Rumah tampak sepi, tak ada yang menyambut kedatanganku seperti biasa.
Paman, jelas masih beraktivitas. Bibi... entahlah, mungkin sedang di
kamarnya. Chansung... kemana dia?
Aku langsung menuju
kamar dan berganti pakaian. Begitu selesai memakai kaos,
tiba-tiba pintu kamar langsung terbuka. Chansung! Dia mengagetkan saja. Untunglah pakaianku sudah lengkap.
"Hannie... Hannie... Hannie..." Chansung langsung menyeretku duduk di tempat tidur.
"Ya! Aku tahu kau sedang bersemangat -walau tak tahu apa penyebabnya- Tapi, kau tidak perlu menyeretku seperti ini, OK!"
"Haha, maaf!" dia segera melepaskan lenganku dan menggaruk-garuk belakang kepalanya sambil cengar-cengir.
"Jadi, ada apa sebenarnya?" kulipatkan tangan di depan dada.
"Emm... begini, kau tahu kan kalau aku sedang berkonsentrasi untuk ujian dan kejuaraan taekwondo?"
"Hmm... lalu?"
"Terkadang, kita harus mengorbankan sesuatu ketika ingin meraih sesuatu yang lebih besar..."
"Hmm... em..."
"Itu juga yang harus kulakan sa..."
"Oh My God, terlalu panjang, Hwang Chansung! LANGSUNG KE INTINYA SAJA!!" potongku kesal.
"Baiklah, bantu aku merekam setiap materi Hagwon!" jawabnya cepat.
"Maksudmu?"
"Aku tak akan bisa mengikuti Hagwon karena harus latihan intesif selama beberapa bulan. Agar tak ketinggalan, kau harus merekam setiap materi dan bersiaplah menjadi guru privat saat aku mengalami kesulitan dalam pelajaran" Chansung membulatkan mata dan memasang puppy eyes andalannya.
"Hanya itu saja??" tanyaku heran.
"Ne..." mimiknya semakin menggemaskan.
"Kupikir kau akan menyampaikan berita spektakuler atau apa...!?"
"Hee..." Chansung hanya memainkan tangan sambil beraegyo ria.
"Ok, itu tak sulit... Kukira aku harus melakukan apa!?"
"Yess!! Kau memang malaikat penolongku. Gomawo, Hannie..." Chansung melonjak girang dan... chu~ apa itu? dia mencium pipiku?!
"Yaa~ apa-apaan kau? Jangan memanfaatkan situasi ya!! Awas kau!"
"Aaa... haha, maafkan aku. Itu reaksi spontan. Sungguh... aku tak berniat melakukannya" ujarnya sambil berlari keluar kamar.
"YA!! Sini kau!! HWANG CHANSUNG!! Kau harus mendapat hukuman!" aku ikut berlari mengejarnya.
* * * *
Sejak Chansung mulai berlatih intensif, alat perekam adalah senjata wajibku saat Hagwon. Sesuai permintaannya, kurekam setiap materi dan membuat catatan dengan lebih rapi agar Chansung bisa menyalinnya. Perjalanan pulang sekolah jadi sedikit sepi tanpa Chansung. Di mobil hanya berdua saja dengan Minchul Ahjussi, sopir kami. Chansung baru akan tiba di rumah paling lambat jam 2 atau jam 3 pagi setiap harinya.
Sejak Chansung mulai berlatih intensif, alat perekam adalah senjata wajibku saat Hagwon. Sesuai permintaannya, kurekam setiap materi dan membuat catatan dengan lebih rapi agar Chansung bisa menyalinnya. Perjalanan pulang sekolah jadi sedikit sepi tanpa Chansung. Di mobil hanya berdua saja dengan Minchul Ahjussi, sopir kami. Chansung baru akan tiba di rumah paling lambat jam 2 atau jam 3 pagi setiap harinya.
Di sisi lain, Jiyong sedang berlatih keras untuk mengikuti Streetdance
Competition sehingga jarang menemuiku di sekolah. Waktu senggang digunakannya untuk berlatih, tak peduli pagi, siang, sore, atau malam. Mungkin dia tak ingin mengubah namanya menjadi 'Song Jiyong' seperti yang dia sesumbarkan. Tapi, aku yakin alasannya bukan hanya itu. Sejak awal, Jiyong sudah sangat bersemangat mengikuti kompetisi. Aku dan Guru Kim termasuk orang yang senang melihatnya. Jiyong lebih banyak menggunakan waktu untuk hal positif, bakatnya juga semakin berkembang. Apalagi bersama Youngbae-ssi Jiyong membentuk grup duo, EPIC, yang alirannya tak lain adalah hip hop. Di sela-sela persiapan mengikuti kompetisi, mereka masih sempat mengisi acara secara reguler di Kawasan Hongdae. Sebuah kawasan, yang bisa dibilang, tempat berkumpulnya para musisi indie.
* * * *
Sebuah mobil box bercat putih tampak terparkir di depan sekolah. Itu adalah kendaraan yang biasa digunakan Jiyong untuk mengantarkan alat musik. Dia pasti baru selesai bertugas. Jiyong memang sudah bilang akan menjemputku. Karena itulah hari ini Minchul Ahjussi tak datang.
Sebuah mobil box bercat putih tampak terparkir di depan sekolah. Itu adalah kendaraan yang biasa digunakan Jiyong untuk mengantarkan alat musik. Dia pasti baru selesai bertugas. Jiyong memang sudah bilang akan menjemputku. Karena itulah hari ini Minchul Ahjussi tak datang.
Aku berlari kecil menghampirinya. Kulihat pintu mobil terbuka dan Jiyong.... Oh~, "Youngbae-ssi…?" aku tertegun, tak menyangka akan melihat Youngbae-ssi yang keluar dari mobil.
"Wae? kau kecewa karena bukan Jiyong yang kau lihat?" Youngbae-ssi langsung menodong dengan pertanyaan yang membuatku jadi tak enak hati.
"Ani… bukan seperti itu. Aku... aku hanya..."
"Tak apa, aku mengerti" Youngbae-ssi tersenyum. "Masuklah..." ujarnya seraya membukakan pintu untukku. Youngbae-ssi lalu memutar dan segera menyusulku masuk ke dalam mobil. Sebelum berangkat, Youngbae-ssi juga membantuku memasang seat belt. Hal itu mengingatkanku pada appa. Dulu appa sering melakukannya, memasangkan seat belt dan memastikan aku sudah siap berkendara dengan aman.
"Jiyong sepertinya kelelahan, setelah latihan tadi dia langsung tertidur pulas. Sekarang di rumahku" ujar Youngbae-ssi sambil tetap berkonsentrasi menyetir. Dia langsung memberi penjelasan, bahkan sebelum kuminta.
"Semalam kami kembali mengisi acara di Hongdae dan sejak semalam juga Jiyong tak hentinya mengatakan kalau hari ini akan menjemputmu. Tapi saat waktunya tiba, dia malah mendengkur. Aku tak tega membangunkannya, jadi berinisiatif menjemput..."
"Ah~ gomawo, Youngbae-ssi. Maaf aku jadi merepotkan. Youngbae-ssi juga pasti lelah, tapi malah harus menjemputku."
"Dain-ah, kita sudah kenal cukup lama. Panggil aku 'oppa' saja! Itu membuatku merasa lebih baik. Aku tak ingin terus-menerus jadi orang asing di matamu" pinta Youngbae-ssi.
"Ah~ baiklah aku mengerti Youngbae-ss... maksudku oppa..." jawabku kikuk.
Ini pertama kalinya aku bepergian hanya berdua saja dengan Youngbae-ssi, maksudku Youngbae Oppa. Tapi sepanjang perjalanan, dia terus menceritakan hal-hal yang membuatku tertawa. Suasana menjadi lebih akrab dan santai. Perjalanan pun berlalu dengan cepat.
Youngbae Oppa memarkir mobil tepat di depan gedung berlantai dua tempat tinggalnya dan bergegas turun. Dia tak lupa membukakan pintu untukku. Aku merasa diperlakukan dengan istimewa.
"Khamsahamnida..." lagi-lagi aku berterima kasih karena oppa kembali membukakan pintu utama tempat tinggalnya dan menyilakanku masuk terlebih dulu.
Rumah Youngbae Oppa ini juga sekaligus berfungsi sebagai kantor dan studio. Seperti halnya toko Guru Kim, tempat tinggal bertempat di lantai dua. Sedangkan lantai pertama benar-benar murni seperti sebuah kantor studio.
Mataku menjelajah seisi ruangan, mulai dari sebuah pintu yang dipenuhi stiker, tangga berbentuk ‘L’ di sebelah studio rekaman berkaca transparan, hingga berhenti pada sofa hitam panjang tepat di depannya. Di sanalah sosok yang kucari berada. Benar kata Youngbae Oppa, Jiyong terlihat sangat lelah. Dia tidur dengan nyenyak seperti bayi. Tangannya terlipat di depan dada. Leher serta dagunya tertutup jaket yang resletingnya seperti memang sengaja dinaikkan sampai penuh.
"HAN DAIN...!" tiba-tiba Jiyong menyebut namaku dan langsung bangun dengan tergesa-gesa, seolah tahu saja kalau aku sedang memperhatikannya.
"Waeyo?" aku bergegas menghampiri Jiyong.
"Ah~ kau sudah di sini, harusnya aku menjemputmu" jawabnya sambil menggosok-gosok mata dan menggeliatkan badan. Mendadak Jiyong jadi tampak sangat cute.
"Gwenchanha, tadi Youngbae Oppa menjemputku."
"Hyung tak tega membangunkanmu, makanya langsung saja menjemput Dain daripada dia keburu diculik penyamun" sambung Youngbae Oppa yang langsung melompat ke atas sofa di depan kami.
"Hehe, oppa, hentikanlah! Perutku masih sakit jika harus tertawa lagi."
"Tunggu...apa aku tak salah dengar?" tanya Jiyong.
"Kenapa?" tanyaku heran.
"Sejak kapan kau memanggil hyung 'oppa'?"
"Sejak di mobil, tadi..." jawabku datar.
"Aku yang memintanya. Tak ada salahnya kan?" Youngbae Oppa menambahkan.
"Lalu kapan aku akan dipanggil 'oppa'?" protes Jiyong.
"Apa??" ucapku dan Youngbae Oppa bersamaan.
"Hmm... rupanya kalian juga mulai kompak!" Jiyong kembali menggerutu.
"Kau ini kenapa? kenapa tiba-tiba ingin dipanggil oppa?" aku heran melihat tingkahnya yang kekanak-kanakan.
"Kenapa harus bertanya 'kenapa'? Aku juga lebih tua darimu, tapi tak pernah sekalipun dipanggil 'oppa'. Aku bahkan mengenalmu lebih lama dibandingkan dia" tunjuk Jiyong pada Youngbae Oppa. "Mulai sekarang aku juga harus kau panggil oppa!"
"APA?? Tidak! Aku tak mau memanggilmu oppa. Terdengar aneh di telingaku."
"Hyuung, bahkan dia berbicara denganku seolah aku ini teman sebayanya..." Jiyong mengadu pada Youngbae Oppa yang hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala.
"Ish, kau sangat tak cocok bersikap seperti itu. Lagipula kita sudah terlanjur seperti ini sejak awal, bukankah aneh kalau aku tiba-tiba memanggilmu oppa? Malah terkesan asing. Andwe, pokoknya aku tak mau!"
Jiyong mendengus kesal dan membelakangiku.
"Eeii... ada yang sedang cemburu!" Youngbae Oppa menggodanya.
"Aku tak cemburu! Enak saja! Mana mungkin seperti itu. She's not my type!" sangkal Jiyong dengan tegas. Menyebalkan...
"Hyung kan tak bilang kalau 'Jiyong sedang cemburu', hyung hanya bilang 'ada yang sedang cemburu'. Apa itu tadi sebuah pengakuan kalau kau memang cemburu, Jiyongie...? Hem?" Youngbae Oppa semakin memojokkan Jiyong. Apa-apaan oppa ini?! Aku dan Jiyong jadi salah tingkah.
"Ya! Han Dain, apa kau membawa pesananku?" tanya Jiyong seketika.
"Apa? pesanan? Emm... oh, jus itu... Ya... aku... aku membawanya... tunggu sebentar!" segera kuubek-ubek isi tas dan mengeluarkan botol minum berisi jus tomat-nanas pesanan Jiyong. Seleranya memang aneh, Jiyong sangat menyukai jus tomat-nanas yang menurutku rasanya sama sekali tak keruan.
"Akan lebih segar kalau kau masukkan dulu ke dalam kulkas sebelum meminumnya" lanjutku.
"Ah~ ide bagus. Hyung, aku titip ini sebentar di kulkasmu" Jiyong langsung ngeloyor pergi menuju lantai atas.
"HAHA...HAHA...HAHAHA..." tawa Youngbae Oppa menggelegar di seisi ruangan.
"Oppaa..."
"Haha, kalian lucu sekali" seru Youngbae Oppa.
"Oppaa...!"
* * * *
Setelah seharian menemani Jiyong dan Youngbae Oppa latihan. Aku pun berpamitan untuk pulang. Jiyong mengantarku. Di mobil, kami tak banyak bicara. Gara-gara kejadian sore tadi, kami jadi sedikit canggung.
"Gomawo..." ucapku pada Jiyong saat kami tiba di depan rumah Keluarga Hwang.
"Eoh..." jawab Jiyong singkat.
"Eh, tunggu sebentar!" aku menghentikan langkah Jiyong yang sudah akan masuk lagi ke dalam mobil.
"Ini... pasti milikmu..." kukeluarkan sebuah kalung perak berliontin bintang dari dalam tas.
Jiyong memandang tak percaya, "Ini... dari mana kau dapatkan ini?? Kenapa bisa ada padamu?"
"Terjatuh saat kita pertama kali bertemu di danau... Ingat?"
"Eoh, aku ingat. Memang hilang sejak saat itu. Akh... kupikir sudah tak akan menemukannya"
Melihat reaksi Jiyong, sepertinya kalung itu adalah benda yang sangat berarti baginya.
"Mianhae, aku selalu lupa untuk mengembalikannya padamu. Sudah lama sekali..."
"Gomawo, Dain-ah... Jinja..." Jiyong menarikku ke dalam pelukannya.
DEG~ selama beberapa detik aku hanya mematung, "Ah~ tak masalah..." jawabku sambil perlahan membalas pelukannya.
"Maaf... aku terlalu senang" Jiyong segera mendorongku.
"Emm... it's ok!" jawabku kaget sekaligus gugup.
"Ini... hadiah ulang tahun dari eomma saat umurku 10 tahun. Satu-satunya benda yang membuatku merasa... pernah memiliki keluarga..." ucap Jiyong lirih.
Kugenggam tangannya yang sedang memegang kalung itu lalu berbisik, "Kau tak pernah kehilangan keluarga..."
-bersambung-
Angel Spring - Part 8 < Prev Next > Angel Spring - Part 10
No comments:
Post a Comment