DEG~
"Oppa, kau membuatku gugup. Apa maksudmu sebenarnya?"
"Aku ingin kau menjawabnya dengan jujur..."
"Oppa..."
"Hmm...?"
"Chansung... dia adalah orang yang paling penting dalam hidupku..." jawabku terbata-bata.
"Hanya itu?"
"Sejak kecil Chansung selalu melindungiku. Bahkan... andai harus mengorbankan hidupnya sekalipun, mungkin akan dengan sangat bodoh dia lakukan. Terkadang Chansung memang berlebihan, tapi aku juga pasti akan melakukan hal yang sama..."
"Sedangkan Jiyong?"
"Jiyong...? Aku... tak tahu..." jawabku ragu.
"Apakah itu artinya kalau Jiyong bukan orang yang penting dalam hidupmu?"
"Tidak, bukan seperti itu! Aku hanya... tak yakin..."
"Apakah itu artinya kalau Jiyong bukan orang yang penting dalam hidupmu?"
"Tidak, bukan seperti itu! Aku hanya... tak yakin..."
"Tak yakin mengenai perasaanmu padanya? Atau tak yakin mengenai perasaannya padamu sehingga membuatmu bingung?" potong Youngbae Oppa.
"Oppa akuu..."
"Kau bisa menjawab dengan mudah tentang perasaanmu padaku atau pada Chansung. Bagaimana kau bisa tak tahu mengenai perasaanmu pada Jiyong?"
"Kau bisa menjawab dengan mudah tentang perasaanmu padaku atau pada Chansung. Bagaimana kau bisa tak tahu mengenai perasaanmu pada Jiyong?"
"Sebenarnya... aku tak tahu posisiku sendiri ada dimana..."
"Mengapa bisa begitu?"
"Pandanganku sepertinya tertutup kabut..."
"Dain-ah, aku yakin itu bukan kabut. Kau hanya tak berani membuka mata. Jika kau punya sedikit saja keberanian, maka semua akan terlihat jelas"
"Tapi, aku tetap tak bisa melihatnya..."
"Ckck... aku yakin kau tak benar-benar bodoh, Han Dain...! Semuanya sudah tampak sangat jelas! Coba kau ingat-ingat saat kompetisi kemarin! Menurutmu kenapa Jiyong mau susah payah berlari mempertaruhkan kondisi kesehatannya untuk membelikan minuman teh hijau atau apalah pesananmu yang super duper ribet itu? Sedangkan kau sendiri tahu bagaimana keadaannya kan?"
"Hmm... Itu pasti karena dia tak ingin ke rumah sakit dan masih ingin melanjutkan lomba, oppa" jawabku.
"Memangnya apa yang ingin dia tunjukkan dengan usaha kerasnya itu? Kekuatan super? Tentu saja bukan! Dia ingin memiliki sesuatu yang bisa dibanggakan padamu. Karena itulah dia begitu kecewa saat tak bisa menang seperti yang dijanjikan. Dan seperti yang kau bilang, tadi dia marah begitu mendengarmu menyebut nama Chansung, bukan? Padahal bagaimana sikap Jiyong sebelumnya? Bukankah kau bilang dia berubah begitu cepat?! Apa kau masih belum mengerti juga?? Atau memang justru kaulah yang membiarkan Jiyong berada di tempat yang salah??"
"Hmm... Itu pasti karena dia tak ingin ke rumah sakit dan masih ingin melanjutkan lomba, oppa" jawabku.
"Memangnya apa yang ingin dia tunjukkan dengan usaha kerasnya itu? Kekuatan super? Tentu saja bukan! Dia ingin memiliki sesuatu yang bisa dibanggakan padamu. Karena itulah dia begitu kecewa saat tak bisa menang seperti yang dijanjikan. Dan seperti yang kau bilang, tadi dia marah begitu mendengarmu menyebut nama Chansung, bukan? Padahal bagaimana sikap Jiyong sebelumnya? Bukankah kau bilang dia berubah begitu cepat?! Apa kau masih belum mengerti juga?? Atau memang justru kaulah yang membiarkan Jiyong berada di tempat yang salah??"
Pertanyaan-pertanyaan Youngbae Oppa membuat wajahku terasa panas dan memerah. Sepertinya keringat mulai bercucuran di sekitar pelipisku. Apakah selama ini aku telah salah menempatkan diri atau justru tanpa sengaja malah menempatkan Jiyong di tempat yang salah seperti kata Youngbae Oppa?!
"Oppa..." suaraku tersendat dan hanya pandangan penuh tanda tanyalah yang bisa kuperlihatkan... Aku sama sekali tak tahu harus menjawab apa. Rasanya darah di seluruh tubuhku seperti sedang mendidih.
Youngbae oppa merangkul pundakku dan berkata dengan lembut, "Ketika kau memahami semua itu, kau akan tahu dimana sebenarnya posisimu..."
* * * *
Kami berjalan pulang ke toko dengan tanpa suara. Oppa sepertinya memang sengaja memberiku ruang untuk berpikir.
"Oppa, aku ingin membeli tomat dan nanas..." pintaku. Entah kenapa tiba-tiba mulutku tergerak untuk mengatakannya.
"Oh~ apakah itu sebuah petunjuk?" tanya Youngbae Oppa seraya tersenyum dan menarik lenganku menuju kios penjual buah.
* * * *
Setibanya di toko Guru Kim, aku segera minta ijin untuk meminjam dapur dan peralatan juicer-nya. Tak salah, yang akan kulakukan memang mempersiapkan jus tomat-nanas. Ada perasaan senang yang sulit kugambarkan saat kedua tangan mulai mengerjakan perintah otak untuk mengolah tomat dan nanas itu menjadi minuman yang paling digemari Jiyong. Seluruh tubuhku seperti menari dalam irama yang hangat dan lembut. Mereka saling bersinergi memunculkan perasaan yang belum pernah kurasakan sebelumnya.
"Aku masih akan mengurusnya!" terdengar suara Jiyong di lantai bawah. Segera kuselesaikan pekerjaanku dan menyajikan jus tomat-nanas ke dalam gelas yang sebelumnya telah ku garnish dengan potongan lemon dan daun mint.
Kami berpapasan di tangga saat aku hendak turun. Dengan perasaan yang masih campur aduk, kuatur ekspresi wajah seceria mungkin agar rasa kesal Jiyong sedikit mereda. Aku juga memang harus minta maaf karena tadi tak peka pada antusiasmenya saat menunjukkan lirik lagu yang baru dia buat.
"Hei naga, aku mem... bu... at... kan... mu..." Jiyong sama sekali tak peduli dan hanya melewatiku begitu saja. Dia terus berjalan menuju kamarnya dan segera keluar lagi dengan beberapa lembar kertas di tangan. Jangankan menerima jus yang kubuat, memandangku saja tidak. Aku mengikutinya turun. Di toko dia malah seperti sibuk mencari-cari sesuatu di bagian bawah meja hingga kembali ke dekat tangga. Tak sedikitpun menghiraukanku yang terus mengekor di belakangnya.
"Apa kau mencari ini?" aku mengeluarkan selembar kertas lecek dari dalam saku.
"Ah~ ini dia!" jawabnya sambil merenggut kertas itu dari tanganku. "Ini tak akan ada artinya buatmu, jadi tak perlu kau simpan!" ucap Jiyong sinis.
"Kwon Jiyong, apa kau masih marah?" tanyaku seraya menghadangnya dengan sebelah tangan.
"Kenapa? Apa kau merasa bersalah?" tanyanya sambil melepaskan tanganku dan pergi menuju pintu keluar. Youngbae Oppa dan Guru Kim yang menyaksikan drama yang kami buat hanya terdiam di tempat mereka masing-masing. Sepertinya itu memang pilihan terbaik daripada ikut terlibat dalam situasi tak jelas yang sedang terjadi antara aku dan Jiyong.
"Ya~ aku minta maaf..." aku berusaha mencegah Jiyong pergi dengan terus mengikutinya hingga ke ambang pintu. Rasanya aku seperti orang bodoh yang sedang mengejar-ngejar angin.
Jiyong berbalik, "Oh ya, itu jus tomat-nanas kan?" teriaknya sambil menunjuk gelas yang kupegang. "Terima kasih sudah repot-repot membuatkan, tapi aku sudah bosan..."
Di luar, seorang wanita cantik berperawakan mungil sudah menunggu Jiyong dengan sambutan senyum manisnya. Mereka terlihat sangat akrab. Jiyong langsung merangkul pundak wanita itu sambil memperlihatkan kertas lecek berisi lirik lagu yang dibuatnya.
"Waah, sudah kuduga ini akan sangat keren..." seru sang wanita setelah membaca lirik itu sekilas. Suara renyahnya terdengar seperti lengkingan biola yang salah gesek di telingaku. Rasanya aku seperti baru tersambar petir hingga tersengat listrik lalu diguyur hujan lebat sampai basah kuyup. Apalagi saat melihat tawa puas Jiyong disertai belaian lembut ke kapala wanita itu. Perlahan mereka pun mulai menghilang dari pandangan. Menguap begitu saja...
Youngbae Oppa menghampiri dan mengambil gelas yang hampir jatuh dari tanganku, "Dia benar-benar bodoh!" gumamnya sambil menarikku masuk.
"Kurasa, akulah yang bodoh. Menempatkan orang yang salah di tempat yang salah pula..." jawabku lirih.
"Tidak, ini harus segera diperbaiki dan diselesaikan...!" seru Youngbae Oppa sedikit berapi-api.
"Oppa, apa yang harus diperbaiki dan diselesaikan? Tak ada yang perlu diselesaikan untuk sesuatu yang bahkan tak pernah dimulai..." aku berusaha memperlihatkan senyum agar tak membuat Youngbae Oppa khawatir.
"Saya rasa memang ada yang harus diselesaikan" Guru Kim menimpali obrolan kami.
"Ah~ sonsaengnim..."
"Ya, benar harus diselesaikan. Saya tak suka melihat adik saya bersikap kurang ajar seperti tadi"
"Ah~ tapi itu karena awalnya saya memang salah, sonsaengnim..."
"Hey, coba perhatikan! Han Dain mulai terdengar seperti Bibi Kwon" Youngbae Oppa seperti berusaha menetralkan suasana.
"Benarkah? Hehe, saya tak menyadarinya..." jawabku sambil mengingat-ingat kejadian saat wanita bergaun merah, yang oleh Youngbae Oppa dipanggil Bibi Kwon itu mencari Jiyong sebelum makan siang tadi.
* * * *
Ada 27 buah. Aku sudah empat kali menghitung jumlah titik yang ada di langit-langit kamar dan jumlahnya selalu tetap. Malam ini terasa sangat panjang. Kantuk belum juga hinggap. Selain pada titik-titik itu, pikiranku masih liar memikirkan Chansung dan Jiyong.
Ingatanku kembali ke saat Chansung menggenggam tanganku di sebuah pemakaman beberapa tahun lalu. Makam kedua orang tuaku. "Mulai sekarang, tangan inilah yang akan mengangkatmu ketika kau jatuh dan menghapus air matamu saat kau menangis" katanya kala itu. Dan Chansung benar-benar menepati janjinya. Lalu sekarang, apa yang bisa kulakukan untuknya? Akh... masalah inilah yang membuat Jiyong kesal tadi siang. Pikiranku tiba-tiba melompat pada pertanyaan-pertanyaan Youngbae Oppa... Bagaimana sebenarnya posisiku di mata Jiyong? Atau tidak! Bagaimana sebenarnya perasaanku padanya? Sikap Jiyong yang sebentar-sebentar berubah itu memang membuatku bingung. Kadang kami bisa sangat akrab, tapi tiba-tiba dia bisa jadi sangat dingin. Rentetan peristiwa dari pertama kali bertemu Jiyong di danau belakang sekolah mulai bermunculan di kepalaku. Bagaimana kami bertengkar, berdebat, sampai berebut tempat. Anehnya, meski tahu akan selalu seperti itu, kami masih saja datang ke tempat yang sama lalu meributkan hal yang sama. Aaaargh.... aku benci perasaan seperti ini!
* * * *
Chansung belum juga turun untuk sarapan. Seluruh makanan sudah hampir siap di meja makan. Paman sudah rapi dan bibi sudah berganti kostum dari "seragam" dapur menjadi seorang wanita elegan yang siap melayani suami. Biasanya salah satu dari mereka akan memintaku memanggil Chansung jika dia terlambat turun untuk makan bersama. Tapi kali ini situasinya berbeda. Apakah hubungan Chansung dengan paman sudah sedemikian rupa? Akhirnya aku berinisiatif naik ke kamar Chansung.
"Chan..." pintu kamar Chansung terbuka begitu aku akan mengetuknya. Wajah pucat Chansung langsung menjadi pemandangan pertama yang kulihat.
"Ya~ apa kau baik-baik saja?" tanyaku.
"Aku terlambat, aku harus segera latihan..." jawab Chansung terburu-buru.
"Tapi kan belum sarapan, lagipula kau terlihat pucat..." aku mengejar Chansung yang tergesa-gesa menuruni tangga.
"Ish... cerewet! Kau sudah seperti seorang ahjumma!" kelakar Chansung. Dia membungkuk pada paman dan bibi untuk berpamitan tanpa menyentuh sarapannya. Bibi terlihat sedikit khawatir, sedangkan paman lebih tampak tak peduli.
Setelah membantu bibi, aku hanya berkutat di depan TV. Tak ada kegiatan. Paman sudah berangkat ke kantor dan bibi pun baru saja pergi. Kulihat ponselku hanya tergeletak begitu saja. Tak ada yang menghubungi, baik itu teman-teman ataupun... Jiyong...
"Ya ampuuunnn.... lama-lama aku bisa gila jika terus seperti ini!" Akhirnya aku berganti pakaian dan segera meluncur menuju toko Guru Kim.
* * * *
Jiyong sedang tak ada dan aku justru merasa lebih baik. Kedatanganku ke sini memang bukan untuk mencarinya, aku hanya tak tahu tempat lain yang bisa kutuju. Guru Kim selalu menerimaku dengan ramah dengan atau tanpa Jiyong. Aku bisa menghabiskan waktu berjam-jam disini meskipun Jiyong sedang tak ada seperti sekarang. Biasanya aku ikut membantu melayani pembeli secara sukarela.
Ketika hendak berpamitan untuk pergi memotret di sekitar Girin, Jiyong tiba-tiba datang dengan wajah kusutnya. Membuka pintu dengan kasar, lalu naik ke atas dengan menimbulkan suara gdebak-gdebuk saat menaiki tangga. Tak lama kemudian suara berisik lain terdengar semakin intens, suara benda-benda berjatuhan dan suara barang-barang pecah disertai teriakan mengamuk ala Jiyong yang sudah lama tak pernah kudengar.
Aku dan Guru Kim segera naik untuk melihat apa yang terjadi.
"Jiyongie... Kwon Jiyong... Ada apa? Buka pintunya!" perintah Guru Kim sambil menggedor-gedor pintu kamar Jiyong yang terkunci. Karena tak ada jawaban dan hanya mendengar suara benda-benda bergeser, Guru Kim mendobrak pintu. Aku menunggu di belakangnya dengan perasaan was-was dan penuh tanda tanya. Ada apa sebenarnya!?
Begitu pintu berhasil terbuka, pemandangan yang terlihat sangat mencengangkan. Kamar Jiyong porak poranda. Barang-barang, buku, kertas, hingga gitar berserakan. Sebuah cermin yang tadinya tergantung kini berada di lantai dalam kondisi berkeping-keping tak beraturan dan bernoda darah...
"Oppa, aku ingin membeli tomat dan nanas..." pintaku. Entah kenapa tiba-tiba mulutku tergerak untuk mengatakannya.
"Oh~ apakah itu sebuah petunjuk?" tanya Youngbae Oppa seraya tersenyum dan menarik lenganku menuju kios penjual buah.
* * * *
Setibanya di toko Guru Kim, aku segera minta ijin untuk meminjam dapur dan peralatan juicer-nya. Tak salah, yang akan kulakukan memang mempersiapkan jus tomat-nanas. Ada perasaan senang yang sulit kugambarkan saat kedua tangan mulai mengerjakan perintah otak untuk mengolah tomat dan nanas itu menjadi minuman yang paling digemari Jiyong. Seluruh tubuhku seperti menari dalam irama yang hangat dan lembut. Mereka saling bersinergi memunculkan perasaan yang belum pernah kurasakan sebelumnya.
"Aku masih akan mengurusnya!" terdengar suara Jiyong di lantai bawah. Segera kuselesaikan pekerjaanku dan menyajikan jus tomat-nanas ke dalam gelas yang sebelumnya telah ku garnish dengan potongan lemon dan daun mint.
Kami berpapasan di tangga saat aku hendak turun. Dengan perasaan yang masih campur aduk, kuatur ekspresi wajah seceria mungkin agar rasa kesal Jiyong sedikit mereda. Aku juga memang harus minta maaf karena tadi tak peka pada antusiasmenya saat menunjukkan lirik lagu yang baru dia buat.
"Hei naga, aku mem... bu... at... kan... mu..." Jiyong sama sekali tak peduli dan hanya melewatiku begitu saja. Dia terus berjalan menuju kamarnya dan segera keluar lagi dengan beberapa lembar kertas di tangan. Jangankan menerima jus yang kubuat, memandangku saja tidak. Aku mengikutinya turun. Di toko dia malah seperti sibuk mencari-cari sesuatu di bagian bawah meja hingga kembali ke dekat tangga. Tak sedikitpun menghiraukanku yang terus mengekor di belakangnya.
"Apa kau mencari ini?" aku mengeluarkan selembar kertas lecek dari dalam saku.
"Ah~ ini dia!" jawabnya sambil merenggut kertas itu dari tanganku. "Ini tak akan ada artinya buatmu, jadi tak perlu kau simpan!" ucap Jiyong sinis.
"Kwon Jiyong, apa kau masih marah?" tanyaku seraya menghadangnya dengan sebelah tangan.
"Kenapa? Apa kau merasa bersalah?" tanyanya sambil melepaskan tanganku dan pergi menuju pintu keluar. Youngbae Oppa dan Guru Kim yang menyaksikan drama yang kami buat hanya terdiam di tempat mereka masing-masing. Sepertinya itu memang pilihan terbaik daripada ikut terlibat dalam situasi tak jelas yang sedang terjadi antara aku dan Jiyong.
"Ya~ aku minta maaf..." aku berusaha mencegah Jiyong pergi dengan terus mengikutinya hingga ke ambang pintu. Rasanya aku seperti orang bodoh yang sedang mengejar-ngejar angin.
Jiyong berbalik, "Oh ya, itu jus tomat-nanas kan?" teriaknya sambil menunjuk gelas yang kupegang. "Terima kasih sudah repot-repot membuatkan, tapi aku sudah bosan..."
Di luar, seorang wanita cantik berperawakan mungil sudah menunggu Jiyong dengan sambutan senyum manisnya. Mereka terlihat sangat akrab. Jiyong langsung merangkul pundak wanita itu sambil memperlihatkan kertas lecek berisi lirik lagu yang dibuatnya.
"Waah, sudah kuduga ini akan sangat keren..." seru sang wanita setelah membaca lirik itu sekilas. Suara renyahnya terdengar seperti lengkingan biola yang salah gesek di telingaku. Rasanya aku seperti baru tersambar petir hingga tersengat listrik lalu diguyur hujan lebat sampai basah kuyup. Apalagi saat melihat tawa puas Jiyong disertai belaian lembut ke kapala wanita itu. Perlahan mereka pun mulai menghilang dari pandangan. Menguap begitu saja...
Youngbae Oppa menghampiri dan mengambil gelas yang hampir jatuh dari tanganku, "Dia benar-benar bodoh!" gumamnya sambil menarikku masuk.
"Kurasa, akulah yang bodoh. Menempatkan orang yang salah di tempat yang salah pula..." jawabku lirih.
"Tidak, ini harus segera diperbaiki dan diselesaikan...!" seru Youngbae Oppa sedikit berapi-api.
"Oppa, apa yang harus diperbaiki dan diselesaikan? Tak ada yang perlu diselesaikan untuk sesuatu yang bahkan tak pernah dimulai..." aku berusaha memperlihatkan senyum agar tak membuat Youngbae Oppa khawatir.
"Saya rasa memang ada yang harus diselesaikan" Guru Kim menimpali obrolan kami.
"Ah~ sonsaengnim..."
"Ya, benar harus diselesaikan. Saya tak suka melihat adik saya bersikap kurang ajar seperti tadi"
"Ah~ tapi itu karena awalnya saya memang salah, sonsaengnim..."
"Hey, coba perhatikan! Han Dain mulai terdengar seperti Bibi Kwon" Youngbae Oppa seperti berusaha menetralkan suasana.
"Benarkah? Hehe, saya tak menyadarinya..." jawabku sambil mengingat-ingat kejadian saat wanita bergaun merah, yang oleh Youngbae Oppa dipanggil Bibi Kwon itu mencari Jiyong sebelum makan siang tadi.
* * * *
Ada 27 buah. Aku sudah empat kali menghitung jumlah titik yang ada di langit-langit kamar dan jumlahnya selalu tetap. Malam ini terasa sangat panjang. Kantuk belum juga hinggap. Selain pada titik-titik itu, pikiranku masih liar memikirkan Chansung dan Jiyong.
Ingatanku kembali ke saat Chansung menggenggam tanganku di sebuah pemakaman beberapa tahun lalu. Makam kedua orang tuaku. "Mulai sekarang, tangan inilah yang akan mengangkatmu ketika kau jatuh dan menghapus air matamu saat kau menangis" katanya kala itu. Dan Chansung benar-benar menepati janjinya. Lalu sekarang, apa yang bisa kulakukan untuknya? Akh... masalah inilah yang membuat Jiyong kesal tadi siang. Pikiranku tiba-tiba melompat pada pertanyaan-pertanyaan Youngbae Oppa... Bagaimana sebenarnya posisiku di mata Jiyong? Atau tidak! Bagaimana sebenarnya perasaanku padanya? Sikap Jiyong yang sebentar-sebentar berubah itu memang membuatku bingung. Kadang kami bisa sangat akrab, tapi tiba-tiba dia bisa jadi sangat dingin. Rentetan peristiwa dari pertama kali bertemu Jiyong di danau belakang sekolah mulai bermunculan di kepalaku. Bagaimana kami bertengkar, berdebat, sampai berebut tempat. Anehnya, meski tahu akan selalu seperti itu, kami masih saja datang ke tempat yang sama lalu meributkan hal yang sama. Aaaargh.... aku benci perasaan seperti ini!
* * * *
Chansung belum juga turun untuk sarapan. Seluruh makanan sudah hampir siap di meja makan. Paman sudah rapi dan bibi sudah berganti kostum dari "seragam" dapur menjadi seorang wanita elegan yang siap melayani suami. Biasanya salah satu dari mereka akan memintaku memanggil Chansung jika dia terlambat turun untuk makan bersama. Tapi kali ini situasinya berbeda. Apakah hubungan Chansung dengan paman sudah sedemikian rupa? Akhirnya aku berinisiatif naik ke kamar Chansung.
"Chan..." pintu kamar Chansung terbuka begitu aku akan mengetuknya. Wajah pucat Chansung langsung menjadi pemandangan pertama yang kulihat.
"Ya~ apa kau baik-baik saja?" tanyaku.
"Aku terlambat, aku harus segera latihan..." jawab Chansung terburu-buru.
"Tapi kan belum sarapan, lagipula kau terlihat pucat..." aku mengejar Chansung yang tergesa-gesa menuruni tangga.
"Ish... cerewet! Kau sudah seperti seorang ahjumma!" kelakar Chansung. Dia membungkuk pada paman dan bibi untuk berpamitan tanpa menyentuh sarapannya. Bibi terlihat sedikit khawatir, sedangkan paman lebih tampak tak peduli.
Setelah membantu bibi, aku hanya berkutat di depan TV. Tak ada kegiatan. Paman sudah berangkat ke kantor dan bibi pun baru saja pergi. Kulihat ponselku hanya tergeletak begitu saja. Tak ada yang menghubungi, baik itu teman-teman ataupun... Jiyong...
"Ya ampuuunnn.... lama-lama aku bisa gila jika terus seperti ini!" Akhirnya aku berganti pakaian dan segera meluncur menuju toko Guru Kim.
* * * *
Jiyong sedang tak ada dan aku justru merasa lebih baik. Kedatanganku ke sini memang bukan untuk mencarinya, aku hanya tak tahu tempat lain yang bisa kutuju. Guru Kim selalu menerimaku dengan ramah dengan atau tanpa Jiyong. Aku bisa menghabiskan waktu berjam-jam disini meskipun Jiyong sedang tak ada seperti sekarang. Biasanya aku ikut membantu melayani pembeli secara sukarela.
Ketika hendak berpamitan untuk pergi memotret di sekitar Girin, Jiyong tiba-tiba datang dengan wajah kusutnya. Membuka pintu dengan kasar, lalu naik ke atas dengan menimbulkan suara gdebak-gdebuk saat menaiki tangga. Tak lama kemudian suara berisik lain terdengar semakin intens, suara benda-benda berjatuhan dan suara barang-barang pecah disertai teriakan mengamuk ala Jiyong yang sudah lama tak pernah kudengar.
Aku dan Guru Kim segera naik untuk melihat apa yang terjadi.
"Jiyongie... Kwon Jiyong... Ada apa? Buka pintunya!" perintah Guru Kim sambil menggedor-gedor pintu kamar Jiyong yang terkunci. Karena tak ada jawaban dan hanya mendengar suara benda-benda bergeser, Guru Kim mendobrak pintu. Aku menunggu di belakangnya dengan perasaan was-was dan penuh tanda tanya. Ada apa sebenarnya!?
Begitu pintu berhasil terbuka, pemandangan yang terlihat sangat mencengangkan. Kamar Jiyong porak poranda. Barang-barang, buku, kertas, hingga gitar berserakan. Sebuah cermin yang tadinya tergantung kini berada di lantai dalam kondisi berkeping-keping tak beraturan dan bernoda darah...
-bersambung-
No comments:
Post a Comment