"Kwon Jiyong, aku mohon hentikanlah! Tanganmu terluka...!"
Sekuat tenaga kutarik lengannya dan membuatnya berbalik. Jiyong segera memalingkan wajah. Kulihat ada lebam di bawah mata kirinya. Bahkan di sudut bibirnya ada luka berdarah yang sudah mengering. Dia tampak sangat kacau.
“Ya! Gwaenchana??” refleks aku hampir memegang wajahnya jika saja Jiyong tak menghindar.
“Sudah kubilang jangan mencampuri urusanku!!” teriaknya. Jiyong pun langsung pergi dengan setengah berlari.
Ada apa? Apa dia berkelahi lagi? Aku hanya bisa memandangi punggung Jiyong yang semakin menjauh.
Sebenarnya sudah bukan hal baru jika Kwon Jiyong berkelahi. Tapi ada sebersit rasa khawatir yang tiba-tiba mengganggu pikiranku.
Eomma, kenapa aku merasa seperti ini?~
* * * *
Saat itu adalah terakhir kalinya aku melihat Kwon Jiyong. Seminggu berikutnya aku tak pernah bertemu dengannya, bahkan kudengar dia tak masuk sekolah. Beberapa siswa mengatakan kalau Kwon Jiyong mendapat hukuman skorsing, ada juga yang mengatakan kalau dia dikeluarkan dari sekolah. Entah mana yang benar.
Aku heran dengan diriku sendiri, kenapa aku harus merasa tak nyaman dengan keadaan ini. Tak bertengkar, bahkan tak melihatnya sama sekali. Kejadian di danau waktu itu terus saja mengusik pikiranku. Jangan-jangan aku....?! Tidak...tidak!! Pasti bukan seperti itu! Yah, pasti bukan seperti itu...
* * * *
Sekuat tenaga kutarik lengannya dan membuatnya berbalik. Jiyong segera memalingkan wajah. Kulihat ada lebam di bawah mata kirinya. Bahkan di sudut bibirnya ada luka berdarah yang sudah mengering. Dia tampak sangat kacau.
“Ya! Gwaenchana??” refleks aku hampir memegang wajahnya jika saja Jiyong tak menghindar.
“Sudah kubilang jangan mencampuri urusanku!!” teriaknya. Jiyong pun langsung pergi dengan setengah berlari.
Ada apa? Apa dia berkelahi lagi? Aku hanya bisa memandangi punggung Jiyong yang semakin menjauh.
Sebenarnya sudah bukan hal baru jika Kwon Jiyong berkelahi. Tapi ada sebersit rasa khawatir yang tiba-tiba mengganggu pikiranku.
Eomma, kenapa aku merasa seperti ini?~
* * * *
Saat itu adalah terakhir kalinya aku melihat Kwon Jiyong. Seminggu berikutnya aku tak pernah bertemu dengannya, bahkan kudengar dia tak masuk sekolah. Beberapa siswa mengatakan kalau Kwon Jiyong mendapat hukuman skorsing, ada juga yang mengatakan kalau dia dikeluarkan dari sekolah. Entah mana yang benar.
Aku heran dengan diriku sendiri, kenapa aku harus merasa tak nyaman dengan keadaan ini. Tak bertengkar, bahkan tak melihatnya sama sekali. Kejadian di danau waktu itu terus saja mengusik pikiranku. Jangan-jangan aku....?! Tidak...tidak!! Pasti bukan seperti itu! Yah, pasti bukan seperti itu...
* * * *
Weker di samping komputerku sudah menunjukkan jam 3 dini hari. Selama 3 jam ini, sudah tak terhitung berapa kali aku bangun lalu tidur lagi lalu bangun lagi dan tidur lagi. Mataku rasanya sulit untuk diajak terpejam. Pikiranku masih saja berkeliaran entah kemana. Akhirnya kuputuskan untuk bangun, yang kutuju adalah kamar Chansung.
"Channie... Hwang Chansung... Kau sudah tidur ya?"
Hening, tak ada jawaban. Sepertinya Chansung sudah benar-benar hanyut di alam mimpi.
Aku pun pergi menuju dapur dan membuat segelas susu lalu segera kembali ke kamar. Sambil sesekali menyeruput susu coklat hangat, aku mengeluarkan kamera dari dalam tas sekolah dan melihat-lihat foto yang sudah kuambil tapi belum sempat kuedit. Tanganku berhenti menekan tombol slide pada foto seorang namja yang sedang memangku anak anjing dan memandangi gambar itu, serta beberapa gambar setelahnya, cukup lama.
“Kwon Jiyong…” namanya seperti berdenyut di kepalaku.
Aku rasa aku benar tentangnya, melihatnya menyelamatkan anak anjing membuatku semakin yakin bahwa sebenarnya Jiyong memiliki hati yang baik. Benar kata orang kalau mata adalah jendela hati karena mata Jiyong saat menyelamatkan anak anjing itu sangat jauh berbeda dengan mata yang biasa kulihat di sekolah. Aku sudah melihat tiga jenis tatapan mata Jiyong yang saling berlawanan satu sama lain. Di dalam lingkungan sekolah tatapannya penuh keangkuhan. Berbeda dengan saat bertemu denganya di danau, tatapannya lebih seperti sorot mata rapuh dan kesepian walau ditutupi dengan sikap kasarnya. Sedangkan yang kulihat di foto itu, saat Jiyong menyelamatkan anak anjing, tatapannya begitu lembut penuh kasih sayang. Meskipun tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi aku yakin pasti ada alasan yang melatar belakangi semua sikapnya selama ini.
Tiba-tiba aku teringat pada kalung miliknya yang
masih kusimpan. Kubuka laci di samping tempat tidur dan mengeluarkan kalung itu
dari sana. Bagaimana cara mengembalikan kalung ini
padanya? Kenapa juga kalung ini harus tersesat di tanganku? Kutarik nafas
dalam-dalam dan membiarkan udara memenuhi paru-paru lalu kubuang lagi dengan
perlahan.
Aku adalah orang yang selalu percaya bahwa segala sesuatu terjadi bukan tanpa alasan. Aku juga yakin bahwa tidak ada yang namanya 'kebetulan'. Yup, hal ini pun pasti demikian. Pasti bukan suatu kebetulan kenapa kalung ini bisa sampai di tanganku. Mungkin Tuhan sedang merencanakan sesuatu yang belum kuketahui.
Setelah menghabiskan susu coklat dan mengembalikan gelas ke dapur aku mencoba untuk kembali tidur. Berharap kali ini bisa terlelap sampai pagi.
Aku adalah orang yang selalu percaya bahwa segala sesuatu terjadi bukan tanpa alasan. Aku juga yakin bahwa tidak ada yang namanya 'kebetulan'. Yup, hal ini pun pasti demikian. Pasti bukan suatu kebetulan kenapa kalung ini bisa sampai di tanganku. Mungkin Tuhan sedang merencanakan sesuatu yang belum kuketahui.
Setelah menghabiskan susu coklat dan mengembalikan gelas ke dapur aku mencoba untuk kembali tidur. Berharap kali ini bisa terlelap sampai pagi.
Tuhan, lindungilah dia dimanapun dia berada…
* * * *
Ini masih musim semi, tapi udara dan angin yang
bertiup terasa dingin menusuk hingga ke tulang. Aku masih merasa dingin
meskipun sudah memakai jaket yang cukup tebal. Kususuri kawasan Girin seorang
diri. Aku memang sering berjalan-jalan sendiri di sini. Petualangan seorang diriku biasanya berakhir di taman
kecil di bagian tenggara Sungai Han.
Aku sudah akan pergi dari kios penjual majalah di salah satu pojok jalan saat mataku tiba-tiba menangkap
sesosok orang yang kukenal. Kulihat sekali lagi untuk memastikan, lalu
kuhampiri orang yang sedang meringkuk di emperan samping pertokoan di sebuah
gang sepi itu.
Kwon Jiyong…? Aku tak salah lihat, dia memang Kwon Jiyong. Kenapa dia tidur dalam udara dingin di tempat seperti ini? Kepalanya tertutup hoodie berwarna marun dan...apakah badannya menggigil? Jiyong mengapit tangan kiri diantara kedua lututnya sedangkan tangan kanan terlipat menyangga kepalanya.
Kupanggil-panggil namanya untuk mencoba membangunkan, tapi dia hanya
mengeluarkan suara-suara tak jelas yang tak kupahami. Aku meraba keningnya dan ternyata Jiyong demam. Karena tak tahu apa yang harus dilakukan, akhirnya aku berlari meninggalkannya menuju sebuah
minimarket yang tak jauh dari tempat kami berada. Kubeli beberapa lembar plester
anti demam, satu cup milk tea hangat yang kupesan khusus dengan tambahan madu,
dan memesan dua porsi hotdog. Setelah semua selesai, aku segera kembali pada Jiyong. Kupasangkan plester anti demam di keningnya dan
mencoba membangunkannya lagi, tapi reaksinya masih sama seperti tadi. Aku pun duduk
di sebelah Jiyong dan memperhatikan wajahnya yang berkeringat padahal tubuhnya
menggigil.
“Sebenarnya apa yang sedang kulakukan? Menolongnya? Ya...kenapa kau seperti ini? Mana mungkin aku diam saja kalau melihatmu begini. Ish..kau ini sebenarnya merepotkanku saja! Ya, naga pemarah…ayo bangunlah! Kau tak akan mati kan? Ya..aaa...! Kwon Jiyoong...” panggilku
sambil menyeka keringatnya dengan selembar tissue.
Oh....! Perlahan kulihat Jiyong mengerejapkan matanya dan mulai terbangun. Dengan usaha ekstra, akhirnya dia berhasil mengangkat badannya untuk duduk.
Oh....! Perlahan kulihat Jiyong mengerejapkan matanya dan mulai terbangun. Dengan usaha ekstra, akhirnya dia berhasil mengangkat badannya untuk duduk.
“Aaakh…” Jiyong menekan keningnya dengan kedua
telapak tangan dan tampak kesakitan. “Apa ini?” tangan Jiyong menyentuh
plester anti demam yang kutempelkan dan hampir membukanya.
“Jangan dilepas! Itu plester anti demam untuk mengurangi demam, kau demam
jadi…harus memakainya agar demammu turun” jawabku sedikit berbelit-belit.
“Sedang apa kau disini?” tanya Jiyong sambil
merapatkan jaketnya. Suaranya nyaris serak dan sama sekali tak ada nada kasar
seperti biasanya.
“Minumlah dulu, ini milk tea hangat supaya kau merasa
lebih baik” kusodorkan milk tea yang tadi kubeli dan berharap semoga tragedi
kimbab tak terjadi lagi. Ada perasaan lega ketika Jiyong menerima dan
meminumnya.
Tak banyak yang dia minum, mungkin hanya beberapa teguk lalu meletakkan sisanya. Kemudian kulihat Jiyong mengusap-usap kedua telapak tangan dan meniupkan udara hangat dari mulut sambil terus menenggelamkan kepala di atas lututnya.
Tak banyak yang dia minum, mungkin hanya beberapa teguk lalu meletakkan sisanya. Kemudian kulihat Jiyong mengusap-usap kedua telapak tangan dan meniupkan udara hangat dari mulut sambil terus menenggelamkan kepala di atas lututnya.
Kupegangi bahunya dengan ragu-ragu, “Gwaenchana?
Kenapa kau ada disini?” kali ini aku yang bertanya karena menurutku seharusnya
akulah yang penasaran kenapa Jiyong tidur dalam kondisi demam di tempat seperti
ini.
“Sudahlah, bukan urusanmu!” jawab Jiyong tanpa
sedikitpun melihatku. Dia mendekapkan lengan ke badannya.
Lagi-lagi ‘bukan urusanmu’. Hobi sekali dia menggunakan kata itu. Memangnya dia tak punya kosakata lain untuk diucapkan! Benar-benar menyebalkan.
Lagi-lagi ‘bukan urusanmu’. Hobi sekali dia menggunakan kata itu. Memangnya dia tak punya kosakata lain untuk diucapkan! Benar-benar menyebalkan.
Aku sengaja menghela nafas dengan keras dan
memalingkan wajah darinya. “Kau benar itu bukan urusanku! Bahkan seharusnya
aku tak perlu mempedulikan namja pemarah dan keras kepala yang demam dan
tertidur di emperan toko, karena itu juga bukan urusanku!”
“Aigoo…kau berisik sekali! Kau membuat kepalaku makin sakit!” Jiyong kembali memegangi keningnya dan tak mempedulikan apa
yang kukatakan.
“Ya! Apa harus menjadi urusan kita terlebih
dulu ketika kita akan….membantu seseorang? Atau ketika kau akan menolong
seekor anak anjing yang tercebur dan hampir mati di dalam gorong-gorong?”
kuluapkan kekesalanku padanya. Jiyong sepertinya terkejut karena aku membahas
tentang peristiwa di gorong-gorong dan langsung mengarahkan pandangannya
padaku. Mata kami saling beradu beberapa saat tapi aku segera menyibukkan diri
dengan merapikan tas.
“Bagaimana kau tahu tentang…?”
“BUKAN URUSANMU!” buru-buru kupotong kalimatnya.
“...dan maaf aku sudah mengganggumu, aku akan pergi!” lanjutku. Kuselempangkan
tas di bahu lalu segera berdiri. Saat hampir meninggalkannya, ternyata aku masih memegang bungkusan hotdog.
“Aku tadi membeli hotdog. Itupun kalau kau mau. Kalau tak mau, kau berikan saja pada orang lain!” Kuletakkan bungkusan itu disampingnya dan kembali berbalik, tapi Jiyong meraih pergelangan tanganku.
“Ya! Apa yang kau lakukan?” tanyaku sambil mencoba
melepaskan tangannya. Jiyong tak berkata sepatah katapun bahkan tak melihatku
sama sekali. Pegangannya malah semakin kencang sehingga tanganku terasa panas dan sakit.
"Ya! Apa aku perlu berteriak, hah? Kwon Jiyong! LEPAS...KAN!!"
Ancamanku tak berpengaruh dan Jiyong tetap tak memengendurkan pegangannya. Akhirnya aku menyerah...
"Baiklah, apa maumu?" aku tak lagi berontak, mencoba mengikuti keinginannya. Jiyong pun langsung melepas tanganku. Kuposisikan kembali diriku di sebelahnya. Cengkraman tangan Jiyong meninggalkan warna merah dan sensasi panas di pergelangan tanganku.
"Ya! Apa aku perlu berteriak, hah? Kwon Jiyong! LEPAS...KAN!!"
Ancamanku tak berpengaruh dan Jiyong tetap tak memengendurkan pegangannya. Akhirnya aku menyerah...
"Baiklah, apa maumu?" aku tak lagi berontak, mencoba mengikuti keinginannya. Jiyong pun langsung melepas tanganku. Kuposisikan kembali diriku di sebelahnya. Cengkraman tangan Jiyong meninggalkan warna merah dan sensasi panas di pergelangan tanganku.
Masih tanpa kata-kata, Jiyong membuka bungkusan
hotdog itu dan mengeluarkan isinya, lalu melahapnya. Aku kaget melihat cara
Jiyong makan yang super cepat, dalam beberapa kedipan mata satu setengah porsi
hotdog sudah berpindah ke dalam perut.
“Heh, kau benar-benar kelaparan atau memang sangat
menyukai hotdog!?”
“Ya! Kau merusak selera makanku!” setelah sedari tadi tak menjawab pertanyaanku, dengan mulut
yang masih agak penuh Jiyong tiba-tiba meninggikan suaranya.
“Arasseo…arasseo…lakukan apapun sesukamu, dasar
egois!” jawabku tak kalah berteriak. Ish…dia memang menyebalkan, selalu saja
bertindak semaunya sendiri.
Kami saling terdiam cukup lama. Sederet pertanyaan mulai
mengantre dan seperti berdesakan ingin keluar dari kepalaku. Apa yang sebenarnya terjadi? Kemana dia selama ini? Kenapa dia tidur di tempat seperti ini? Kalau sakit kenapa dia tak
pulang saja ke rumah? Apa orang tuanya tak mencari atau mengkhawatirkannya? Apa dia benar-benar dikeluarkan dari sekolah lalu kabur dari rumah? Huuh...kepalaku rasanya hampir meledak.
“Kau mungkin sudah dengar kalau aku dikeluarkan
dari sekolah…” akhirnya Jiyong membuka suara.
“Itu bukan urusanku!” kualihkan pandangan pada
orang-orang yang berlalu lalang di kawasan Girin sambil mengusap-usap kaki
untuk sedikit menghangatkan. Aku sengaja ingin membuat Jiyong kesal untuk
membalas sikap menyebalkannya. Padahal itulah yang sedari tadi kutunggu-tunggu, ceritanya...
“Siapa yang pemarah sekarang?” Jiyong menyodok
pundakku dengan pundaknya sambil sedikit menyunggingkan senyum. Baru kali ini
aku melihat dia tersenyum. Tapi aku masih mengacuhkannya.
“Mianhae…” ucapnya pelan.
“Mwo??”
“Lupakan saja…!” Jiyong menghindari tatapanku. Aku
yakin dia tak akan mengulangi permintaan maafnya, aku pun hanya tersenyum
melihat sikapnya yang sok angkuh.
“Aku memang mendengar beberapa gosip tentangmu,
awalnya kukira hanya sekedar gosip tapi ternyata...” kusudahi aksi
ngambekku dan mencoba membuat suasana jadi lebih nyaman.
“Hemh…kau pasti tak akan pernah mendengar hal-hal
baik tentangku, siswa lain pun pasti senang karena mereka tak akan pernah
melihatku di SIHS lagi”
“Baguslah kalau kau sadar…” kuanggukkan kepala
membenarkan perkataannya.
“Kau juga senang kan? Tak akan ada lagi orang
yang merusak harimu dan kau bisa bersantai dengan bebas di danau belakang sekolah” Jiyong tersenyum kecut.
“Apa kau ini tidak pernah berpikir positif?”
“Apa maksudmu?” Jiyong menatapku heran.
“Tidak semua orang seperti yang kau pikirkan, Sunbae! Lagipula…tidak semua yang kau pikirkan itu benar…”
“Haha, selain gila kau juga sok tahu! Bicaramu
seolah-olah kau adalah orang yang tahu segalanya padahal tak tahu apa-apa! Kau sama sekali tak mengerti...! dan tak akan bisa mengerti.....”
cibir Jiyong.
“Aku memang tak tahu apa-apa...dan kau juga benar bahwa aku tak akan bisa mengerti. Aku bukan orang yang bisa membaca pikiran orang lain sehingga harus diberi tahu dulu agar bisa paham dan mengerti. Aku hanya tahu kalau
ada seorang namja pemarah yang sangat menyebalkan dan sering bertingkah sok angkuh, sok kuat seperti
preman tapi juga sering datang ke kolam belakang sekolah untuk menumpahkan
segala kekesalannya pada sebatang pohon sambil diam-diam menangis. Sedangkan di
sisi lain namja itu tak menyadari kalau sebenarnya dia memiliki hati yang
lembut dan penuh kasih sayang…” cecarku nyaris tanpa titik koma. Jiyong
mematung mendengar ucapanku. Tatapannya kosong.
“Aku yakin, pasti ada alasannya kenapa si namja
seperti itu…” lanjutku dengan suara yang lebih pelan.
Entah apa yang sedang dipikirkan Jiyong saat ini, tapi sepertinya kata-kataku tepat menyentuh sisi paling sensitif di dalam dirinya. Raut wajah Jiyong langsung berubah melunak. Jiyong menurunkan hoodie lebih dalam menutupi sebagian wajahnya. Tak berapa lama, Jiyong melepas plester anti demam di keningnya lalu melemparnya sembarangan sambil terus menyembunyikan wajah.
“Kenapa? Kenapa kau melakukan ini? Untuk apa?”
tanyanya kemudian. Suaranya pelan dan wajahnya tertunduk.
“Kenapa kau menolong anak anjing itu?” jawabku
sambil bersandar ke dinding bata pertokoan. Jiyong lagi-lagi terdiam, mungkin
sedang menjawab sendiri pertanyaan itu di dalam hatinya.
Tiba-tiba hujan mulai turun dan
semakin deras, membuatku tertahan bersama Kwon Jiyong. Bakteri Actinomycetes
sepertinya mulai menyebar karena aroma khas hujan yang menenangkan mulai
tercium. Kulipat kakiku agar terlindung dari tetesan air hujan dan semakin
merapatkan diri ke dinding. Di sebelahku, Jiyong melakukan hal yang sama. Kami
kembali pada situasi tak saling bicara, memandangi rintik-rintik air yang berjatuhan
dari langit. Tapi diam kami kali ini disertai dengan perasaan yang jauh lebih
melegakan. Aku pun merasa seperti ada satu beban yang terlepas dari pundakku.
Appa, eomma, dia membuka sedikit celah di
tembok pertahanannya dan membiarkanku mengintip ke dalam…
-bersambung-
Angel Spring - Part 4 < Previous Next > Angel Spring - Part 6
2 comments:
keren, romantis
makasih, saya juga suka part ini (loh!?)
Post a Comment