Aku dan Chansung sedang melihat hasil foto yang baru saja kami buat
ketika dikejutkan oleh kedatangan seseorang. Orang itu sepertinya
melompati dinding pembatas di utara danau. Kami bertiga saling
melepaskan pandangan, lalu Chansung segera menarikku ke belakang
punggungnya.
"What's up...!" sapa orang itu...
Kulihat Chansung hanya memandanginya. Tangan kanannya sudah terkepal dan kaki dalam posisi kuda-kuda. Sedangkan orang di hadapan kami masih tampak santai.
Aku menggenggam tangan Chansung untuk membuka kepalnya sekaligus membuatnya sedikit rileks. Tentu akan jadi cerita lain kalau mereka sampai berkelahi.
“Chansung-ah...gwaenchanha!” ucapku pada Chansung. Dia lalu menoleh sambil mengerenyitkan kening, tatapannya penuh tanda tanya.
"Gwaenchanha...." ulangku.
"Tapi dia...." Chansung menghentikan kata-katanya dan terdiam beberapa saat sambil memandangiku.
“Baiklah, aku ke kelas duluan" lanjutnya. Raut wajahnya terlihat kesal.
Kuperhatikan langkah ragu-ragu Chansung meninggalkan danau. Sesekali dia melempar pandangan ke arahku dan juga si orang asing. Sedangkan pria kerempeng yang kini di hadapanku, sedari tadi hanya tersenyum sambil manggut-manggut dan memainkan kakinya.
Kuperhatikan langkah ragu-ragu Chansung meninggalkan danau. Sesekali dia melempar pandangan ke arahku dan juga si orang asing. Sedangkan pria kerempeng yang kini di hadapanku, sedari tadi hanya tersenyum sambil manggut-manggut dan memainkan kakinya.
“Kau mengusirnya dengan ramah. Beda sekali dengan waktu mengusirku!" ujar si orang asing.
“Itu.... karena kau pun tak ramah padaku!”
"Benarkah? hehe..." pria itu terkekeh.
"Apa yang kau lakukan disini?" tanyaku penasaran dengan kedatangannya yang tiba-tiba dan tak biasa.
"Untuk menemui seseorang..."
"Benarkah? hehe..." pria itu terkekeh.
"Apa yang kau lakukan disini?" tanyaku penasaran dengan kedatangannya yang tiba-tiba dan tak biasa.
"Untuk menemui seseorang..."
"Ah~..." aku mengangguk tanda mengerti.
“Kau sendiri sedang apa? Apa aku mengganggu kalian?”
“Tidak, kami sudah selesai”
Suasana canggung begitu jelas terasa. Kami benar-benar seperti orang asing yang baru saling kenal dan hanya berbicara dengan kalimat pendek.
"Emm... orang yang akan kau temui ituu...."
"Sepertinya dia belum tahu kalau aku mencarinya" potongnya.
"Dia...."
"Benar, dia memang sering datang kesini"
Padahal aku belum menyelesaikan setiap kalimat, tapi orang ini hampir selalu tahu apa yang akan kuucapkan atau kutanyakan. Aku jadi penasaran, siapa sebenarnya yang akan dia temui??
"Kau..."
"NE...??" aku tersentak mendengar apa yang baru saja pria itu ucapkan.
"Wae? Kenapa kau terkejut seperti itu?"
"Aku? Eh...ani...sebaiknya aku juga pergi saja, sepertinya sudah...emm...waktu istirahat sudah habis..." Jantungku tiba-tiba berdegup sangat kencang, sampai-sampai aku khawatir suaranya akan terdengar dari luar. Hooohh...betapa konyolnya aku, kenapa tiba-tiba gugup begini!? Jawabanku jadi tak masuk akal, padahal jelas-jelas waktu istirahat masih panjang.
"YA! BABO-YA! ISH..."
Aku mendengar teriakan orang itu, tapi sudah kuputuskan untuk tak menghiraukan teriakannya. Wajahku pasti sudah kacau, entah memerah atau pucat pasi. Bahkan tanganku terasa sangat dingin.
"YA! YA!! Memangnya kau pikir mudah memanjat dinding itu? Kau akan pergi begitu saja!? Hah? Dasar bodoh!"
Teriakannya masih terdengar sangat jelas. Eh, tapi....kenapa dia seperti tak mengharapkan aku pergi? Segera kuhentikan langkah dan membalikkan badan. Orang itu sedang melihat ke arahku.
"Siapa sebenarnya yang akan kau temui?" akhirnya pertanyaan itu meluncur juga dari mulutku.
"Kau pikir siapa? Kepala sekolah??" jawabnya masih sambil berteriak.
"Apa kau.......mencariku??" tanyaku ragu.
"Ish...kau ini bodoh atau apa? tentu saja aku mencarimu. Siapa lagi?"
DEG... Jantungku yang tadi berdegup kencang kini seolah berhenti seketika. Tanpa kusadari aku sudah berjalan mendekatinya.
"Babo-ya! Kenapa kau pergi?" orang itu menjitak kepalaku dengan lembut saat aku tiba di hadapannya.
"Yaa~..." kurapikan poni yang sedikit berhamburan.
"Wae? apa aku salah?"
"Emm..." aku memeras otak, apa yang harus kulakukan...? Aku tak ingin terlihat gugup di depan pria ini.
Ahaa.... sebuah ide tiba-tiba melintas di kepalaku. 'CLICK' secepat kilat aku berhasil menangkap ekspresi naturalnya.
"YA! Kau!?" orang itu tampak kaget.
"Ya!!" tiruku sambil menunjukkan senyum kemenangan.
"Ish..."
"Wae? apa aku salah?" kubalikan kata-kata namja itu. Fiuuhh.... akhirnya kudapatkan lagi kontrol atas seluruh tubuh yang tadi sempat diambil alih rasa gugup.
"Tidak, tak salah! Kau hanya bodoh! Ini... Ambillah..." pria itu menyodorkan sebuah kotak kecil berwarna toska yang sepertinya sedari tadi disimpan dibalik jaketnya.
"Apa ini?"
"Buka saja kalau kau ingin tahu..."
"Tidak... tidak... kau pasti memasukkan benda-benda aneh di dalamnya kan?"
"Hemm.... mollayo! Bisa saja aneh, mengerikan, menggelikan, atau.... mungkin juga mengejutkan...."
"Eeiii.... pembohong!" aku segera membuka kotak itu dan...... isinya benar-benar di luar dugaan.
"Kimbab...?? Wae?"
Benar, kotak itu berisi enam potong kimbab. Untuk beberapa saat aku hanya bisa terdiam. Tak tahu harus bereaksi seperti apa...
"Itu...untuk kimbab-kimbab yang pernah kujatuhkan.... dan....... anggap juga sebagai ucapan terima kasih..." jawab orang itu dengan sedikit terbata.
"Mwo?"
"Aku belum pernah melihat gadis seusiamu menangis hanya gara-gara kimbabnya jatuh, bahkan hingga memungutnya kembali jadi.... mungkin ituuu... yaa.... setidaknya kau tahu kalau aku menyesal......."
"Mwo...?"
"Mwo, Wae, Ya... Apa kau sekarang kehabisan kata-kata?? Eeii... jangan sampai kau salah paham!! Ini tak seperti yang kau bayangkan! Kau jangan menganggapku sedang menyatakan perasaan atau...."
"Gomawo, Kwon Jiyong.... Jeongmal gomawo...!"
Aku benar-benar tersentuh. Tak kusangka Jiyong memperhatikan tragedi kimbab itu. Bukan tentang maksud dibalik pemberian kimbab ini yang kupikirkan, aku tak peduli dia memberikan kimbab ini sebagai ucapan terima kasih atau bentuk permohonan maaf. Sekarang aku lebih merasa lega dan semakin yakin kalau penilaianku selama ini tak salah. Sedikit demi sedikit, Sang Naga memperlihatkan sisi lain yang selama ini tak pernah nampak sama sekali. Kehangatan hatinya...
"Ya! Ya! Kembalikan lagi air matamu! Aku kan sudah mengganti kimbabnya! Dasar cengeng!"
"Hehe......." aku berusaha tersenyum sambil menghapus genangan air di pelupuk mata yang sudah hampir membanjiri pipi.
"Hmm... begitu lebih baik!"
"CLICK" kuabadikan lagi momen langka yang ditunjukkan Kwon Jiyong. Kali ini dia memperlihatkan senyumnya yang...manis.
Selanjutnya, kami duduk di bawah pohon ek tempat biasa Jiyong duduk atau tidur yang sekaligus juga berfungsi sebagai samsak pribadinya. Sedangkan tiga dari enam potong kimbab yang Jiyong bawakan untukku pada akhirnya mendarat dengan sukses di perutnya sendiri. Sepertinya dia memang sama sekali tak punya malu.
Suasana canggung begitu jelas terasa. Kami benar-benar seperti orang asing yang baru saling kenal dan hanya berbicara dengan kalimat pendek.
"Emm... orang yang akan kau temui ituu...."
"Sepertinya dia belum tahu kalau aku mencarinya" potongnya.
"Dia...."
"Benar, dia memang sering datang kesini"
Padahal aku belum menyelesaikan setiap kalimat, tapi orang ini hampir selalu tahu apa yang akan kuucapkan atau kutanyakan. Aku jadi penasaran, siapa sebenarnya yang akan dia temui??
"Kau..."
"NE...??" aku tersentak mendengar apa yang baru saja pria itu ucapkan.
"Wae? Kenapa kau terkejut seperti itu?"
"Aku? Eh...ani...sebaiknya aku juga pergi saja, sepertinya sudah...emm...waktu istirahat sudah habis..." Jantungku tiba-tiba berdegup sangat kencang, sampai-sampai aku khawatir suaranya akan terdengar dari luar. Hooohh...betapa konyolnya aku, kenapa tiba-tiba gugup begini!? Jawabanku jadi tak masuk akal, padahal jelas-jelas waktu istirahat masih panjang.
"YA! BABO-YA! ISH..."
Aku mendengar teriakan orang itu, tapi sudah kuputuskan untuk tak menghiraukan teriakannya. Wajahku pasti sudah kacau, entah memerah atau pucat pasi. Bahkan tanganku terasa sangat dingin.
"YA! YA!! Memangnya kau pikir mudah memanjat dinding itu? Kau akan pergi begitu saja!? Hah? Dasar bodoh!"
Teriakannya masih terdengar sangat jelas. Eh, tapi....kenapa dia seperti tak mengharapkan aku pergi? Segera kuhentikan langkah dan membalikkan badan. Orang itu sedang melihat ke arahku.
"Siapa sebenarnya yang akan kau temui?" akhirnya pertanyaan itu meluncur juga dari mulutku.
"Kau pikir siapa? Kepala sekolah??" jawabnya masih sambil berteriak.
"Apa kau.......mencariku??" tanyaku ragu.
"Ish...kau ini bodoh atau apa? tentu saja aku mencarimu. Siapa lagi?"
DEG... Jantungku yang tadi berdegup kencang kini seolah berhenti seketika. Tanpa kusadari aku sudah berjalan mendekatinya.
"Babo-ya! Kenapa kau pergi?" orang itu menjitak kepalaku dengan lembut saat aku tiba di hadapannya.
"Yaa~..." kurapikan poni yang sedikit berhamburan.
"Wae? apa aku salah?"
"Emm..." aku memeras otak, apa yang harus kulakukan...? Aku tak ingin terlihat gugup di depan pria ini.
Ahaa.... sebuah ide tiba-tiba melintas di kepalaku. 'CLICK' secepat kilat aku berhasil menangkap ekspresi naturalnya.
"YA! Kau!?" orang itu tampak kaget.
"Ya!!" tiruku sambil menunjukkan senyum kemenangan.
"Ish..."
"Wae? apa aku salah?" kubalikan kata-kata namja itu. Fiuuhh.... akhirnya kudapatkan lagi kontrol atas seluruh tubuh yang tadi sempat diambil alih rasa gugup.
"Tidak, tak salah! Kau hanya bodoh! Ini... Ambillah..." pria itu menyodorkan sebuah kotak kecil berwarna toska yang sepertinya sedari tadi disimpan dibalik jaketnya.
"Apa ini?"
"Buka saja kalau kau ingin tahu..."
"Tidak... tidak... kau pasti memasukkan benda-benda aneh di dalamnya kan?"
"Hemm.... mollayo! Bisa saja aneh, mengerikan, menggelikan, atau.... mungkin juga mengejutkan...."
"Eeiii.... pembohong!" aku segera membuka kotak itu dan...... isinya benar-benar di luar dugaan.
"Kimbab...?? Wae?"
Benar, kotak itu berisi enam potong kimbab. Untuk beberapa saat aku hanya bisa terdiam. Tak tahu harus bereaksi seperti apa...
"Itu...untuk kimbab-kimbab yang pernah kujatuhkan.... dan....... anggap juga sebagai ucapan terima kasih..." jawab orang itu dengan sedikit terbata.
"Mwo?"
"Aku belum pernah melihat gadis seusiamu menangis hanya gara-gara kimbabnya jatuh, bahkan hingga memungutnya kembali jadi.... mungkin ituuu... yaa.... setidaknya kau tahu kalau aku menyesal......."
"Mwo...?"
"Mwo, Wae, Ya... Apa kau sekarang kehabisan kata-kata?? Eeii... jangan sampai kau salah paham!! Ini tak seperti yang kau bayangkan! Kau jangan menganggapku sedang menyatakan perasaan atau...."
"Gomawo, Kwon Jiyong.... Jeongmal gomawo...!"
Aku benar-benar tersentuh. Tak kusangka Jiyong memperhatikan tragedi kimbab itu. Bukan tentang maksud dibalik pemberian kimbab ini yang kupikirkan, aku tak peduli dia memberikan kimbab ini sebagai ucapan terima kasih atau bentuk permohonan maaf. Sekarang aku lebih merasa lega dan semakin yakin kalau penilaianku selama ini tak salah. Sedikit demi sedikit, Sang Naga memperlihatkan sisi lain yang selama ini tak pernah nampak sama sekali. Kehangatan hatinya...
"Ya! Ya! Kembalikan lagi air matamu! Aku kan sudah mengganti kimbabnya! Dasar cengeng!"
"Hehe......." aku berusaha tersenyum sambil menghapus genangan air di pelupuk mata yang sudah hampir membanjiri pipi.
"Hmm... begitu lebih baik!"
"CLICK" kuabadikan lagi momen langka yang ditunjukkan Kwon Jiyong. Kali ini dia memperlihatkan senyumnya yang...manis.
Selanjutnya, kami duduk di bawah pohon ek tempat biasa Jiyong duduk atau tidur yang sekaligus juga berfungsi sebagai samsak pribadinya. Sedangkan tiga dari enam potong kimbab yang Jiyong bawakan untukku pada akhirnya mendarat dengan sukses di perutnya sendiri. Sepertinya dia memang sama sekali tak punya malu.
“Kwon Jiyong, emm... kenapa kau susah payah memanjat dinding itu?"
“Orang-orang akan kaget kalau melihatku muncul lagi di SIHS. Aku tak mau membuat keributan..." jawabnya datar sambil melahap kimbab ke-empat.
"YA! Bukankah kau membawakan ini untukku?? Kenapa kau habiskan?!"
"Oh, kau benar! Aku lupa! Masih ada dua potong, yang itu untukmu...." tunjuknya.
"Ckckck.... benar-benar tak tahu malu!"
"Tapi aku tak bodoh sepertimu..."
"Iish... masih belum puas mengataiku bodoh!?"
"Apa namanya kalau bukan bodoh? Sudah jelas aku kesini untuk menemuimu, kau malah pergi begitu saja...."
"Kau tak pernah bilang akan menemuiku. Jadi kupikir kau akan menemui orang lain..."
"Lihatlah, bodoh bukan?! Memangnya siapa yang akan kutemui disini kalau bukan kau?"
"Hmm... entahlah teman atau pacarmu? Atau mungkin salah satu guru di sini?"
"Teman? Pacar? Gadis ini... yaaahh, jinja..... Padahal dia sendiri yang mengatakan kalau tak satupun siswa SIHS yang mau berurusan denganku" Melihat gaya bicaranya, aku seperti kembali ke masa kemarin. Sikap menyebalkan memang tak bisa hilang seutuhnya dari Kwon Jiyong.
"Ya! Kau..! Hemmh... bagaimana dengan gurunya??" tanyaku kesal.
"Jungshin hyung... ani... Guru Kim, maksudmu?"
Aku hanya mengangkat bahu, baru kusadari kalau aku tak memikirkan dampak dari ucapan sebelumnya. Aku tak tahu apakah tepat atau tidak jika sekarang kukatakan pada Jiyong kalau aku sudah bertemu dan berbicara banyak dengan Guru Kim.
"Apa dia mencarimu??" selidik Jiyong.
"Eoh...."
"....dan menceritakan.......?"
Kuanggukkan kepala dengan perlahan. Berharap kalau pengakuanku ini bukan suatu kesalahan. Aku tak ingin membuat hubungan Jiyong dan Guru Kim kembali renggang.
"Jadi kau sudah tahu...."
Aku tak menjawab dan merasa serba salah. Kulihat Jiyong sepertinya tak begitu senang mengetahui hal ini.
"Apa kau sudah tahu dari sebelum kita bertemu di Girin?"
"Tidak, aku baru mengetahuinya sekitar dua hari yang lalu!" jawabku tegas.
Jiyong menarik nafas lega mendengar jawabanku. Memang apa bedanya kalau aku mengetahui hal ini dari sebelum atau setelah bertemu dengannya di Girin? Bagiku semua tampak sama saja. Dia benar-benar aneh....
"Ya! Darimana kau tahu kalau kau akan bisa bertemu denganku disini?" tanyaku mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
"Tentu saja aku tahu, aku kan tak bodoh...." liriknya.
"KAU INI...!!!"
"Hahaha...." Jiyong tertawa lepas, lagi-lagi sebuah momen langka. Aku pun ikut tertawa sambil menyiapkan kamera dan 'CLICK', gothca!
"Aku tahu kalau aku sebenarnya memang keren dan tampan. Tapi, tak kusangka kau begitu mengagumiku sampai-sampai tak berhenti memotret!"
"Iiish... simpan rasa percaya dirimu yang berlebihan itu! Kau juga terlalu percaya diri akan bertemu denganku disini. Bagaimana kalau ternyata aku tak datang ke danau? Atau bahkan tak masuk sekolah? Hmmm.... sebaiknya pikirkan dulu sebelum bertindak!" Aku seperti menasehati diri sendiri karena tadi pun melakukan kesalahan yang sama dengannya.
"Aku tak perlu berpikir keras untuk hal itu..." jawabnya sombong.
"Kenapa tidak?"
"Karena.... aku sudah tahu kalau kau akan ada di sini, haha"
"Ya~ itu bukan jawaban!"
"Memangnya jawaban seperti apa yang ingin kau dengar?"
"Apa maksudmu dengan jawaban seperti apa? Jawabanmu itu sama sekali tak menjawab pertanyaanku!" cecarku puas.
"Baiklah, akan kukatakan padamu..." tiba-tiba Jiyong berubah jadi serius dan membuatku gugup.
"Baiklah, akan kukatakan padamu..." tiba-tiba Jiyong berubah jadi serius dan membuatku gugup.
"Andai kau tak datang kesini, aku akan terus menunggu, sampai jam sekolah usai... sampai besok... lusa... sampai musim berganti... sampai kau akhirnya tahu kalau aku menunggu. Bahkan jika ternyata kau sudah tak bersekolah di sini sekalipun, aku akan mencarimu. Kau pikir bisa menghilang begitu saja setelah membuatku seperti ini? Tidak!! Kau harus bertanggung jawab! Ketika orang lain menjauh, kau justru selalu datang lagi, datang lagi, seolah tak terjadi apa-apa. Padahal aku sudah berulangkali mengusir, mengasari, bahkan membuatmu menangis. Sedangkan kau malah membuatku berpikir, mungkin aku memang bukan monster seperti yang orang-orang tuduhkan....."
Nada bicara Jiyong tak seperti biasanya dan dia terus menatapku... Detak jantung yang tadi sudah kuatur sedemikian rupa kini kembali melompat-lompat kesana-kemari. Dia benar-benar sukses membuatku tak bisa berkata apapun. Aku bahkan tak bisa memutuskan apa yang akan kulakukan. Bagaimana harus menanggapi situasi seperti ini?
"Bwahahaha......" Jiyong tiba-tiba terbahak. Apa-apaan ini?
"Kau serius sekali. Apa kau tidak bernafas?? Wajahmu terlihat pucat!! HAHAHA..." Tawa Jiyong makin menjadi.
"Mwo?"
"Ya! Isi paru-parumu sebelum kau mati kehabisan nafas....!"
Dengan refleks aku menurut saja pada apa yang dikatakan Jiyong. Kuhirup udara sebanyak mungkin dan Jiyong tersenyum....
"Si Jangkung pasti akan menghajarku kalau tahu aku berhasil menggoda dan membuat gadisnya terpesona seperti barusan, hahaha..."
"Kau benar-benar sangat menyebalkan, lagipula Chansung bukan pacarku!" sungutku kesal tapi juga lega karena Jiyong hanya bercanda. Tapi apa maksudnya melakukan itu? Huuh... benar-benar menyebalkan!
"Aku tak pernah bilang kalau dia pacarmu. Apa jangan-jangan kau benar-benar menyukainya....?" tuduh Jiyong sambil terkekeh.
"Mana mungkin aku membencinya, kami sudah seperti saudara." jawabku masih dengan kesal. Kulihat Jiyong hanya tersenyum. Senyum yang mencurigakan...
"Bagaimana jawabanku tadi? Bagus kan? Apa sudah seperti jawaban yang kau harapkan?" lanjutnya.
"YA! Kwon Jiyong menyebalkaaaaaaannnnnn!" Kupukul lengan dan bahu lalu menggelitik perutnya.
"Ya! Ya! YA! Kau kan sudah tahu kalau aku memang menyebalkan! Kenapa marah? Hahaha...."
"Awas kau...!" ancamku.
Sayup-sayup kudengar bel berbunyi. Sejenak aku dan Jiyong saling berpandangan kemudian berdiri secara bersamaan.
"Aku harus segera kembali ke kelas...."
"Eoh..."
"Terima kasih kimbabnya.... walau akhirnya kau juga yang menghabiskan, hehe..."
"Ah~...." Jiyong mengusap-usap rambutnya sambil menunduk dan (lagi-lagi) tersenyum manis. Tanganku seperti sudah terprogram secara otomatis, momen itu kembali berhasil kutangkap di saat-saat terakhir.
"Lain kali kau harus membayar jika memotretku!" seloroh Jiyong.
"Lain kali kau harus membayar jika memotretku!" seloroh Jiyong.
"Hehehe, annyeong...." pamitku.
Meski tak terdengar, aku melihat mulut Jiyong mengatakan "O.K".
"HAN DA-IN....!"
"Ne...??" aku kembali berbalik.
"Kalau kau ingin menemuiku, datanglah ke toko
musik Jungshin Hyung!" teriak Jiyong.
Aku tersenyum geli mendengar Jiyong mengatakan hal itu.
"Kenapa kau mengira kalau aku AKAN ingin menemuimu?" teriakku. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya tak memerlukan jawaban. Aku pun segera berlari meninggalkannya.
Aku yakin, sekarang Kwon Jiyong sedang tersenyum sambil melihatku. Percaya diri? Memang! Karena senyum pun enggan beranjak dari bibirku....
"Kenapa kau mengira kalau aku AKAN ingin menemuimu?" teriakku. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya tak memerlukan jawaban. Aku pun segera berlari meninggalkannya.
Aku yakin, sekarang Kwon Jiyong sedang tersenyum sambil melihatku. Percaya diri? Memang! Karena senyum pun enggan beranjak dari bibirku....
Terima kasih, Tuhan...
No comments:
Post a Comment