"Ini... hadiah ulang tahun dari eomma saat umurku 10 tahun.
Satu-satunya benda yang membuatku merasa... pernah memiliki keluarga..."
ucap Jiyong lirih.
Kugenggam tangannya yang sedang memegang kalung itu lalu berbisik, "Kau tak pernah kehilangan keluarga..."
Reaksi Jiyong sama sekali tak terduga, dia menyingkirkan tanganku... dan tak berucap sepatah katapun. Did I wrong? Did I wrong? pertanyaan itu terus berputar-putar. Aneh, kecewa, dan sedikit sakit. Itulah yang kurasakan. Seperti sebuah penolakan...
"Ekhem... udaranya dingin, kau tak akan segera masuk, Hannie?" suara Chansung ibarat pecahan kaca yang tiba-tiba berjatuhan dalam keheningan.
"Chan... Chansung.... kau sudah pulang?" tanyaku sambil menggerak-gerakkan tangan tak jelas. Sedangkan Jiyong, kulihat segera memasukkan kalung itu ke dalam saku jaketnya.
"Hemm..." Chansung berjalan diantara aku dan Jiyong.
"Baiklah, aku pulang..." pamit Jiyong.
"Terima kasih sudah mengantarku."
Tanpa menjawab, Jiyong langsung masuk ke dalam mobil dan pergi begitu saja. Ada apa? Kenapa tiba-tiba suasananya menjadi seperti ini? Padahal sebelumnya kami baik-baik saja. Setelah sejenak memejamkan mata dan mengatur nafas untuk menenangkan diri, aku segera berlari menyusul Chansung.
"Kalian lebih akrab dari yang kuduga" ujar Chansung.
"Akh, hanya perasaanmu..." jawabku enggan.
"Aku sungguh-sungguh ketika berkata bahwa aku akan menghajarnya jika dia sampai membuatmu, setetes saja, mengeluarkan air mata!"
"Ya! Kau ini bicara apa? Ckckck... Apa kau baik-baik saja? Kepalamu tidak terbentur saat latihan tadi, kan? Hem?? Hahaha... Akan kuadukan ke pihak sekolah kalau latihan taekwondo kalian mulai ber..."
"Kau selalu saja melindunginya..." potong Chansung sinis. Aku kembali tertegun dengan keanehan yang terjadi. Ada apa sebenarnya dengan mereka?
Appa, eomma... aku tak mengerti... aku tak mengerti...
"Ya! Kau ini bicara apa? Ckckck... Apa kau baik-baik saja? Kepalamu tidak terbentur saat latihan tadi, kan? Hem?? Hahaha... Akan kuadukan ke pihak sekolah kalau latihan taekwondo kalian mulai ber..."
"Kau selalu saja melindunginya..." potong Chansung sinis. Aku kembali tertegun dengan keanehan yang terjadi. Ada apa sebenarnya dengan mereka?
Appa, eomma... aku tak mengerti... aku tak mengerti...
* * * *
Kompetisi streetdance yang semakin dekat membuat Jiyong dan Youngbae oppa makin giat berlatih. Terkadang mereka berlatih hingga larut malam, atau subuh, lebih tepatnya. Melihat seperti itu, aku sedikit khawatir. Jangan-jangan mereka malah sakit saat hari kompetisi mengingat jadwal EPIC pun tak kalah padatnya. Tapi meminta mereka mengurangi porsi latihan atau manggung? Rasanya tak mungkin...
Chansung yang sedang mempersiapkan diri untuk ujian dan turnamen taekwondo juga tak jauh beda. Setiap hari dia tiba di rumah sekitar jam 2 dini hari, bersekolah keesokan paginya, dan kembali berlatih di sore hari. Begitu seterusnya. Kadang aku berpikir apa pelatih tak mempertimbangkan tentang kondisi fisik?! Beberapa minggu terakhir, Chansung selalu tertidur selama perjalanan menuju sekolah. Hal ini menunjukkan kalau fisik Chansung sebenarnya lelah, hanya saja dia tak pernah mengeluh.
Dari sudut pandang lain, Jiyong, Youngbae oppa, dan Chansung menurutku adalah orang-orang yang pantas diberi penghargaan. Mereka benar-benar bekerja keras untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Usaha yang mereka lakukan tak hanya 100%, melainkan beratus-ratus persen, berkali-kali lipat, entah bagaimana lagi harus menggambarkannya. Pokoknya banyak...
* * * *
Dua hari sebelum kompetisi streetdance
Ini ketiga kalinya aku melihat Jiyong dan Youngbae Oppa latihan setelah kejadian malam itu. Kami memang kembali seperti semula meskipun masih dalam atmosfer yang berbeda. Tak pernah ada pembicaraan lebih lanjut. Jadi kuanggap semua telah selesai, atau setidaknya begitulah yang kusimpulkan. Mungkin Jiyong hanya sedikit stress menghadapi kompetisi.
Seperti biasa, aku selalu membawakan jus tomat-nanas favorit Jiyong setiap kali berkunjung. Sedangkan untuk Youngbae Oppa, aku selalu membawakan sesisir pisang yang memang sangat bermanfaat untuk menjaga kondisi tubuh dan berfungsi sebagai sumber energi.
Tanpa canggung, aku langsung memasuki ruang latihan dance yang berpintu penuh stiker di studio Youngbae Oppa. Tak ingin mengganggu, aku segera mengambil tempat di sebuah bangku dekat pintu masuk. Kulihat mereka melatih koreo masing-masing sambil sesekali berdebat. Jiyong dan Youngbae Oppa memang akan saling berkompetisi, tapi saat latihan mereka tetap kompak dan tak menunjukkan adanya persaingan.
"Ooh... pisangku sudah datang" seru Youngbae Oppa sambil melambaikan tangan ke arahku. Jiyong pun sebenarnya menoleh, namun sikapnya tetap dingin.
Setelah beristirahat sebentar, mereka kembali melanjutkan latihan. Entah sengaja atau tidak, Jiyong melempar handuk bekas mengelap keringatnya tepat di wajahku.
"Ya! Lihat dulu sebelum melempar sesuatu!" Youngbae Oppa memperingatkannya.
Jiyong langsung membalikkan badan, "Sorry..." ucapnya sambil mengangkat sebelah tangan dan sedikit tersenyum. Senyum yang sudah lama tak kulihat.
"It's ok!" balasku yang tak bisa menyembunyikan perasaan... emm, entahlah perasaan apa. Seperti kesejukan yang perlahan-lahan menetes di atas rerumputan kering musim panas.
* * * *
"Kau baik-baik saja?" tanya Jiyong saat kami menikmati makan malam bersama.
"Hah? Ne..." jawabku.
"Maaf, tadi aku tak sengaja..." ujar Jiyong sambil menghabiskan tetes terakhir dari jus tomat-nanas di hadapannya.
"Hmm... gwenchanha."
"Nah... begitulah seharusnya! Aku bosan melihat kalian tak saling bicara, seperti orang pacaran yang sedang bertengkar saja" ujar Youngbae Oppa yang baru keluar dari kamar mandi. Aku dan Jiyong hanya tersenyum canggung mendengarnya. Kami memang masih di rumah Youngbae Oppa. Makan bersama setelah latihan adalah kebiasaan baru yang nyaris menjadi kebutuhan bagi kami.
Jiyong dan Youngbae Oppa memutuskan tak berlatih terlalu keras untuk menjaga stamina agar tak kelelahan saat kompetisi sesungguhnya yang tinggal dua hari lagi.
"Dain-ah, pastikan kau tak lupa datang ke kompetisi!" Youngbae Oppa yang kini bergabung di meja makan kembali mengingatkan.
"Tentu, oppa. Aku pasti datang. Mana mungkin aku lupa."
"Dia memang pelupa, tapi untuk acara penting ini dia pasti tak akan lupa, hyung!" Jiyong menambahkan.
"Hem... benar, oppa. Lagipula, sekolah sudah mulai libur. Waktu luangku lebih banyak."
"Apalagi dia akan membantuku menyiapkan kostum, benar kan?" todong Jiyong.
"Hah? Hmm... benar, aku akan membantumu" meski kaget dengan permintaan dadakannya, tapi aku merasa ini pertanda baik. Jiyong kembali membuka dinding yang kemarin sempat ditutup secara tiba-tiba sehingga aku bahkan tak bisa mengintip barang sedikitpun.
* * * *
"Mau mampir sebentar ke suatu tempat?" tanya Jiyong. Kami sedang dalam perjalanan mengantarku pulang.
"Hmm... kemana?" Jiyong tak menjawab dan hanya tersenyum. Oh, Tuhan... aku memang merindukan senyumnya...
"Kendaraan dinas" Jiyong ini terparkir di suatu tempat yang sangat familiar. Kami keluar bersamaan dan tanpa menunggu komando, masing-masing sudah tahu kemana harus membawa kaki melangkah. Meski sudah jam 10 malam, tempat ini nyaris tak sepi. Bahkan cenderung ramai. Seperti halnya di siang hari, malam hari pun orang-orang tetap berlalu lalang. Para pesepeda juga tak mau kalah eksis dengan mereka yang datang bersama pasangan. Dari jauh sudah tampak cahaya berkilauan yang sangat memanjakan mata. Kilauan itu adalah bayangan lampu di atas permukaan sungai. Tempat ini tak lain taman di tenggara Sungai Han yang akan langsung terhubung ke Girin dan danau belakang sekolah.
Senyum seperti tak mau beranjak dari bibirku. Kami berjalan menyusuri Kawasan Girin di malam hari. Andai tak makan dulu sebelumnya, hotdog pasti sudah bersarang di perut kami.
"Oh~ bukankah itu Joonie Sunbae?" tunjukku pada seorang pria tinggi yang sedang berdiri di depan penjual ddeokbokki. Joonie Sunbae adalah seniorku di sekolah, teman seangkatan Jiyong, sekaligus pemimpin klub taekwondo yang juga berarti senior Chansung.
"Benar kan, Ji..." loh, kemana Jiyong? Dia tak ada di sampingku. Kuedarkan pandangan ke sekeliling. Di belakang kulihat Jiyong sedang meringis sambil memegangi perut dan mengelap keringat di dahi.
"Gwenchanha?" tanyaku yang segera menghampirinya.
"Hahaha, kau masih bodoh! Masih saja tertipu olehku" ledek Jiyong yang tiba-tiba langsung menegakkan badannya.
"Ish... kau!"
"Hahaha..." Jiyong berlari meninggalkanku. Aku jadi lupa akan menunjukkan Joonie Sunbae padanya.
Eh, Joonie Sunbae? Dia pemimpin klub taekwondo, tapi bisa santai-santai seperti itu? Apa memang tak mengikuti ujian atau turnamen? Sampai sekarang Chansung masih repot mempersiapkan keduanya. Hmm... atau mungkin dia sengaja memberi kesempatan pada junior untuk maju. Haha, curang...!
* * * *
Streetdance Competition (The Day)
Aku memandangi diriku di cermin. Orang-orang bilang aku mewarisi mata bulat appa. Rambutku lurus seperti eomma karena rambut appa sedikit bergelombang. Untuk ukuran wanita, aku bisa dibilang cukup tinggi. Badanku kurus tapi pipi tembamku sering jadi sasaran tangan-tangan gemas, termasuk Chansung.
Appa, eomma... apa kalian bisa melihatku? aku tumbuh dengan baik, bukan?
Aku sedang bersiap-siap datang ke kompetisi untuk mendukung Jiyong dan Youngbae Oppa. Jumpsuit biru dan t-shirt putih adalah pilihan pakaian yang kukenakan agar tampak santai dan kasual. Kuikat seluruh rambutku yang sebahu namun membiarkan poni, serta rambut-rambut pendek di bagian samping tetap tergerai.
Setelah berpamitan pada paman-bibi dan juga Chansung. Aku segera meluncur. Jam memang masih menunjukkan pukul 3 sore yang berarti masih banyak waktu untuk membantu Jiyong bersiap-siap karena kompetisi baru dimulai jam 9 malam. Saat ini dia mungkin masih mengantarkan alat musik dan aku kebagian tugas membawa pakaian yang akan dipakainya dari binatu.
"Annyeonghaseo..." sapaku sambil membuka pintu masuk di toko Guru Kim.
"Oh, Han Dain. Ada yang bisa kubantu? Apa Jiyong meninggalkan sesuatu?" tanya Guru Kim sambil membersihkan simbal drum.
Terus terang, ada yang janggal dengan pertanyaan Guru Kim. Kenapa pertanyaannya seperti itu?
"Ah~ tidak sonsaengnim. Saya baru membawakan pakaiannya, rasanya semua beres."
"Oh, syukurlah. Lalu dimana Jiyong?"
DEG~ ini dia yang tidak beres. Guru Kim menanyakan Jiyong? Bukankah seharusnya aku yang bertanya?
"Maaf Kim Sonsaeng, apa Jiyong tidak sedang mengantarkan alat musik?" tanyaku heran.
"Seharusnya memang iya, tapi karena ini hari kompetisi jadi dia kuliburkan. Bukankah sejak kemarin bersama Han Dain?"
"Apa??"
"Kenapa??" Guru Kim balik bertanya.
"Sejak kemarin saya tak bertemu Jiyong..."
"Ooh... berarti masih di rumah Youngbae-ssi" jawab Guru Kim santai. Rasanya kekhawatiranku memang tak beralasan dan terlalu berlebihan.
Aku segera menghubungi Jiyong untuk memastikan sekaligus bertanya dimana dia akan berganti kostum karena pakaian yang akan dipakainya masih ada padaku.
"What's up, kau menghubungi Kwon Jiyong yang ponselnya sedang tak aktif. Tinggalkan pesan saja setelah bunyi bip, Ok! bip... bip... bip..." yah... dijawab mesin penjawab, gerutuku.
Lalu aku menghubungi nomor lain. Nomor Youngbae Oppa, "Ye, Dain-ah..." sapa Youngbae Oppa di seberang telepon.
"Oppa, bisa aku bicara dengan Jiyong sebentar? Kuhubungi ponselnya tapi tak aktif..." pintaku to the point.
"Jiyong? Memangnya dia tak bersamamu? Aku tak bertemu dengannya sejak kemarin..."
-bersambung-
Angel Spring - Part 9 < Prev Next > Angel Spring - Part 11
No comments:
Post a Comment