“Han Da-In, Kim Sonsaeng memanggilmu!” ujar Park Ye-Jin teman sekelasku yang baru saja kembali dari ruang guru.
“Aku? Ne, aku segera menemuinya. Gomawo Yejin-ah”.
Kim Sonsaeng atau Guru Kim adalah pria di awal 30-an. Ia berperawakan tinggi dan berbadan proporsional. Kulitnya seputih susu. Kaca mata besar berbentuk kotak menjadi salah satu ciri khasnya. Guru Kim selalu berpenampilan stylish dan menata rambutnya sesuai dengan gaya rambut paling up to date. Beliau juga dikenal sebagai pemilik toko alat musik yang menjadi langganan beberapa musisi ternama di Seoul. Banyak siswa yoeja yang menyukainya karena selain masih muda, wajahnya memang lumayan tampan.
Aku mengetuk pintu ruang guru yang ternyata sepi. Guru Kim langsung menghampiriku. “Ah…Han Da-In, ada hal yang ingin saya bicarakan denganmu” katanya. Lalu ia membimbingku berjalan menuju kebun di samping sekolah.
"Heran kenapa saya memanggilmu?!" tanya Guru Kim seolah bisa membaca kegelisahanku.
"Ah, Ye..." jawabku gugup.
"Baiklah, mari kita buat situasinya lebih jelas terlebih dulu! Saya memanggilmu bukan sebagai 'guru', tapi....anggaplah sebagai seorang 'kakak'.."
"Maaf...saya tidak paham maksud anda, sonsaengnim..."
"Heran kenapa saya memanggilmu?!" tanya Guru Kim seolah bisa membaca kegelisahanku.
"Ah, Ye..." jawabku gugup.
"Baiklah, mari kita buat situasinya lebih jelas terlebih dulu! Saya memanggilmu bukan sebagai 'guru', tapi....anggaplah sebagai seorang 'kakak'.."
"Maaf...saya tidak paham maksud anda, sonsaengnim..."
“MWO??" waktu seolah berhenti sesaat. Menggigit bibir sambil memejamkan mata adalah reaksi spontan berikutnya saat menyadari bahwa Guru Kim lah yang sedang berbicara padaku.
"Ah...joesonghamnida...” aku segera membungkuk dan meminta maaf, sedangkan Guru Kim hanya tersenyum memaklumi keterkejutanku.
"Ah...joesonghamnida...” aku segera membungkuk dan meminta maaf, sedangkan Guru Kim hanya tersenyum memaklumi keterkejutanku.
“Kami memiliki ayah yang sama namun berbeda ibu” lanjutnya.
“Kami memang tidak hidup bersama sejak kecil dan baru tahu kalau kami bersaudara saat Jiyong berumur 15 tahun. Jiyong tak mau mengakui saya sebagai hyungnya dan appa sebagai ayahnya. Hal ini mungkin memang sulit diterima oleh Jiyong. Pengakuan appa membuat kehidupan keluarganya berubah drastis, begitupun dengan keluarga saya...."
Suara Guru Kim terdengar sedikit bergetar. Helaan nafas yang panjang seolah menunjukkan bahwa hal itu juga sebenarnya tak mudah bagi dirinya.
"Karena itulah, saya berusaha untuk menjadi kakak yang baik. Saya ingin menjadi teman, menjaga, dan melindunginya. Saya tak ingin Jiyong... seperti adik perempuan saya yang tidak bisa menerima keadaan lalu........ bunuh diri karena peristiwa ini...."
"Sonsaengnim...."
Aku tak menyangka Guru Kim akan bercerita panjang lebar seperti ini. Kulihat beliau menyapu air mata yang hampir menetes dibalik kaca matanya.
"Saat itu situasinya memang kacau. Dari sudut pandang Jiyong semua yang saya lakukan hanya dianggap sebagai ungkapan rasa bersalah. Jiyong mengira saya melakukan semua itu untuk membujuknya agar mau memaafkan appa. Padahal yang saya alami juga tak jauh beda...saya hanya merasa mungkin dia butuh teman..."
Guru Kim menghentikan ceritanya...
"Tapi itu semua sebelum Jiyong pindah ke sekolah ini" beliau sedikit tersenyum.
"Sejak Jiyong bersekolah disini, hubungan kami jadi lebih baik. Jiyong mulai bisa menerima saya, bahkan sering juga menginap di rumah. Tapi saat appa meninggal tahun lalu, semua seperti kembali dari nol..."
"Ooh...ayah anda dan Jiyong? Saya turut berduka, sonsaengnim"
"Ye, kamsahamnida..." jawab Guru Kim sambil kembali menghela nafas panjang.
"Sejak itu Jiyong tak pernah lagi datang ke rumah, bahkan di sekolah pun kami seperti orang yang tak saling kenal. Ulahnya semakin menjadi. Dia mulai terlibat pergaulan dengan para gangster. Situasi saya juga menjadi semakin sulit saat harus bertindak sebagai guru sekaligus hyung"
"Ah~ hal itu pasti tak mudah bagi anda..."
"Kau benar. Jiyong semakin memusuhi ketika saya memberi teguran. Tapi sebagai guru, saya juga tidak bisa pilih kasih. Guru-guru lain tak ada yang tahu kalau Jiyong adik saya. Jiyong sendiri selalu melarang saya mengungkit hal itu di sekolah. Dia tak ingin orang-orang mengasihaninya atau bertanya ini-itu. Itulah sebabnya dia selalu ketus."
"Ah~..."
"Hubungan Jiyong dengan ibunya makin memburuk. Meski tinggal serumah, tapi bibi jarang pulang. Kalaupun pulang pastilah dini hari atau bahkan keesokannya. Dari apa yang saya dengar, Jiyong sendiri makin asyik dengan teman-temannya. Maksud saya bukan teman sekolah, tapi temannya di luar"
"Pantas saja saat sakit pun aku masih bisa bertemu dengannya di Girin. Sepertinya dia memang sengaja tak pulang..." ujarku dalam hati.
“Saya sudah berusaha agar Jiyong tak sampai dikeluarkan. Tapi keterlibatan Jiyong dengan tawuran gangster, ditambah beberapa catatan hitam termasuk penemuan mariuana di lokernya, membuat pihak sekolah tak bisa lagi memberi toleransi”
Aku tiba-tiba ingat kejadian waktu itu, saat wajah Jiyong penuh luka lebam. Lalu, mariuana? Jiyong? Akh...aku berusaha untuk tetap mengontrol ekspresi wajah senormal mungkin.
Aku tiba-tiba ingat kejadian waktu itu, saat wajah Jiyong penuh luka lebam. Lalu, mariuana? Jiyong? Akh...aku berusaha untuk tetap mengontrol ekspresi wajah senormal mungkin.
"Sejak hari terakhirnya di sekolah, saya sulit bertemu Jiyong. Rumahnya selalu kosong. Saya khawatir Jiyong melakukan hal-hal yang...tak bisa saya bayangkan. Sampai beberapa hari lalu Jiyong tiba-tiba muncul di rumah saya..."
"Oh..."
"Ya, kami minum bersama dan saling menceritakan masa kecil. Kami belum pernah seakrab ini sebelumnya. Entah apa yang baru dia alami, tapi yang pasti hal itu membuat sikap dan cara pandangnya berubah."
"Ah~ syukurlah... Saya rasa itu hal yang positif"
"Karena itulah hari ini saya memanggilmu, sebagai kakak saya ingin berterima kasih karena kau telah mengembalikan Jiyong..."
"Me-ngem-balikan?? Emm... sonsaengnim, tapii... sayaa... saya tidak mengerti, saya tidak melakukan apapun..." ucapku heran sekaligus gugup.
"Saya memang tak layak disebut kakak. Saat dekat dan berada di lingkungan yang sama, saya tidak tahu kalau Jiyong ternyata bisa berteman. Saya bahkan tidak peka pada apa yang Jiyong rasakan atau berusaha lebih keras untuk memahami pemikiran-pemikirannya. Selama ini, kami guru-guru, hanya melihat sisi negatif Jiyong dan lupa untuk melihat sisi yang satunya. Tapi saat mendengar cerita Jiyong, saya baru sadar kalau kami keliru. Teman yang cukup sering Jiyong sebut inilah yang justru bisa memandang Jiyong dari sudut pandang lain..."
"Sonsaengnim, anda... Saya yakin selama ini anda sudah melakukan yang terbaik..."
"Jiyong bukan orang yang mudah membuka diri dan hampir semua orang enggan "mengenal"nya lebih jauh, apalagi berteman. Tapi siswi yang biasa ditemuinya di danau seperti tak memandang Jiyong dari sisi negatif. Setidaknya itulah yang saya simpulkan dari obrolan bersama Jiyong. Dan...siswi itu adalah Han Da-In kan...?!"
"Saya...memang sering bermain di danau, tapi..."
"Saya harap, Han Da-In bisa tetap berteman dengan Jiyong. Dia memang keterlaluan dan sedikit menyebalkan. Ani! Tidak sedikit, dia memang menyebalkan. Tapi jika mau mengenalnya lebih jauh, Jiyong sebenarnya anak yang baik..." pesan Guru Kim.
* * * *
Sepanjang jalan menuju kelas usai menemui Guru Kim, Jiyong seperti terus menari-nari di atas kepalaku. Pertanyaan-pertanyaan yang selama ini mengganjalku satu persatu mulai terjawab. Bisa kubayangkan bagaimana perasaan Jiyong saat pertama kali tahu kalau dirinya ternyata mempunyai saudara lain dari ibu yang berbeda. Ditambah lagi ibunya sendiri sekarang malah jarang pulang sehingga hubungan mereka memburuk. Kali ini aku mengerti kenapa Jiyong sering tampak kesepian di balik sikap kurang ajarnya.
Tiba-tiba aku merasa jauh lebih beruntung. Bukan maksudku bersenang-senang di atas penderitaan orang lain, tapi seharusnya aku mensyukuri apa yang kumiliki. Aku memang kehilangan orang tua, namun ada keluarga Hwang yang sangat menyayangiku. Aku sama sekali tak kekurangan kasih sayang atau perhatian, teman-teman di sekitar siap mendengarkan segala keluh kesah. Aku juga tak perlu menyakiti diri sendiri untuk meluapkan kekesalan. Apapun bisa kubagi dengan Chansung, baik itu kesedihan ataupun kebahagiaan. Selalu ada orang yang peduli dan merawatku ketika sakit, memasangkan selimut hangat saat udara dingin, dan masih banyak lagi. Sedangkan Jiyong…
Appa, eomma... kini aku lebih memahami si pemarah itu.
* * * *
“Bagaimana menurutmu?” aku menanyakan pendapat Chansung mengenai kolam belakang sekolah. Dari jawabannya aku bisa tahu kalau Chansung baru menyadari keberadaan danau tapi kolam itu, padahal kami sudah akan memasuki bulan ke-4 menjadi siswa SIHS.
“Pantas kau sering menghilang tanpa jejak...” katanya. “....rupanya sudah jadi penunggu danau” tambah Chansung.
Aku sengaja mengajak Chansung karena akan meminta bantuannya untuk menjadi model foto. Tugas fotografi kali ini yang bertema ‘feel’ membuatku harus lebih memutar otak agar dapat menampilkan hasil yang sempurna. Aku mendapat ide untuk memunculkan berbagai suasana mulai dari senang, ceria, sedih, hingga marah, dan kesepian. Lalu tempat ini kupilih untuk menjadi latar pengambilan gambar. Sejujurnya inspirasiku berasal dari Kwon Jiyong, tapi aku tak mungkin memintanya menjadi model foto karena dia pasti akan menolak. Selain itu, aku sendiri memang segan.
Chansung yang berpostur proporsional dengan tinggi di atas rata-rata namja seusianya sangat cocok menjadi model. Selain itu wajahnya yang tampan dengan kulit putih mulus, ditambah mata almond yang selalu ekspresif, dan bentuk bibir yang agak curly membuatnya terlihat seksi sekaligus menjadi kombinasi pas dengan ide-ide yang bermunculan di kepalaku. Di atas semua itu, bakat akting terpendamnya lah yang paling menjadi pertimbangan utamaku, selain tentunya memang cuma dia satu-satunya orang yang tidak akan bisa menolak saat kumintai bantun atau lebih tepatnya kupaksa.
Kegigihanku memang selalu membuat Chansung luluh. Bagaimana tidak, aku selalu merengek dan membuntutinya kemanapun. Saat berlatih taekwondo, berkumpul dengan teman-teman, bahkan saat di kamar mandi, aku tetap menungguinya dengan setia (tentu saja di luar, aku masih waras untuk tidak mengikutinya hingga ke dalam kamar mandi). Jika benar-benar tak bisa membuntuti, aku akan menelepon sedikitnya 3 kali sehari untuk mengingatkan kalau-kalau Chansung lupa bahwa aku masih menunggu jawaban "YA" darinya. Sebagai imbalan, aku berjanji membuatkan Chansung masakan spesial lengkap dengan puding kesukaannya saat tugas fotografiku selesai.
Kegigihanku memang selalu membuat Chansung luluh. Bagaimana tidak, aku selalu merengek dan membuntutinya kemanapun. Saat berlatih taekwondo, berkumpul dengan teman-teman, bahkan saat di kamar mandi, aku tetap menungguinya dengan setia (tentu saja di luar, aku masih waras untuk tidak mengikutinya hingga ke dalam kamar mandi). Jika benar-benar tak bisa membuntuti, aku akan menelepon sedikitnya 3 kali sehari untuk mengingatkan kalau-kalau Chansung lupa bahwa aku masih menunggu jawaban "YA" darinya. Sebagai imbalan, aku berjanji membuatkan Chansung masakan spesial lengkap dengan puding kesukaannya saat tugas fotografiku selesai.
Kubiarkan Chansung mengeksplorasi dirinya untuk menjaga kenaturalan hasil. Aku hanya memberitahukan feel yang ingin kudapat dan Chansung sudah tahu apa yang harus dilakukan. Walaupun bukan fotografer sungguhan, aku bisa melihat bahwa Chansung memang berbakat dan sudah hampir seperti model professional. Dia begitu menikmati ‘peran’nya meskipun di awal seperti terpaksa. Pancaran mata, ekspresi, serta bahasa tubuhnya yang menyatu tak bisa berbohong kalau Chansung memang senang dan aku sangat puas dengan apa yang kami kerjakan. Aku jadi berpikir kalau paman harus melihat Chansung saat melakukan ini semua. Apakah paman akan berubah pikiran jika melihat Chansung sebahagia ini....
Aku dan Chansung sedang melihat hasil foto yang baru saja kami buat ketika dikejutkan oleh kedatangan seseorang. Orang itu sepertinya melompati dinding pembatas di utara danau. Kami bertiga saling melepaskan pandangan, lalu Chansung segera menarikku ke belakang punggungnya..................
-bersambung-
No comments:
Post a Comment