Begitu pintu berhasil terbuka, pemandangan yang terlihat sangat
mencengangkan. Kamar Jiyong porak poranda. Barang-barang, buku, kertas,
hingga gitar berserakan. Sebuah cermin yang tadinya tergantung kini
berada di lantai dalam kondisi berkeping-keping tak beraturan dan
bernoda darah...
Kututupkan kedua tangan pada mulut yang ternganga tanpa suara. Tenggorokan rasanya tercekat tak mampu berkata-kata. Sudah lama sekali aku tak pernah melihat Jiyong mengamuk seperti ini. Kurasa Guru Kim yang berdiri di sampingku pun demikian. Kami sama-sama mematung. Jiyong yang tinjunya berlumuran darah hasil meremukkan kaca terduduk sambil menenggelamkan wajah diantara barang-barang yang berserakan. Wajahnya memerah seperti habis dididihkan disertai mata yang sembap. Ada apa sebenarnya? Apa yang terjadi? Pertanyaan itu terus mendengung di telingaku. Akhirnya, tanpa mengeluarkan suara, aku dan Guru Kim perlahan menghampiri Jiyong.
"Ya~" sapaku pelan seraya berlutut di hadapannya. Sedangkan Guru Kim berusaha mengamankan pecahan kaca yang berserakan.
"PERGI! PERGILAH! TAK USAH MENCAMPURI URUSANKU!" amuk Jiyong sambil menyingkirkan tanganku yang berusaha menggenggamnya. Aku hampir berdiri dan melompat karena kaget. Sialnya, tangan kiriku malah mendarat tepat di atas pecahan beling hingga tergores dan berdarah.
"Aah..." ringisku sambil melepaskan beling yang menancap di telapak tangan. Darah segar langsung mengucur deras.
"Han Dain!" Guru Kim segera menghampiri begitu melihat tanganku berdarah. Kulihat Jiyong terperangah. Mungkin tak menyangka akan melukaiku.
"Aku baik-baik saja" ujarku berusaha menenangkan Guru Kim yang tampak khawatir. "Kwon Jiyong, gwenchana?" tanyaku kemudian. Wajahnya tampak memucat.
"Iish... aku muak dengan sikapmu yang pura-pura peduli dan sok malaikat itu!" serunya sambil beranjak meninggalkan kamar.
"YA~ Kwon Jiyong!" panggilku.
Guru Kim menghentikan langkahku dan memberi kode agar aku membiarkan Jiyong pergi. "Biarkan dia dulu. Beri ruang untuk menyendiri. Lagipula kita harus mengobati tanganmu."
Aku mengikuti perintah Guru Kim tanpa membantah.
Setelah selesai memasang perban di tangan. Aku mencoba untuk menghampiri Jiyong yang sedang menyendiri di atap padahal udara sedang panas menyengat. Sepertinya dia sudah mulai tenang.
Tanpa permisi dan banyak basa-basi aku langsung duduk di sampingnya. Kepalaku langsung terasa pusing setelah beberapa menit duduk di sana. Panas dan terik rasanya hampir mematangkan ubun-ubun. Kuat sekali Jiyong bisa berlama-lama di tempat yang panasnya sudah seperti di dalam oven itu. Berkali-kali kuseka keringat yang meleleh di dahi.
"Bodoh!" seru Jiyong sambil menyeret lenganku.
"Fiuuhh... akhirnya Jiyong sadar juga kalau aku kepanasan" ujarku dalam hati.
"Apa maumu?" tanya Jiyong yang langsung menghempaskan lenganku ketika kami tiba di dapur.
"Aku...? Tak ada! Aku tak menginginkan apapun"
"Benar-benar bodoh! Sudah kubilang aku muak dengan sikapmu yang sok perhatian dan sok malaikat juga sok pahlawan. Kau pikir itu akan membuatku simpatik dan menyukaimu?"
"Apa?? Apa kau benar-benar berpikir sedangkal itu? Kau merendahkanku!"
"Hah... lihat saja! Kau memang tak punya pendirian!"
"Kwon Jiyong! It was really hurt! Mohon dengarkan dengan baik! AKU MEMBENCIMU!!!"
"Hah... lihat saja! Kau memang tak punya pendirian!"
"Kwon Jiyong! It was really hurt! Mohon dengarkan dengan baik! AKU MEMBENCIMU!!!"
Kutinggalkan Jiyong tanpa menoleh sama sekali. Kata-katanya benar-benar keterlaluan. Dia pikir aku pengemis yang meminta belas kasihan demi mendapat perhatian?! Iish...
Appa, Omma... aku tak bisa menerima perlakuannya. Ini sakit sekali...
* * * *
"Han Dain? Ada apa?" Guru Kim yang baru dari luar heran melihatku yang hendak pergi dalam keadaan habis menangis.
"Maaf, sonsaengnim... Saya pikir, lebih baik saya pulang saja. Permisi..."
"Tapi... Han Dain..."
"Saya baik-baik saja, sonsaengnim. Anda benar. Jiyong sedang butuh ruang untuk sendiri. Permisi..."
* * * *
Aku memutuskan tak naik taksi atau kendaraan umum lain untuk pulang ke rumah. Melainkan berjalan kaki. Jarak dari toko Guru Kim ke rumah sebenarnya memang tak begitu jauh apabila aku mengambil jalan pintas. Tapi udara panas kali ini...
Akhirnya setelah hampir 45 menit berjalan, kesejukan rumah sudah di depan mata. Rasanya ingin segera meluruskan badan di tempat tidur dan menikmati udara dingin dari pendingin ruangan.
Aku mengabaikan bibi yang menanyaiku dengan nada khawatir. "Tak apa, aku hanya lelah" jawaban itulah yang kuucapkan demi menghindari pertanyaan-pertanyaan lain. Kamar adalah tempat yang langsung kutuju.
Peristiwa yang terjadi belakangan ini benar-benar menguras emosi. Tentang Chansung, Jiyong, semuanya terasa membebani dan menyebalkan. Bukan sebal pada mereka, melankan sebal pada keadaanku sendiri yang entah kenapa bisa terjebak pada situasi yang demikian pelik. Rasanya aku hampir tak bisa lagi menahan luapan emosi yang seperti menggedor-gedor dari dalam dada.
Saat tak nyaman seperti ini, biasanya aku akan menumpahkan semua perasaan pada Chansung. Dia selalu mendengarkan keluh kesahku. Tapi situasi sekarang berbeda. Aku tak ingin membebani Chansung karena dia pun sedang dalam masalah yang tak sederhana.
* * * *
Entah karena lelah atau apa, tanpa terasa aku tertidur dan keadaan sekitar sudah menjadi gelap. Ternyata sudah jam 8 malam. Berarti aku sudah tertidur selama 3 jam dan masih dengan pakaian pagi tadi karena memang belum sempat mandi.
"Tok...tok..." suara ketukan segera mengembalikan konsentrasiku. Kugapai kenop lampu seraya berjalan menuju pintu.
"Channie, kau sudah pulang...?" tanyaku begitu melihat Chansung lah yang bertamu ke kamar.
"Gwenchana? Omma bilang kau belum makan sejak sore tadi? Ya! Apa kau habis menangis? Lalu kenapa tanganmu??"
"Iiish... kau ini kenapa? Baru datang sudah memberondongku dengan berbagai pertanyaan seperti itu?"
"YA! Aku khawatir padamu, memangnya tak bisa kau lihat kalau aku khawatir?"
"Aku baik-baik saja, kenapa hari ini orang-orang mengkhawatirkanku secara berlebihan?" jawabku sambil ngeloyor masuk ke dalam kamar diikuti oleh Chansung.
"Kau tak akan seperti ini kalau..."
"Kalau apa?"
"__________" tak ada jawaban.
"Kalau apa??" ulangku seraya berbalik karena heran kenapa Chansung tak melanjutkan kalimatnya. Kulihat Chansung sedang berpegangan erat pada lemari pakaian di depan pintu kamarku, seperti sedang menjaga tubuhya agar tak terjatuh.
"Ya~ Lihatlah, kau yang tak baik-baik saja!" seruku.
"Dasar sok tahu! Aku ini hanya lelah setelah latihan, tiga hari lagi adalah ujian ulang taekwondoku"
"Eeii... kau berkeringat dan pucat, duduklah!" perintahku sambil sedikit menarik Chansung untuk duduk di tempat tidur.
Chansung memegang tangan kiriku yang dibalut perban. "Kenapa tanganmu seperti ini?"
"Ini... tak sengaja terkena pecahan kaca saat Jiyong... Ah sudahlah, ini tak seberapa!"
"Jiyong yang melukaimu?" cecar Chansung.
"Bukan begitu, aku yang tak sengaja... Aakh sudahlah, aku tak ingin membicarakannya!" ujarku sambil mengibaskan tangan di depan wajah Chansung.
Saat suasana sedang seperti itu, tiba-tiba ponselku berbunyi dan nama Jiyong tertera di sana.
"Iish... mau apa dia menghubungiku?" umpatku pelan.
"Kau tak akan mengangkat teleponnya? Bukankah itu dia?"
"He.. aku sedang tak ingin, maksudku nanti kuhubungi lagi saja. Emm... kau akan beristirahat di kamarku atau di kamarmu? Ingin kubuatkan sesuatu? Tadi kau bilang kalau kau lelah kan? Ah~ bagaimana kalau kubuatkan teh ginseng?" aku mencoba mengganti topik pembicaraan.
"YA, Han Dain... Ini pasti ada sesuatu! Tanganmu luka, matamu sembap, dan kau tak mengangkat teleponnya, ditambah lagi kau sama sekali tak ingin membicarakannya. Sudah berulangkali kukatakan kalau aku tak akan diam saja kalau dia membuatmu terluka atau menangis!"
"Kau ini terlalu berlebihan... Ini bukan hal besar" jawabku.
"Iish..." Chansung beranjak dari tempat tidur dan meninggalkan kamarku.
"YA! Hwang Chansung... Mau pergi kemana??"
Kubiarkan Chansung tanpa menegejarnya. Dia pasti lelah dan pergi beristirahat. Chansung memang selalu seperti itu saat merasa kesal dan tak tahu mengenai apa yang harus diperbuatnya. Kurasa kali ini kekesalannya bertambah karena Jiyong...
"Oh! Jangan-jangan Chansung..."
Aku segera berlari keluar kamar, mengetuk pintu kamar Chansung dan tak ada jawaban. Kumasuki kamarnya untuk memastikan dan... dia benar-benar tak ada di sana. Aku pun bergegas turun.
"Paman, apakah Chansung pergi keluar?" tanyaku pada paman yang sedang duduk santai di ruang keluarga.
"Dia peri dengan tergesa-gesa. Ada apa?" Paman Hwang mengerenyitkan dahi.
"Ada apa, sayang?" sambung Bibi Hwang.
"Ah~ Emm... aku belum bisa bercerita. Tapi bolehkah aku pergi dengan membawa mobil?" mohonku. Tak ada cara lain yang terpikir selain menyusul Chansung dan mengejarnya dengan mobil adalah cara tercepat.
"Tentu saja kau boleh memakai mobilmu, tapi biarkan Minchul yang menyetir. Memangnya mau pergi kemana? Mencari Chansung?" tanya paman masih dengan wajah penuh tanda tanya.
Kupandangi wajah paman dan bibi secara bergantian. "Terima kasih, paman. Tapi bolehkah kuceritakan setelah aku kembali nanti?"
"Baiklah... Tapi tolong jangan membuat kami khawatir" jawab paman.
"Tidak akan..."
"Berhati-hatilah..." tambah Bibi Hwang.
"Aku pergi dulu" pamitku sambil sedikit berlari mencari Minchul Ahjussi.
* * * *
Sepanjang jalan, mataku liar mencari sosok Chansung tapi tak menghasilkan apa-apa. Minchul Ahjussi kebingungan karena aku memintaya ngebut agar cepat sampai ke empat yang dituju tapi dalam waktu yang bersamaan aku juga memintanya jangan cepat-cepat karena siapa tahu melihat keberadaan Chansung.
Setelah hampir sampai, barulah aku melihat Chansung. Sungguh tak menyangka, dia bisa berlari secepat itu hingga mobil pun tak sanggup mengejarnya.
Sudah kuduga Chansung akan kemari dan sepertinya aku hampir terlambat.
"Hwang Chansung!" teriakku. Aku yakin dia tak bisa mendengar karena aku memang masih di dalam mobil. Begitu keuar... hal itu pun sudah terjadi dan aku benar-benar terlambat.
Chansung sedang menghajar seseorang, dia memukulnya bertubi-tubi nyaris tanpa kompromi. Orang yang dihajarnya adalah...... Jiyong.
"Sudah kuperingatkan kalau kau sekali saja membuatnya menangis apalagi melukainya, aku tak akan mengampunimu!" teriak Chansung sambil terus memukuli Jiyong yang tak memberikan perlawanan sama sekali. Jiyong sudah babak belur dan tampal kepayahan.
"Chansung STOP!! Hentikan" teriakanku tak kalah dari suara geledek. Guru Kim dan Minchul Ahjussi berusaha menghentikan Chansung yang membabi buta. Di saat yang sama, muncul juga Youngbae Oppa.
"Ada apa ini?"
"Oppa..." isakku.
"Hwang Chansung...!" Kulihat Guru Kim menarik Chansung sekuat tenaga karena Jiyong sudah hampir kehilangan kesadaran. Akhirnya tinju Guru Kim pun melayang di wajah Chansung dan baru berhasil menghentikannya.
"Kwon Jiyong..." refleks aku langsung menghampirinya. Begitu pun dengan Youngbae Oppa. Sedangkan Minchul Ahjussi segera membantu Chansung.
Guru Kim pun membantu Minchul Ahjussi untuk menangani Chansung yang terhuyung setelah mendapat pukulan telak darinya.
"Bukan begini caranya menyelesaikan masalah" demikian kalimat yang kudengar dari Guru Kim. Aku dan Youngbae Oppa masih sibuk membantu Jiyong duduk. Wajahnya penuh memar dan lebam.
Untuk sesaat, aku hampir melupakan keadaan Chansung dan baru menyadari kalau Chansung pun membutuhkan dukungan yang sama karena aku lah yang sebenarnya menyebabkan kekacauan ini. Tapi melihat kondisi Jiyong yang jauh kebih parah membuatku merasa berat untuk membiarkannya begitu saja.
Kulihat Chansung segera berlari setelah bisa kembali berdiri tegak. Pandanganku tak bisa melepaskannya. Sejujurnya aku memang khawatir... Sangat khawatir...
"Pergilah..." suara Jiyong menyadarkanku.
"Apa?" tanyaku.
"Bodoh, apa kau tak lihat kalau dia membutuhkanmu? Aku baik-baik saja. Pergilah..." pinta Jiyong dengan suara dan kondisi tubuh yang sama lemahnya.
"Aku tak bisa meninggalkanmu dalam keadaan seperti ini... Ini semua salahku"
"Kau pikir aku semenyedihkan itu?" jawab Jiyong sambil berusaha berdiri dibantu oleh Youngbae Oppa.
"Jiyong benar, disini ada aku dan Jungshin Hyung" Youngbae Oppa menambahkan.
"Sudah kubilang aku muak melihat sikapmu yang sok perhatian. Pergilah!" Jiyong mempertegas ucapannya.
Benar, aku masih sakit hati dengan perkataan Jiyong siang tadi. Tapi kenapa sekarang aku pun malah masih mengkhawatirkannya juga... Akh~
"Iish! Tak punya pendirian! Pergilah!!" kali ini Jiyong benar-benar terdengar mengusir. Meskipun begitu, aku seperti merasakan kalau Jiyong sebenarnya mengharapkan aku tetap tinggal. Akh... tapi mungkin ini hanya perasaanku saja. Jiyong bahkan menghindari tatapan mataku.
Akhirnya, aku dan Minchul Ahjussi berpamitan.
"Kwon Jiyong, maafkan aku..." ucapku sebelum meninggalkannya. Jiyong sama sekali tak mempedulikan dan malah meminta Youngbae Oppa membopongnya masuk ke dalam.
* * * *
Sesampainya di rumah, aku langsung mencari Chansung. Tapi bahkan kamarnya pun masih kosong seperti terakhir kali aku melihatnya.
"Bibi, apa Chansung belum kembali?" tanyaku khawatir. Paman dan bibi masih di ruang keluarga.
"Belum. Ada apa ini sebenarnya?" Bibi Hwang ikut mengkhawatirkan Chansung. Di perjalanan tadi, aku sudah mewanti-wanti Minchul Ahjussi agar jangan dulu bercerita apapun sebelum aku yang bercerita pada paman dan bibi. Aku tak ingin menambah kacau suasana yang memang sedang kacau ini.
"Maaf, paman dan bibi. Aku akan mencari Chansung terlebih dulu lalu aku berjanji akan menceritakan semuanya pada kalian" jawabku seramah mungkin.
"Apa anak itu membuat masalah?" tanya paman.
"Tidak... tidak seperti itu. Mohon tak perlu terlalu khawatir" aku berusaha meyakinkan mereka.
Segera aku kembali keluar untuk mencari Chansung yang seharusnya sudah sampai di rumah karena tadi dia pergi lebih dulu. Rasa khawatir yang kian menjadi mulai menghantui pikiranku.
"Apa Chansung baik-baik saja? Apa dia marah padaku? Apa dia....? Apa dia...??"
* * * *
Aku baru akan keluar gerbang saat melihat Chansung sedang berjalan ke arahku. Situasinya seperti yang biasa kulihat di drama-drama dimana kami saling berjalan menghampiri dalam sebuah adegan slow motion.
Chansung langsung mendekapku. Entah apa yang kurasakan namun disana terselip keinginan untuk tertawa karena aku merasa sedang berakting dalam sebuah drama.
"Maafkan aku..." ucap Chansung pelan sambil mempererat dekapannya.
Belum sempat menjawab permintaan maafnya, aku merasakan kalau dekapan Chansung mulai mengendur dan tubuhnya semakin berat.
"Ya~ Hwang Chansung kau be...rat.... Oh~ Oh~ Oh~" aku tak kuat menahan tubuh Chansung yang tiba-tiba terkulai. Kami pun sama-sama jatuh terduduk.
"Ya~ Ya~ Ya~ Hwang Chansung..." aku mulai panik karena Chansung sepertinya pingsan. Sebisa mungkin aku menahan tubuh kekar Chansung.
"Pamaaannn..... Bibi.... Ahjussi.... " akhirnya jurus teriakan panik lah yang keluar dari mulutku. Aku sudah tak tahu lagi harus bagaimana karena aku pun tak bisa mengangkat Chansung seorang diri.
Paman dan bibi juga seisi rumah lainnya langsung berdatangan begitu mendengar teriakanku. Semua orang tampaknya dalam kepanikan yang sama apalagi setelah melihat Chansung yang terkulai di lenganku.
"Ya~ Ya~ Gwenchana?" paman menepuk-nepuk pipi Chansung lalu menggoyang-goyang bahunya. Beliau tampak lebih panik dari Bibi Hwang. Berbeda sekali dengan tadi yang terkesan cuek dan tak peduli bahkan cenderung emosi serta marah pada Chansung. Dengan sigap paman menggendong Chansung di punggungnya. Beliau juga menolak Minchul Ahjussi yang hendak membantunya.
"Segera hubungi Dokter Lee dan minta dia datang!" perintah paman sambil setengah berlari menuju rumah. Bibi mengikutinya dari belakang.
Semua orang tampak sibuk. Bibi menghubungi Dokter Lee, Minchul Ahjussi membantu memegangi Chansung saat paman menaiki tangga, aku berlari duluan menyiapkan tempat tidur Chansung, dan Park Ahjumma mengambil air minum serta air kompres.
* * * *
Chansung masih belum sadarkan diri saat Dokter Lee memeriksanya. Dokter Lee yang merupakan dokter keluarga membawa serta seperangkat peralatan kedokteran. Beliau memasangkan infus dan masker oksigen karena Chansung sudah pingsan cukup lama. Setelah ritual pemeriksaan selesai, Dokter Lee segera pamit dan berpesan agar Chansung banyak beristirahat. Kasusnya mirip dengan yang pernah terjadi pada Jiyong. Chansung terlalu memforsir tubuhnya untuk beraktivitas melebihi kapasitas.
"Bibi, paman... sebaiknya kalian beristirahat juga agar tak ikut-ikutan sakit. Aku akan menjaga Chansung" pintaku pada paman dan bibi yang masih setia menunggui Chansung. Wajah mereka sudah menyiratkan kelelahan. Terutama paman...
"Tak perlu khawatir, Chansung orang yang kuat, dia pasti segera sembuh. Aku pun sangat berbakat dalam menjaganya" tambahku seraya menyunggingkan senyum untuk meredakan stress yang mungkin saat ini sedang mereka rasakan.
"Dain benar, ayo kita beristirahat" sahut paman sambil menggandeng bibi.
"Kau pun harus istirahat, sayang..." pinta Bibi Hwang tulus.
"Tentu saja, aku akan beristirahat di sini sambil menjaga Chansung" jawabku.
Paman dan bibi meninggalkan kamar. Aku memandangi Chansung yang masih terpejam. Kugenggam tangannya yang terpasang infus. Dingin dan kekar. Tangan ini yang selalu membantuku bangun saat terjatuh. Tangan ini juga yang selalu menghapus air mataku...
"Hei... kau dewa kucing kan? Kau sudah meminjamkan satu nyawamu padaku, jadi harusnya kau masih punya delapan. Jadi cepatlah bangun dan sembuh yaa..." bisikku.
Aku ingat kalau sejak pagi tadi Chansung sudah tampak pucat, tapi dia tetap berlatih dan bekerja. Apa ini semua dia lakukan demi ijin audisi dari paman? Akh... Hwang Chansung... Apa yang akan terjadi setelah ini? Apa paman tetap akan memintamu pergi dari rumah?
Aku mengabaikan bibi yang menanyaiku dengan nada khawatir. "Tak apa, aku hanya lelah" jawaban itulah yang kuucapkan demi menghindari pertanyaan-pertanyaan lain. Kamar adalah tempat yang langsung kutuju.
Peristiwa yang terjadi belakangan ini benar-benar menguras emosi. Tentang Chansung, Jiyong, semuanya terasa membebani dan menyebalkan. Bukan sebal pada mereka, melankan sebal pada keadaanku sendiri yang entah kenapa bisa terjebak pada situasi yang demikian pelik. Rasanya aku hampir tak bisa lagi menahan luapan emosi yang seperti menggedor-gedor dari dalam dada.
Saat tak nyaman seperti ini, biasanya aku akan menumpahkan semua perasaan pada Chansung. Dia selalu mendengarkan keluh kesahku. Tapi situasi sekarang berbeda. Aku tak ingin membebani Chansung karena dia pun sedang dalam masalah yang tak sederhana.
* * * *
Entah karena lelah atau apa, tanpa terasa aku tertidur dan keadaan sekitar sudah menjadi gelap. Ternyata sudah jam 8 malam. Berarti aku sudah tertidur selama 3 jam dan masih dengan pakaian pagi tadi karena memang belum sempat mandi.
"Tok...tok..." suara ketukan segera mengembalikan konsentrasiku. Kugapai kenop lampu seraya berjalan menuju pintu.
"Channie, kau sudah pulang...?" tanyaku begitu melihat Chansung lah yang bertamu ke kamar.
"Gwenchana? Omma bilang kau belum makan sejak sore tadi? Ya! Apa kau habis menangis? Lalu kenapa tanganmu??"
"Iiish... kau ini kenapa? Baru datang sudah memberondongku dengan berbagai pertanyaan seperti itu?"
"YA! Aku khawatir padamu, memangnya tak bisa kau lihat kalau aku khawatir?"
"Aku baik-baik saja, kenapa hari ini orang-orang mengkhawatirkanku secara berlebihan?" jawabku sambil ngeloyor masuk ke dalam kamar diikuti oleh Chansung.
"Kau tak akan seperti ini kalau..."
"Kalau apa?"
"__________" tak ada jawaban.
"Kalau apa??" ulangku seraya berbalik karena heran kenapa Chansung tak melanjutkan kalimatnya. Kulihat Chansung sedang berpegangan erat pada lemari pakaian di depan pintu kamarku, seperti sedang menjaga tubuhya agar tak terjatuh.
"Ya~ Lihatlah, kau yang tak baik-baik saja!" seruku.
"Dasar sok tahu! Aku ini hanya lelah setelah latihan, tiga hari lagi adalah ujian ulang taekwondoku"
"Eeii... kau berkeringat dan pucat, duduklah!" perintahku sambil sedikit menarik Chansung untuk duduk di tempat tidur.
Chansung memegang tangan kiriku yang dibalut perban. "Kenapa tanganmu seperti ini?"
"Ini... tak sengaja terkena pecahan kaca saat Jiyong... Ah sudahlah, ini tak seberapa!"
"Jiyong yang melukaimu?" cecar Chansung.
"Bukan begitu, aku yang tak sengaja... Aakh sudahlah, aku tak ingin membicarakannya!" ujarku sambil mengibaskan tangan di depan wajah Chansung.
Saat suasana sedang seperti itu, tiba-tiba ponselku berbunyi dan nama Jiyong tertera di sana.
"Iish... mau apa dia menghubungiku?" umpatku pelan.
"Kau tak akan mengangkat teleponnya? Bukankah itu dia?"
"He.. aku sedang tak ingin, maksudku nanti kuhubungi lagi saja. Emm... kau akan beristirahat di kamarku atau di kamarmu? Ingin kubuatkan sesuatu? Tadi kau bilang kalau kau lelah kan? Ah~ bagaimana kalau kubuatkan teh ginseng?" aku mencoba mengganti topik pembicaraan.
"YA, Han Dain... Ini pasti ada sesuatu! Tanganmu luka, matamu sembap, dan kau tak mengangkat teleponnya, ditambah lagi kau sama sekali tak ingin membicarakannya. Sudah berulangkali kukatakan kalau aku tak akan diam saja kalau dia membuatmu terluka atau menangis!"
"Kau ini terlalu berlebihan... Ini bukan hal besar" jawabku.
"Iish..." Chansung beranjak dari tempat tidur dan meninggalkan kamarku.
"YA! Hwang Chansung... Mau pergi kemana??"
Kubiarkan Chansung tanpa menegejarnya. Dia pasti lelah dan pergi beristirahat. Chansung memang selalu seperti itu saat merasa kesal dan tak tahu mengenai apa yang harus diperbuatnya. Kurasa kali ini kekesalannya bertambah karena Jiyong...
"Oh! Jangan-jangan Chansung..."
Aku segera berlari keluar kamar, mengetuk pintu kamar Chansung dan tak ada jawaban. Kumasuki kamarnya untuk memastikan dan... dia benar-benar tak ada di sana. Aku pun bergegas turun.
"Paman, apakah Chansung pergi keluar?" tanyaku pada paman yang sedang duduk santai di ruang keluarga.
"Dia peri dengan tergesa-gesa. Ada apa?" Paman Hwang mengerenyitkan dahi.
"Ada apa, sayang?" sambung Bibi Hwang.
"Ah~ Emm... aku belum bisa bercerita. Tapi bolehkah aku pergi dengan membawa mobil?" mohonku. Tak ada cara lain yang terpikir selain menyusul Chansung dan mengejarnya dengan mobil adalah cara tercepat.
"Tentu saja kau boleh memakai mobilmu, tapi biarkan Minchul yang menyetir. Memangnya mau pergi kemana? Mencari Chansung?" tanya paman masih dengan wajah penuh tanda tanya.
Kupandangi wajah paman dan bibi secara bergantian. "Terima kasih, paman. Tapi bolehkah kuceritakan setelah aku kembali nanti?"
"Baiklah... Tapi tolong jangan membuat kami khawatir" jawab paman.
"Tidak akan..."
"Berhati-hatilah..." tambah Bibi Hwang.
"Aku pergi dulu" pamitku sambil sedikit berlari mencari Minchul Ahjussi.
* * * *
Sepanjang jalan, mataku liar mencari sosok Chansung tapi tak menghasilkan apa-apa. Minchul Ahjussi kebingungan karena aku memintaya ngebut agar cepat sampai ke empat yang dituju tapi dalam waktu yang bersamaan aku juga memintanya jangan cepat-cepat karena siapa tahu melihat keberadaan Chansung.
Setelah hampir sampai, barulah aku melihat Chansung. Sungguh tak menyangka, dia bisa berlari secepat itu hingga mobil pun tak sanggup mengejarnya.
Sudah kuduga Chansung akan kemari dan sepertinya aku hampir terlambat.
"Hwang Chansung!" teriakku. Aku yakin dia tak bisa mendengar karena aku memang masih di dalam mobil. Begitu keuar... hal itu pun sudah terjadi dan aku benar-benar terlambat.
Chansung sedang menghajar seseorang, dia memukulnya bertubi-tubi nyaris tanpa kompromi. Orang yang dihajarnya adalah...... Jiyong.
"Sudah kuperingatkan kalau kau sekali saja membuatnya menangis apalagi melukainya, aku tak akan mengampunimu!" teriak Chansung sambil terus memukuli Jiyong yang tak memberikan perlawanan sama sekali. Jiyong sudah babak belur dan tampal kepayahan.
"Chansung STOP!! Hentikan" teriakanku tak kalah dari suara geledek. Guru Kim dan Minchul Ahjussi berusaha menghentikan Chansung yang membabi buta. Di saat yang sama, muncul juga Youngbae Oppa.
"Ada apa ini?"
"Oppa..." isakku.
"Hwang Chansung...!" Kulihat Guru Kim menarik Chansung sekuat tenaga karena Jiyong sudah hampir kehilangan kesadaran. Akhirnya tinju Guru Kim pun melayang di wajah Chansung dan baru berhasil menghentikannya.
"Kwon Jiyong..." refleks aku langsung menghampirinya. Begitu pun dengan Youngbae Oppa. Sedangkan Minchul Ahjussi segera membantu Chansung.
Guru Kim pun membantu Minchul Ahjussi untuk menangani Chansung yang terhuyung setelah mendapat pukulan telak darinya.
"Bukan begini caranya menyelesaikan masalah" demikian kalimat yang kudengar dari Guru Kim. Aku dan Youngbae Oppa masih sibuk membantu Jiyong duduk. Wajahnya penuh memar dan lebam.
Untuk sesaat, aku hampir melupakan keadaan Chansung dan baru menyadari kalau Chansung pun membutuhkan dukungan yang sama karena aku lah yang sebenarnya menyebabkan kekacauan ini. Tapi melihat kondisi Jiyong yang jauh kebih parah membuatku merasa berat untuk membiarkannya begitu saja.
Kulihat Chansung segera berlari setelah bisa kembali berdiri tegak. Pandanganku tak bisa melepaskannya. Sejujurnya aku memang khawatir... Sangat khawatir...
"Pergilah..." suara Jiyong menyadarkanku.
"Apa?" tanyaku.
"Bodoh, apa kau tak lihat kalau dia membutuhkanmu? Aku baik-baik saja. Pergilah..." pinta Jiyong dengan suara dan kondisi tubuh yang sama lemahnya.
"Aku tak bisa meninggalkanmu dalam keadaan seperti ini... Ini semua salahku"
"Kau pikir aku semenyedihkan itu?" jawab Jiyong sambil berusaha berdiri dibantu oleh Youngbae Oppa.
"Jiyong benar, disini ada aku dan Jungshin Hyung" Youngbae Oppa menambahkan.
"Sudah kubilang aku muak melihat sikapmu yang sok perhatian. Pergilah!" Jiyong mempertegas ucapannya.
Benar, aku masih sakit hati dengan perkataan Jiyong siang tadi. Tapi kenapa sekarang aku pun malah masih mengkhawatirkannya juga... Akh~
"Iish! Tak punya pendirian! Pergilah!!" kali ini Jiyong benar-benar terdengar mengusir. Meskipun begitu, aku seperti merasakan kalau Jiyong sebenarnya mengharapkan aku tetap tinggal. Akh... tapi mungkin ini hanya perasaanku saja. Jiyong bahkan menghindari tatapan mataku.
Akhirnya, aku dan Minchul Ahjussi berpamitan.
"Kwon Jiyong, maafkan aku..." ucapku sebelum meninggalkannya. Jiyong sama sekali tak mempedulikan dan malah meminta Youngbae Oppa membopongnya masuk ke dalam.
* * * *
Sesampainya di rumah, aku langsung mencari Chansung. Tapi bahkan kamarnya pun masih kosong seperti terakhir kali aku melihatnya.
"Bibi, apa Chansung belum kembali?" tanyaku khawatir. Paman dan bibi masih di ruang keluarga.
"Belum. Ada apa ini sebenarnya?" Bibi Hwang ikut mengkhawatirkan Chansung. Di perjalanan tadi, aku sudah mewanti-wanti Minchul Ahjussi agar jangan dulu bercerita apapun sebelum aku yang bercerita pada paman dan bibi. Aku tak ingin menambah kacau suasana yang memang sedang kacau ini.
"Maaf, paman dan bibi. Aku akan mencari Chansung terlebih dulu lalu aku berjanji akan menceritakan semuanya pada kalian" jawabku seramah mungkin.
"Apa anak itu membuat masalah?" tanya paman.
"Tidak... tidak seperti itu. Mohon tak perlu terlalu khawatir" aku berusaha meyakinkan mereka.
Segera aku kembali keluar untuk mencari Chansung yang seharusnya sudah sampai di rumah karena tadi dia pergi lebih dulu. Rasa khawatir yang kian menjadi mulai menghantui pikiranku.
"Apa Chansung baik-baik saja? Apa dia marah padaku? Apa dia....? Apa dia...??"
* * * *
Aku baru akan keluar gerbang saat melihat Chansung sedang berjalan ke arahku. Situasinya seperti yang biasa kulihat di drama-drama dimana kami saling berjalan menghampiri dalam sebuah adegan slow motion.
Chansung langsung mendekapku. Entah apa yang kurasakan namun disana terselip keinginan untuk tertawa karena aku merasa sedang berakting dalam sebuah drama.
"Maafkan aku..." ucap Chansung pelan sambil mempererat dekapannya.
Belum sempat menjawab permintaan maafnya, aku merasakan kalau dekapan Chansung mulai mengendur dan tubuhnya semakin berat.
"Ya~ Hwang Chansung kau be...rat.... Oh~ Oh~ Oh~" aku tak kuat menahan tubuh Chansung yang tiba-tiba terkulai. Kami pun sama-sama jatuh terduduk.
"Ya~ Ya~ Ya~ Hwang Chansung..." aku mulai panik karena Chansung sepertinya pingsan. Sebisa mungkin aku menahan tubuh kekar Chansung.
"Pamaaannn..... Bibi.... Ahjussi.... " akhirnya jurus teriakan panik lah yang keluar dari mulutku. Aku sudah tak tahu lagi harus bagaimana karena aku pun tak bisa mengangkat Chansung seorang diri.
Paman dan bibi juga seisi rumah lainnya langsung berdatangan begitu mendengar teriakanku. Semua orang tampaknya dalam kepanikan yang sama apalagi setelah melihat Chansung yang terkulai di lenganku.
"Ya~ Ya~ Gwenchana?" paman menepuk-nepuk pipi Chansung lalu menggoyang-goyang bahunya. Beliau tampak lebih panik dari Bibi Hwang. Berbeda sekali dengan tadi yang terkesan cuek dan tak peduli bahkan cenderung emosi serta marah pada Chansung. Dengan sigap paman menggendong Chansung di punggungnya. Beliau juga menolak Minchul Ahjussi yang hendak membantunya.
"Segera hubungi Dokter Lee dan minta dia datang!" perintah paman sambil setengah berlari menuju rumah. Bibi mengikutinya dari belakang.
Semua orang tampak sibuk. Bibi menghubungi Dokter Lee, Minchul Ahjussi membantu memegangi Chansung saat paman menaiki tangga, aku berlari duluan menyiapkan tempat tidur Chansung, dan Park Ahjumma mengambil air minum serta air kompres.
* * * *
Chansung masih belum sadarkan diri saat Dokter Lee memeriksanya. Dokter Lee yang merupakan dokter keluarga membawa serta seperangkat peralatan kedokteran. Beliau memasangkan infus dan masker oksigen karena Chansung sudah pingsan cukup lama. Setelah ritual pemeriksaan selesai, Dokter Lee segera pamit dan berpesan agar Chansung banyak beristirahat. Kasusnya mirip dengan yang pernah terjadi pada Jiyong. Chansung terlalu memforsir tubuhnya untuk beraktivitas melebihi kapasitas.
"Bibi, paman... sebaiknya kalian beristirahat juga agar tak ikut-ikutan sakit. Aku akan menjaga Chansung" pintaku pada paman dan bibi yang masih setia menunggui Chansung. Wajah mereka sudah menyiratkan kelelahan. Terutama paman...
"Tak perlu khawatir, Chansung orang yang kuat, dia pasti segera sembuh. Aku pun sangat berbakat dalam menjaganya" tambahku seraya menyunggingkan senyum untuk meredakan stress yang mungkin saat ini sedang mereka rasakan.
"Dain benar, ayo kita beristirahat" sahut paman sambil menggandeng bibi.
"Kau pun harus istirahat, sayang..." pinta Bibi Hwang tulus.
"Tentu saja, aku akan beristirahat di sini sambil menjaga Chansung" jawabku.
Paman dan bibi meninggalkan kamar. Aku memandangi Chansung yang masih terpejam. Kugenggam tangannya yang terpasang infus. Dingin dan kekar. Tangan ini yang selalu membantuku bangun saat terjatuh. Tangan ini juga yang selalu menghapus air mataku...
"Hei... kau dewa kucing kan? Kau sudah meminjamkan satu nyawamu padaku, jadi harusnya kau masih punya delapan. Jadi cepatlah bangun dan sembuh yaa..." bisikku.
Aku ingat kalau sejak pagi tadi Chansung sudah tampak pucat, tapi dia tetap berlatih dan bekerja. Apa ini semua dia lakukan demi ijin audisi dari paman? Akh... Hwang Chansung... Apa yang akan terjadi setelah ini? Apa paman tetap akan memintamu pergi dari rumah?
-bersambung-
Part 16 < Prev Next > Part 18 (on progress)
No comments:
Post a Comment