April 3, 2014

Jangan Pergi, Rio... (ONESHOT)

Kubiarkan angin menerpa wajah dan rambutku, suasana hari itu membuat kepala semakin penat dan serasa mau pecah. Kupikir dengan sendiri akan menghilangkan perasaan itu sedikit demi sedikit. Ternyata.... justru malah semakin tidak bisa melupakan pemandangan yang sungguh memuakkan itu, dia melakukannya!

"Kamu gak perlu memikirkan Gea! Dia urusanku, lebih baik kamu pikirkan ajakanku! Kamu mau kan?" Itulah kalimat terakhir yang aku dengar dari percakapan mereka. Aku benar-benar tak menyangka, kenapa Rio tega melakukan ini?! Dengan mudahnya dia membatalkan janji denganku dan memutuskan untuk pergi bersama Tanti. Aku tahu, Rio memang menyukai Tanti, dan aku rasa Tanti juga menyukainya, tapi setidaknya dia bisa pergi dengan Tanti lain kali karena sudah lebih dulu berjanji mengantarku ke rumah Tante Ela. Ditambah lagi..... yang dia perbuat pada Tanti??!.... Uuhh, kenapa sih Tanti diam saja!!?

* * * *

"Sore, Tante!" dengan segera kusapa Tante Ela yang tersenyum menyambut kedatanganku.

"Mana Rio? Biasanya kalau kesini selalu sama Rio, kok sekarang sendirian?" tanya Tante Ela yang heran karena aku datang sendiri.

"Rio-nya pergi sama Tanti! Yah.... kencan gitu deeh!" jawabku singkat. Tante Ela hanya mengangguk tanda mengerti.

Setelah mengantar pesanan ibu dan ngobrol beberapa saat, aku langsung mohon pamit pada Tante Ela dengan alasan banyak tugas sekolah yang harus kukerjakan. Tante Ela mengantarku sampai ke gerbang rumahnya.

"Makasih ya, Ge. Hati-hati di jalan!"

"Iya, Tan.... Gea pulang dulu ya! Assalamualaikum..." ucapku sambil melambaikan tangan. Kulihat gerakan bibir Tante Ela menjawab salamku, walau tak terdengar.

* * * *
"Hai Gea, sorry kemaren gue...."

"Ah, udahlah.... gue juga tau!" aku menyela perkataan Rio.

"Thanks ya loe udah bisa ngertiin gue! Loe emang sahabat yang paling baik dan paling cantik deh..." ujarnya sambil mencubit kedua pipiku.

"Aduuuh.... apaan sih loe?! Sakit tau!" kubalas dengan cubitan di pinggangnya.

"Ke kantin yuk.. gue traktir deh!" ajaknya.

"Tau aja loe kalo gue lagi laper!? Loe emang paling pinter ya kalau ngerayu gue, ya udah yuk!" aku menyambut ajakannya.

Sambil menyantap gado-gado Mas Toto, aku punya kesempatan untuk menginterogasi Rio tentang apa yang dia lakukan pada Tanti tempo hari.

"Yo... loe ngelakuin itu kemaren??!" tanyaku sedikit ragu.

"Gue Cuma ngasih hadiah kecil di bibirnya, itu aja! Kenapa emang? Hayoo.... loe cemburu ya?" Rio malah bercanda.

"Gue?? Cemburu?? Enggaaaak kaleeee!"

"Yee... gak usah nyolot juga kali! Haha..."

Rio, sepertinya dia tak akan pernah mengerti perasaanku. Kadang aku lelah dengan semua ini. Tapi, asalkan dia selalu tersenyum, aku tak keberatan. Mungkin aku memang bodoh. Orang bilang, "Cinta itu harus memiliki, karena kalau tak harus memiliki berarti bukan cinta". Berulangkali kalimat itu menghantui pikiranku dan selalu berakhir dengan pertanyaan, "Apa mungkin yang selama ini kurasakan pada Rio bukanlah perasaan cinta?" Akh...

* * * *

"Ge, loe udah siap belum? Gue jemput ya?" suara Rio di ujung telepon.

"Emm... apa gue perlu ikut? Gak usah deh ya? Ntar malah ganggu kencan kalian. Lagian masa gue jadi kambing congek?"

"Aah... kalo loe gak ikut gak seru dong! Gue gak punya bahan candaan, ntar. Soalnya, gue pasti grogi di depan Tanti. Kalo ada loe kan, bisa gue kerjain atau becandain... hehe" jawab Rio tanpa perasaan. Aku jadi bingung, sebenarnya siapa yang bodoh diantara kami?!

"Sialan loe!"

"Ayolaahhh, Ge... Masa loe tega sih sama gue? Ya... ya... " 

Hal seperti inilah yang selalu membuatku luluh. Aku tak pernah tega membiarkannya dalam kesulitan.

"Tapi loe bayarin tiket gue ya! Dompet gue kosong nih... Ibu baru akan ngasih gue uang saku kalau gue berhasil ngebujuk Tante Ela buat kerjasama catering itu. Loe masih inget kan?"

"Haha, yess! Asiiik, tenang aja! Kalo masalah tiket beres. Tentang catering itu, gue doain moga sukses deh... Lagian siapa coba yang tega nolak rayuan dan bujukan makhluk unyu kayak loe?! Tante Ela pasti mauuu..."

"Idiih.... gak usah mulai ya! Atau gue berubah pikiran nih!"

"Eh... eh... jangan gitu dong, Ge! Iya deh iya... sorry..."

"Awas loe!"

"Ok, gue ke situ ya!? Dandan yang cantik... hehe" Rio menutup pembicaraan. 

Begitulah. Akhirnya aku setuju untuk mengawal Rio dan Tanti yang akan nonton bareng. Bodoooohhhh...

* * * *

iPod jadi penyelamatku di tengah-tengah kencan pendekatan Rio dan Tanti. Aku jadi punya alasan untuk sedikit menjauh atau menyibukkan diri. Sesekali Rio menoleh dan tersenyum ke arahku. Mungkin untuk memastikan kalau aku tak melarikan diri. Bahkan pada Tanti dia terang-terangan mengatakan kalau keberadaanku membuatnya merasa tenang. Entah ingin membuat Tanti cemburu atau dia memang benar-benar bodoh. Hal seperti itu seharusnya tak perlu dikatakan pada gadis yang sedang didekatinya.

"Gea, kamu gak pesen makan?" tanya Tanti saat kami mampir di sebuah cafe usai acara nonton selesai.

"Nggak deh, gue masih kenyang. Kalian makan aja. Mending gue jalan dulu deh ya, ada yang mau gue cari nih... Ntar telepon aja" jawabku beralasan.

"Loe serius gak makan, Ge?" tanya Rio.

"He'em, tenang aja. Nikmatin aja makanan kalian... Daah!" lambaiku sambil meninggalkan pasangan yang sedang kasmaran itu.

"Ntar gue telepon kalau kita udah selesai ya..." ujar Rio nyaris berteriak. Aku hanya memberi kode "Ok" dengan melingkarkan jempol dan telunjuk lalu mulai menjelajahi pusat perbelanjaan seorang diri.

Sebenarnya memang tak ada yang akan kubeli. Tapi akhirnya aku merelakan uang saku mepetku untuk membeli sebuah buku yang baru diluncurkan oleh seorang penulis muda yang sedang naik daun. Jika tak begitu Rio dan Tanti akan bertanya macam-macam.

* * * *

"Gue mau nembak Tanti sepulang sekolah nanti..." aku Rio saat kami sedang melahap Gado-gado Mas Toto.

"Hmm... bagus, akhirnya loe punya keberanian juga buat nembak Tanti" komentarku sambil berusaha menahan kaget.

"Loe... gak apa-apa kan, Ge?" tanya Rio.

"Apa-apaan sih si Rio ini? Kenapa harus menanyakan hal itu segala?" ucapku dalam hati.

"Kenapa gue harus 'apa-apa'?" aku balik bertanya.

"Yaa... kali aja loe gak seneng kalao gue jadian ama Tanti. Hehe..."

"Ya elah... Gak ada alesan gue buat gak seneng lagi! Masa sahabat gue punya pacar terus gue sedih? Yang ada gue ikut seneng ngeliat kalian berdua akhirnya bisa jadian" aku berbohong. Andai saja Rio tahu kalau hatiku sebetulnya sakit mendengar pengakuannya. Tapi... aku tak boleh egois!

"Hmm... ya udah, makasih ya, Ge... Loe emang sahabat terbaik gue. Sampai kapan pun akan tetap jadi sahabat terbaik gue..."

DEG~ ucapan Rio menghadirkan sensasi hentakan di dadaku. Kalimat terakhirnya terkesan seperti ucapan perpisahan. Seolah kami tak akan pernah saling bertemu lagi. Ah, aku terlalu berlebihan...

* * * *

"Gea, ada Rio nih..." suara lembut ibu membangunkanku yang hampir terlelap. Kulihat jam di HP. Rupanya masih jam 9. Aku ketiduran saat sedang membaca buku yang baru kubeli tempo hari. Tapi, mau apa Rio malam-malam ke sini?

Di ruang tamu kulihat Rio tertunduk lesu. Sama sekali tak ada raut bahagia. Padahal tadi siang dia bilang akan menembak Tanti. Apa dia...

"Kenapa loe, Yo? Lemes gitu" tanyaku.

Rio tiba-tiba langsung memelukku...

"Eeh... apaan sih, Yo?!" tanyaku sambil berusaha melepaskan diri karena tak enak pada ibu yang masih di ruang TV, tapi pelukan Rio malah semakin erat. Jangan-jangan dugaanku benar kalau Tanti baru saja menolaknya.

"Are you okay, Yo?" tanyaku sekali lagi.

"Gue..." suara Rio terbata-bata.

"Ya udah... santai aja deh, kayak gak ada cewek lain aja. Mana nih Rio yang gue kenal? Biasanya seorang Rio gak pernah patah semangat..." ujarku mencoba menghibur. Rio melepaskan pelukannya.

"Gea... gak tahu deh gue mesti bilang apa sama loe! Gue bener-bener bersyukur punya sahabat kayak loe, gue.... gue... udah resmi jadi pacarnya Tanti, yeeeaayyy...!!!" wajah Rio tiba-tiba berubah sumringah. Rupanya sejak tadi dia hanya mengerjaiku.

"Sialan loe, Yo! Gue pikir loe ditolak... Bikin gue khawatir aja. Huuh...."

"Hehe, gak ada yang bisa nolak pesona Rio Anindito dong!" sombongnya.

"Iya deehh... selamaattt buat Rio Anindito yang mempesona..." cibirku.

"Buu..." Rio tiba-tiba nyelonong ke ruang TV menemui ibuku. Dia memang sudah terbiasa seperti itu. Ibuku juga sudah sangat akrab dan mungkin menganggap Rio bagian dari keluarga.

"Bu, Rio pinjam Gea dulu sebentar yaa.... Mau Rio traktir es krim. Nanti pulangnya Rio bawakan jagung bakar kesukaan ibu deeehh..." bujuk Rio pada ibuku.

"Eh, curang maen minta ijin aja. Emangnya loe pikir gue mau pergi?" tanyaku.

"Kalau ibu ngijinin kan gue tinggal nyeret loe aja, hehe" jawab Rio sambil berkedip genit pada ibu yang hanya tersenyum melihat tingkahnya.

"Hehe, boleh... tapi jangan pulang terlalu malam!" ucapan sakti Ibu langsung membuat Rio berjingkrak senang.

* * * *

Rio benar-benar mentraktirku es krim dan membelikan ibu jagung bakar. Dia bilang, ini untuk merayakan hari bahagianya yang baru jadian dengan Tanti. Wajahnya terlihat sangat bahagia. Senyum selalu mengembang dari bibirnya. Berbeda dengan awal kedatangannya ke rumah tadi.

Sebelum pulang, Rio membetulkan dan merapatkan jaketku. Bahkan meminjamkan kupluknya. Dia bilang aku tak boleh kedinginan. Perhatian pada hal-hal kecil semacam ini lah yang membuatku menyukainya. Tapi aku sadar, sekarang dia milik Tanti, temanku. Satu-satunya yang bisa kulakukan adalah selalu mendukungnya, mendengarkan segala keluh kesah, dan membiarkannya bahagia bersama gadis yang dia cintai meskipun itu menyisakan rasa sakit. Seperti yang Rio bilang, aku akan tetap jadi sahabatnya sampai kapanpun. 

* * * *

Di atas Honda CBR miliknya, Rio tak banyak bicara. Dia hanya berkonsentrasi pada motornya yang dipacu dengan kencang. Speedometer menunjukkan angka 110 km/jam.

"Ge, loe pegangan yang kenceng dong!" perintah Rio.

"Iya, ini juga udah kenceng"

"Tau gak loe, Ge...? Gue selalu nikmatin saat-saat seperti ini loh! Gue seneng banget bisa berduaan kayak gini sama loe. Hehe, makasih yaa..."

"Heh, inget! Loe sekarang udah punya cewek! Kalau Tanti tau loe ngomong kayak gini ke gue, dia pasti sedih dan cemburu..."

"Iya... iya... gue tau. Gue gak akan nyakitin atau bikin Tanti kecewa. Gitu kan maksud loe?"

Aku tak menjawab pertanyaan Rio, yang kulakukan hanyalah semakin mengeratkan pegangan. Angin malam menerbangkan air mata yang diam-diam keluar tanpa sanggup kubendung.

"Kenapa loe nangis?" pertanyaan Rio membuatku terhenyak. Bagaimana mungkin dia tahu kalau aku menangis?

"Gak apa-apa, gue terharu denger kata-kata loe..." jawabku.

"BOHONG! Loe masih aja membohongi diri loe sendiri!" 

DDUUUAAAARRRR..... BRUUKK..... BRAAKKK..... tiba-tiba aku mendengar suara-suara keras. Tubuhku seperti melayang-layang di udara. Kalimat Rio terngiang-ngiang di telingaku. Apa maksud ucapannya? Sambil mencerna ucapan Rio, aku merasakan tubuhku berguling-guling. Entah berapa kali sampai akhirnya berhenti. Samar-samar aku mulai mendengar suara lain.

"...yang ini gak gerak... yang ini gak gerak..." kurang lebih itulah yang kudengar. Dada dan sekujur tubuhku terasa ngilu. Mataku memandang lurus ke arah bintang-bintang di langit sehingga wajahku terasa sangat dingin. Apa ini? Apa yang terjadi?? Kenapa aku melihat ke angkasa? Rio?? Aku tak berpegangan padanya, kemana dia? 

Kemudian bintang-bintang yang kulihat berubah menjadi wajah-wajah asing. Tapi tak ada satupun wajah Rio. Sepertinya wajah-wajah asing ini sedang mengangkat tubuhku. Aku bisa merasakan lengan yang menyangga bagian punggung serta kakiku. Saat membalikkan kepala ke arah samping, barulah kutemukan sosok Rio. Bagian atas jaketnya bersimbah darah. Mata tertutup rapat dan lengannya terkulai. Mulutku memanggil nama "Rio" berulang-ulang tapi tak ada suara yang terdengar. Kulihat tubuh Rio juga tak bergerak sama sekali.

"Rioo....Riooo...." teriakan itu hanya berdengung di kepalaku. "RIOOO..........!!!"

THE END

No comments: