * *
Setelah selesai makan dan membantu Guru Kim merapikan meja, Youngbae Oppa mengajakku keluar. Guru Kim kini menjaga toko karena Jiyong belum juga kembali.
Aku dan oppa berjalan di sepanjang pertokan di sekitar kota lalu memutuskan untuk duduk di sebuah kedai es krim.
"Han Dain, maaf bukan maksudku untuk ikut campur. Tapi, ada apa sebenarnya dengan kalian?" tanya Youngbae Oppa. Sudah kuduga kalau oppa akan menanyakan hal ini.
"Entahlah oppa... kurasa Jiyong kesal karena tadi aku tak menanggapi dengan serius saat dia menunjukkan lirik lagu yang baru dibuatnya..."
"Lalu dia menarikmu dengan kasar seperti tadi?"
"Ah~ kalau itu karena saat membantu Guru Kim memasak, aku melamun sampai tak sadar hampir memotong jariku. Hehe, aku memang bodoh..."
"Hmm... apa sesuatu sedang mengganggu pikiranmu?"
"Sebenarnya memang begitu, aku tak tahu harus berbuat apa... Chansung... dia sedang... hubungannya dengan paman sedang kurang baik. Kurasa aku terlalu mengkhawatirkannya..."
"Ah~ aku mengerti sekarang. Jadi Jiyong kesal karena kau menceritakan hal ini?"
"Aku tak tahu kenapa dia begitu, awalnya Jiyong... Entahlah, aku malah belum sempat bercerita apapun. Sikap Jiyong cepat sekali berubah! Marah, lalu bersikap hangat, dan tiba-tiba meninggalkanku begitu saja..." aku menjawab seadanya.
"Han Dain, aku ingin kau menjawab pertanyaanku dengan jujur... Sebenarnya, bagaimana perasaanmu padaku?"
"Apa? Oppa... kenapa malah menanyakan hal seperti itu?" tanyaku heran.
"Jawab saja!"
"Aku menghormati oppa seperti seorang kakak"
Tiba-tiba Youngbae oppa menggenggam tanganku... "Apa kau mencintaiku?" tanyanya lagi.
Ada sedikit perasaan gugup dengan sikap oppa yang tiba-tiba aneh. Tapi aku tetap berusaha terlihat wajar.
"Oppa, mana ada seorang adik yang tidak mencintai kakaknya?" jawabku seraya tersenyum. Youngbae oppa pun tersenyum puas mendengar jawabanku dan melepaskan genggamannya.
"Lalu bagaimana dengan perasaanmu pada Hwang Chansung?"
DEG~
"Oppa, kau membuatku gugup. Apa maksudmu sebenarnya?"
-bersambung-
No comments:
Post a Comment