Tok...tok...tok...
Kudengar ketukan di pintu kamar.
"Hannie..." suara Chansung mengikuti ketukan itu.
"Eoh..."
"Aku masuk yaa...!?" pintanya.
"Eoh, masuklah!"
Tanpa basa-basi Chansung langsung merebahkan diri di tempat tidur. Aku sendiri masih berkutat dengan komputer dan mengedit foto-foto.
"Aku lelah sekali... Hoooaamh"
"Ya! Tidurlah di kamarmu sendiri kalau lelah! Aku tak mau bertukar kamar denganmu!!" protesku tanpa melihatnya sama sekali.
"Andwe, aku akan terus disini sampai kau berhenti membuatku terlihat bodoh" jawab Chansung. Ucapannya membuatku terkejut...
"Apa maksudmu?" kubalikkan badan ke arah Chansung. Betapa kagetnya karena Chansung masih berseragam lengkap. Bahkan dia masih membawa tas sekolahnya.
"Kau masih berseragam??" lalu kulihat jam di samping komputer. Sudah jam 2 pagi dan Chansung masih berseragam.
"Baru pulang? Dari mana saja? Bukankah latihan taekwondo harusnya hanya sampai jam 11?"
"Ish... cerewet!!" Chansung bangkit lalu menggelosorkan badannya dari tempat tidur dan duduk di hadapanku sambil memeluk bantal.
"Aku latihan ekstra untuk persiapan ujian dan turnamen" Chansung menjelaskan. "Jadi...?" lanjutnya.
"Apanya yang jadi?" tanyaku bingung.
"Tak ada yang ingin kau ceritakan padaku?"
Aku menarik nafas panjang. Memang seharusnya aku sudah bercerita sejak lama. Sampai detik ini, belum sepatah katapun tentang Kwon Jiyong keluar dari mulutku. Padahal biasanya apapun pasti kuceritakan pada Chansung. Akhirnya kuceritakan semuanya, termasuk peristiwa di Girin, dan alasan Jiyong menemuiku siang tadi.
Meski terlihat lelah, Chansung tetap mendengarkan ceritaku dengan sabar seperti biasa. Chansung adalah orang yang paling mengerti bagaimana harus bersikap dan memperlakukanku dalam berbagai situasi, entah itu sedih, kesal, marah, atau senang. Bahkan terkadang, kami tak perlu lagi berkata-kata untuk mengungkapkan apa yang sedang dirasakan dan masing-masing akan langsung tahu harus berbuat apa. Mungkin karena sejak kecil kami sudah dekat. Dulu, saat orang tuaku meninggal, Chansung jugalah yang membawaku kembali ke dunia nyata. Aku nyaris kehilangan semangat hidup karena merasa tak memiliki siapapun. Tapi Chansung menunjukkan dan membuktikan bahwa aku tak sendiri. Dia hampir selalu di sampingku, menghibur, dan menyemangati. Waktu itu, Chansung menyebut dirinya dewa kucing dengan sembilan nyawa lalu memberikan satu nyawanya padaku. Dia memang orang yang menarikku dari jurang depresi hingga aku bisa berada di sini, sekarang.
"Apa kau menyukainya?" tanya Chansung.
"Mwo? Kenapa kau bertanya seperti itu?"
"Eemm... aku... aku... belum pernah melihatmu seperti ini sebelumnya. Maksudkuu... kau begitu memperhatikannya"
"Aneh..."
"Apa... yang aneh?"
"Kwon Jiyong juga menanyakan hal yang sama padaku, hehe"
"Maksudmu?"
"Haha, dia bertanya apa aku menyukaimu dan sekarang kau bertanya apa aku menyukainya... Bukankah itu aneh? Kenapa kalian bisa menanyakan hal yang sama? haha"
"Lalu apa yang kau katakan padanya?" Chansung tiba-tiba mendekatkan wajahnya padaku.
Kuperhatikan ekspresi wajah Chansung yang sepertinya sangat penasaran. Sengaja aku diam beberapa saat untuk melihat perubahan ekspresinya.
"Apa kau benar-benar sangat penasaran?" tanyaku.
"Ish... sudahlah, tak perlu kau jawab!" gerutu Chansung sambil melempar bantal yang sedari tadi dipegangnya. Dia lalu segera beranjak meninggalkan kamar.
Chansung, sikapnya... apa dia...?
* * * *
Sejak Jiyong menemuiku beberapa waktu lalu, kami jadi lebih sering bertemu dan semakin akrab. Jiyong sering datang ke sekolah saat aku tak ada jadwal hagwon, tentu saja dengan memanjat dinding danau. Aku pun beberapa kali menemuinya di toko alat musik Guru Kim. Bahkan terkadang kami pergi bersama di hari Minggu untuk sekedar jalan-jalan.
Jiyong kini memang bekerja di toko Guru Kim. Kadang Jiyong harus ke luar kota untuk mengantar alat musik yang dipesan pelanggan. Guru Kim memberi kepercayaan penuh pada Jiyong untuk mengelola tokonya sambil sesekali memberi arahan dan bimbingan.
Aku mulai tahu bahwa Jiyong ternyata pandai memainkan banyak alat musik. Jiyong sering memamerkan keahliannya bermain gitar, piano, harmonika, bahkan jimbe. Selain itu, ternyata Jiyong juga senang membuat lirik lagu yang kemudian dia tunjukkan dengan gaya rap plus beatbox. Pernah suatu ketika Jiyong mengajakku bertemu teman-temannya di komunitas hip hop dan streetdancer. Aku pun kembali dikejutkan dengan bakat lain yang dimilikinya, yaitu dance. Selama ini aku bahkan mungkin teman-temannya di sekolah tak pernah tahu kalau Jiyong sangat berbakat. Dia hanya tak memiliki kesempatan untuk mengeksplorasi dan menunjukkan bakatnya.
* * * *
Denting piano terdengar jelas dari tempatku berada. Mengalun begitu indah memainkan intro dari lagu "A Thousand Years" milik Christina Perri. Kuduga itu pasti Jiyong. Saat sedang tak ada pelanggan yang datang, Jiyong sering bermain piano. Di toko Guru Kim terdapat sebuah piano klasik yang memang sengaja dipajang, bukan untuk dijual. Aku juga baru tahu kalau Guru Kim memiliki ketertarikan yang sangat besar pada musik.
Aku sedikit berlari menuju pintu toko. Rasanya tak sabar ingin segera memberikan makanan yang kusiapkan untuk Jiyong, Japanese Bento.
"Jiyooong, aku bawakan..... oh~ annyeonghaseo" ralatku sambil membungkukkan badan karena ternyata yang bermain piano bukan Jiyong, orang asing, entah siapa. Aku belum pernah melihatnya.
Seorang pria berbadan atletis dan berambut cepak dengan jambul terlihat kaget melihat kedatanganku yang tanpa permisi. Pria itu tersenyum dan menganggukkan kepalanya menyambut sapaanku. Tak lama kemudian terdengar suara langkah menuruni tangga di bagian belakang toko. Mungkin itu Jiyong. Tapi tebakanku lagi-lagi salah. Itu adalah Guru Kim. Kembali kubungkukkan badan untuk menyapa Guru Kim.
"Oh, Han Dain. Jiyong belum sampai. Mungkin sebentar lagi. Tadi saat menelepon dia bilang masih di perjalanan. Dia juga bilang kalau kau akan datang" jelas Guru Kim.
"Ah ye" jawabku tersipu. Pria asing itu sedang melihatku dan aku sedikit salah tingkah. Pria itu sangat... kereeeennn.
"Oya, kenalkan ini Youngbae-ssi. Dia teman Jiyong" akhirnya Guru Kim memperkenalkannya juga.
"Annyeonghaseo, saya Han Dain. Senang berkenalan dengan anda."
"Annyeonghaseo... Jiyong pernah bercerita tentang anda. Senang juga berkenalan dengan anda" jawab pria itu ramah.
Sambil menunggu Jiyong, kami duduk bersama di ruang tamu Guru Kim. Toko musik itu memang menyatu dengan rumah Guru Kim di lantai atas. Aku pun menghidangkan bento yang kubawa. Sengaja memang membawa lebih agar bisa dinikmati bersama karena tahu kalau hari ini Guru Kim akan ada di rumah.
Brakk...
Sebuah suara mengagetkan kami. Jiyong muncul dengan wajah kusut lengkap dengan sumpah serapah, "Sial... ban serepnya juga ternyata tidak dalam kondisi baik. Aku terpaksa memanggil jasa derek" oceh Jiyong.
Tak ada komentar yang kami keluarkan karena sudah sangat tahu, begitulah Jiyong jika sedang kesal.
"Ah, kau sudah datang..." ucapnya begitu melihatku. Aku hanya tersenyum sambil mengangkat alis.
"Heemmm... makanan aneh apa yang kali ini kau bawa? Sepertinya enak sekali" kekesalannya seperti tiba-tiba hilang. "Ah~ bento! Lapaaaaaarrrrr....." lanjutnya.
Kami melanjutkan acara makan. Rasanya seperti makan bersama keluarga yang telah lama tak berjumpa. Youngbae-ssi, meskipun baru pertama kali bertemu, tapi keramahan dan kepandaiannya mencairkan suasana membuat kami tidak canggung satu sama lain.
"Lihatlah, aku akan mengikuti ini" Jiyong memperlihatkan selembar pamflet yang dibawanya. Di pamflet itu tertulis 'Streetdance Competition'. "Kau juga harus ikut, hyung! Kita akan bersaing mendapatkan tempat pertama" ujar Jiyong pada Youngbae-ssi.
"Aku sudah mendaftar sejak kemarin" jawab Youngbae-ssi.
"Kau curang! Kenapa tak mengabariku?"
"Itulah kenapa sekarang aku berada di sini!"
"Kau kan bisa meneleponku!" sungut Jiyong kesal. "Tapi tak apa, aku sudah mendaftar, tadi. Kau tahu Han Dain, ini adalah kompetisi bergengsi untuk kami, para streetdancer. Akan kutunjukkan padamu siapa Kwon Jiyong sebenanrnya."
"Baik, buktikan dan tunjukanlah kalau kau sehebat ucapanmu!" tantangku.
"Aku akan mengganti nama belakang dengan...... emm... 'Song', ya benar 'Song', kalau tak berhasil menang dalam kompetisi ini. Lihatlah, aku juga akan mengalahkanmu, hyung!"
"Eeiii... aku berharap kau kalah agar namamu menjadi 'Song Jiyong', hahaha...Song Jiyong...Song Jiyong..." ledek Youngbae-ssi.
"Itu tak akan terjadi!" ucap Jiyong penuh percaya diri diikuti gelak tawa dari kami.
* * * *
Aku langsung menuju kamar dan berganti pakaian. Begitu selesai memakai kaos, tiba-tiba pintu kamar langsung terbuka. Chansung............
Kudengar ketukan di pintu kamar.
"Hannie..." suara Chansung mengikuti ketukan itu.
"Eoh..."
"Aku masuk yaa...!?" pintanya.
"Eoh, masuklah!"
Tanpa basa-basi Chansung langsung merebahkan diri di tempat tidur. Aku sendiri masih berkutat dengan komputer dan mengedit foto-foto.
"Aku lelah sekali... Hoooaamh"
"Ya! Tidurlah di kamarmu sendiri kalau lelah! Aku tak mau bertukar kamar denganmu!!" protesku tanpa melihatnya sama sekali.
"Andwe, aku akan terus disini sampai kau berhenti membuatku terlihat bodoh" jawab Chansung. Ucapannya membuatku terkejut...
"Apa maksudmu?" kubalikkan badan ke arah Chansung. Betapa kagetnya karena Chansung masih berseragam lengkap. Bahkan dia masih membawa tas sekolahnya.
"Kau masih berseragam??" lalu kulihat jam di samping komputer. Sudah jam 2 pagi dan Chansung masih berseragam.
"Baru pulang? Dari mana saja? Bukankah latihan taekwondo harusnya hanya sampai jam 11?"
"Ish... cerewet!!" Chansung bangkit lalu menggelosorkan badannya dari tempat tidur dan duduk di hadapanku sambil memeluk bantal.
"Aku latihan ekstra untuk persiapan ujian dan turnamen" Chansung menjelaskan. "Jadi...?" lanjutnya.
"Apanya yang jadi?" tanyaku bingung.
"Tak ada yang ingin kau ceritakan padaku?"
Aku menarik nafas panjang. Memang seharusnya aku sudah bercerita sejak lama. Sampai detik ini, belum sepatah katapun tentang Kwon Jiyong keluar dari mulutku. Padahal biasanya apapun pasti kuceritakan pada Chansung. Akhirnya kuceritakan semuanya, termasuk peristiwa di Girin, dan alasan Jiyong menemuiku siang tadi.
Meski terlihat lelah, Chansung tetap mendengarkan ceritaku dengan sabar seperti biasa. Chansung adalah orang yang paling mengerti bagaimana harus bersikap dan memperlakukanku dalam berbagai situasi, entah itu sedih, kesal, marah, atau senang. Bahkan terkadang, kami tak perlu lagi berkata-kata untuk mengungkapkan apa yang sedang dirasakan dan masing-masing akan langsung tahu harus berbuat apa. Mungkin karena sejak kecil kami sudah dekat. Dulu, saat orang tuaku meninggal, Chansung jugalah yang membawaku kembali ke dunia nyata. Aku nyaris kehilangan semangat hidup karena merasa tak memiliki siapapun. Tapi Chansung menunjukkan dan membuktikan bahwa aku tak sendiri. Dia hampir selalu di sampingku, menghibur, dan menyemangati. Waktu itu, Chansung menyebut dirinya dewa kucing dengan sembilan nyawa lalu memberikan satu nyawanya padaku. Dia memang orang yang menarikku dari jurang depresi hingga aku bisa berada di sini, sekarang.
"Apa kau menyukainya?" tanya Chansung.
"Mwo? Kenapa kau bertanya seperti itu?"
"Eemm... aku... aku... belum pernah melihatmu seperti ini sebelumnya. Maksudkuu... kau begitu memperhatikannya"
"Aneh..."
"Apa... yang aneh?"
"Kwon Jiyong juga menanyakan hal yang sama padaku, hehe"
"Maksudmu?"
"Haha, dia bertanya apa aku menyukaimu dan sekarang kau bertanya apa aku menyukainya... Bukankah itu aneh? Kenapa kalian bisa menanyakan hal yang sama? haha"
"Lalu apa yang kau katakan padanya?" Chansung tiba-tiba mendekatkan wajahnya padaku.
Kuperhatikan ekspresi wajah Chansung yang sepertinya sangat penasaran. Sengaja aku diam beberapa saat untuk melihat perubahan ekspresinya.
"Apa kau benar-benar sangat penasaran?" tanyaku.
"Ish... sudahlah, tak perlu kau jawab!" gerutu Chansung sambil melempar bantal yang sedari tadi dipegangnya. Dia lalu segera beranjak meninggalkan kamar.
Chansung, sikapnya... apa dia...?
* * * *
Sejak Jiyong menemuiku beberapa waktu lalu, kami jadi lebih sering bertemu dan semakin akrab. Jiyong sering datang ke sekolah saat aku tak ada jadwal hagwon, tentu saja dengan memanjat dinding danau. Aku pun beberapa kali menemuinya di toko alat musik Guru Kim. Bahkan terkadang kami pergi bersama di hari Minggu untuk sekedar jalan-jalan.
Jiyong kini memang bekerja di toko Guru Kim. Kadang Jiyong harus ke luar kota untuk mengantar alat musik yang dipesan pelanggan. Guru Kim memberi kepercayaan penuh pada Jiyong untuk mengelola tokonya sambil sesekali memberi arahan dan bimbingan.
Aku mulai tahu bahwa Jiyong ternyata pandai memainkan banyak alat musik. Jiyong sering memamerkan keahliannya bermain gitar, piano, harmonika, bahkan jimbe. Selain itu, ternyata Jiyong juga senang membuat lirik lagu yang kemudian dia tunjukkan dengan gaya rap plus beatbox. Pernah suatu ketika Jiyong mengajakku bertemu teman-temannya di komunitas hip hop dan streetdancer. Aku pun kembali dikejutkan dengan bakat lain yang dimilikinya, yaitu dance. Selama ini aku bahkan mungkin teman-temannya di sekolah tak pernah tahu kalau Jiyong sangat berbakat. Dia hanya tak memiliki kesempatan untuk mengeksplorasi dan menunjukkan bakatnya.
* * * *
Denting piano terdengar jelas dari tempatku berada. Mengalun begitu indah memainkan intro dari lagu "A Thousand Years" milik Christina Perri. Kuduga itu pasti Jiyong. Saat sedang tak ada pelanggan yang datang, Jiyong sering bermain piano. Di toko Guru Kim terdapat sebuah piano klasik yang memang sengaja dipajang, bukan untuk dijual. Aku juga baru tahu kalau Guru Kim memiliki ketertarikan yang sangat besar pada musik.
Aku sedikit berlari menuju pintu toko. Rasanya tak sabar ingin segera memberikan makanan yang kusiapkan untuk Jiyong, Japanese Bento.
"Jiyooong, aku bawakan..... oh~ annyeonghaseo" ralatku sambil membungkukkan badan karena ternyata yang bermain piano bukan Jiyong, orang asing, entah siapa. Aku belum pernah melihatnya.
Seorang pria berbadan atletis dan berambut cepak dengan jambul terlihat kaget melihat kedatanganku yang tanpa permisi. Pria itu tersenyum dan menganggukkan kepalanya menyambut sapaanku. Tak lama kemudian terdengar suara langkah menuruni tangga di bagian belakang toko. Mungkin itu Jiyong. Tapi tebakanku lagi-lagi salah. Itu adalah Guru Kim. Kembali kubungkukkan badan untuk menyapa Guru Kim.
"Oh, Han Dain. Jiyong belum sampai. Mungkin sebentar lagi. Tadi saat menelepon dia bilang masih di perjalanan. Dia juga bilang kalau kau akan datang" jelas Guru Kim.
"Ah ye" jawabku tersipu. Pria asing itu sedang melihatku dan aku sedikit salah tingkah. Pria itu sangat... kereeeennn.
"Oya, kenalkan ini Youngbae-ssi. Dia teman Jiyong" akhirnya Guru Kim memperkenalkannya juga.
"Annyeonghaseo, saya Han Dain. Senang berkenalan dengan anda."
"Annyeonghaseo... Jiyong pernah bercerita tentang anda. Senang juga berkenalan dengan anda" jawab pria itu ramah.
Sambil menunggu Jiyong, kami duduk bersama di ruang tamu Guru Kim. Toko musik itu memang menyatu dengan rumah Guru Kim di lantai atas. Aku pun menghidangkan bento yang kubawa. Sengaja memang membawa lebih agar bisa dinikmati bersama karena tahu kalau hari ini Guru Kim akan ada di rumah.
Brakk...
Sebuah suara mengagetkan kami. Jiyong muncul dengan wajah kusut lengkap dengan sumpah serapah, "Sial... ban serepnya juga ternyata tidak dalam kondisi baik. Aku terpaksa memanggil jasa derek" oceh Jiyong.
Tak ada komentar yang kami keluarkan karena sudah sangat tahu, begitulah Jiyong jika sedang kesal.
"Ah, kau sudah datang..." ucapnya begitu melihatku. Aku hanya tersenyum sambil mengangkat alis.
"Heemmm... makanan aneh apa yang kali ini kau bawa? Sepertinya enak sekali" kekesalannya seperti tiba-tiba hilang. "Ah~ bento! Lapaaaaaarrrrr....." lanjutnya.
Kami melanjutkan acara makan. Rasanya seperti makan bersama keluarga yang telah lama tak berjumpa. Youngbae-ssi, meskipun baru pertama kali bertemu, tapi keramahan dan kepandaiannya mencairkan suasana membuat kami tidak canggung satu sama lain.
"Lihatlah, aku akan mengikuti ini" Jiyong memperlihatkan selembar pamflet yang dibawanya. Di pamflet itu tertulis 'Streetdance Competition'. "Kau juga harus ikut, hyung! Kita akan bersaing mendapatkan tempat pertama" ujar Jiyong pada Youngbae-ssi.
"Aku sudah mendaftar sejak kemarin" jawab Youngbae-ssi.
"Kau curang! Kenapa tak mengabariku?"
"Itulah kenapa sekarang aku berada di sini!"
"Kau kan bisa meneleponku!" sungut Jiyong kesal. "Tapi tak apa, aku sudah mendaftar, tadi. Kau tahu Han Dain, ini adalah kompetisi bergengsi untuk kami, para streetdancer. Akan kutunjukkan padamu siapa Kwon Jiyong sebenanrnya."
"Baik, buktikan dan tunjukanlah kalau kau sehebat ucapanmu!" tantangku.
"Aku akan mengganti nama belakang dengan...... emm... 'Song', ya benar 'Song', kalau tak berhasil menang dalam kompetisi ini. Lihatlah, aku juga akan mengalahkanmu, hyung!"
"Eeiii... aku berharap kau kalah agar namamu menjadi 'Song Jiyong', hahaha...Song Jiyong...Song Jiyong..." ledek Youngbae-ssi.
"Itu tak akan terjadi!" ucap Jiyong penuh percaya diri diikuti gelak tawa dari kami.
* * * *
Rumah tampak sepi, tak ada yang menyambut kedatanganku seperti biasa.
Paman, jelas masih di kantor. Bibi...entahlah, mungkin sedang di
kamarnya. Chansung... kemana dia?
Aku langsung menuju kamar dan berganti pakaian. Begitu selesai memakai kaos, tiba-tiba pintu kamar langsung terbuka. Chansung............
-bersambung-
Angel Spring - Part 7 < Prev Next > Angel Spring - Part 9
No comments:
Post a Comment