"Oppa, bisa aku bicara dengan Jiyong sebentar? Kuhubungi ponselnya tapi tak aktif..." pintaku to the point.
"Jiyong? Memangnya dia tak bersamamu? Aku tak bertemu dengannya sejak kemarin..." jawaban Youngbae Oppa membuat rasa khawatirku kembali ke titik puncak.
"Tidak, oppa... aku pun tak bertemu Jiyong sejak kemarin. Begitu juga Guru Kim..." jawabku pelan. Pikiranku liar kemana-mana. Dimana Jiyong? Kemana dia? Kenapa tak satupun dari kami bertemu Jiyong sejak kemarin?
"Hey, Dain-ah... tenanglah! Jiyong pasti baik-baik saja. Dia juga tak mungkin melewatkan kompetisi ini. Kau ingat bagaimana semangatnya saat berlatih kan?" Youngbae Oppa berusaha menenangkanku.
"Hmm... baiklah, oppa. Terima kasih. Aku yakin dia pasti baik-baik saja..." ujarku sambil kemudian memutuskan sambungan telepon.
Guru Kim segera menghampiri dan mengelus pundakku. Dari sorot matanya, aku tahu beliau pun sebenarnya tak kalah khawatir meskipun sikapnya masih tampak santai.
"Mungkin Jiyong pulang ke rumahnya" ujar Guru Kim sambil menuliskan sesuatu pada secarik kertas dan menyerahkannya padaku. "Ini alamat rumah Jiyong..." lanjutnya.
Tanpa menunggu lama, aku sudah berada di dalam taksi. Sejak pertama kali mengenalnya, belum pernah sekalipun aku tahu rumah Jiyong. Kami lebih sering bertemu di rumah Guru Kim atau di rumah Youngbae Oppa. Jika tidak di kedua tempat tersebut, maka tempat lain yang paling sering kami kunjungi adalah danau belakang sekolah dan Girin.
"Sudah sampai, nona" suara serak sopir taksi yang bermasker itu membuyarkan lamunanku. Perjalanan yang menghabiskan waktu sekitar 45 menit terasa hanya semenit. Segera kukeluarkan uang untuk membayar ongkos taksi dan berterima kasih. Kulihat lagi alamat yang diberikan Guru Kim dan memastikan bahwa aku tak menuju tempat yang salah.
"Permisi..." sapaku sambil mengetuk sebuah gerbang kayu yang besar dan tinggi. Tak ada bel di rumah itu sehingga aku mengetuk lagi dengan lebih keras saat beberapa kali tak mendapat respon. Karena masih tak ada jawaban, akupun memberanikan diri untuk masuk. Sebuah pekarangan sempit dengan rumput hampir setinggi lutut menyambutku dari balik gerbang kayu tadi. Di seberang nampak sebuah pintu geser yang sudah dalam kondisi terbuka.
"Permisi... apa ada orang disini?" sapaku lagi. "Kwon Jiyong, kau di dalam?" aku mencoba memanggil Jiyong sambil memasuki rumah yang ternyata tak sebesar kelihatannya.
Cat dan wallpaper yang mulai mengelupas di beberapa bagian semakin memperkental kesan kurang terawat dari rumah ini. Kaleng bekas minuman pun berserakan di lantai parket. Di ujung ruangan, di sebelah kanan, kulihat ruangan lain. Seperti sebuah kamar.
"Kwon Jiyong..." panggilku.
Antara lega tapi juga kaget kulihat Jiyong sedang meringkuk di atas kasur lipat dan menyelimuti seluruh tubuhnya hingga ke dada. Hanya dengan melihatnya saja sudah bisa dipastikan kalau Jiyong tak sehat. Wajahnya sangat pucat. Hal yang selama ini kukhawatirkan benar-benar terjadi...
Jiyong langsung membuka mata saat aku duduk di sampingnya.
"Kau...?" ucapnya lemah.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum.
"Ekhem... Jam berapa sekarang?" tanya Jiyong.
"Jam 5 sore."
"Baiklah, bangunkan aku satu jam lagi!" Jiyong membalikkan badan dan kembali tidur.
Apa-apaan itu? Rasanya ingin sekali menjitak kepalanya. Begitukah caranya memperlakukan 'tamu'? Meski sedang sakit, sikapnya sama sekali tak berubah. Apa dia tak sadar kalau sedari tadi aku khawatir?! Ish... lalu apa yang harus kulakukan selama satu jam ini? Menungguinya tidur? Huh...
Kurapikan sedikit ruangan di rumah itu dan membersihkan kaleng-kaleng yang berserakan. Setelah lebih nyaman dilihat dan tampak seperti rumah, aku memeriksa dapur. Benar-benar tak ada harapan. Sama sekali tak ada yang bisa dimasak selain air. Akupun keluar untuk mencari mini market terdekat, membeli bubur instan dan beberapa kantung teh serta bahan-bahan lain. Tak lupa, aku juga menghubungi Guru Kim dan Youngbae Oppa, memberi kabar agar mereka tak khawatir.
Setibanya di rumah, segera kupanaskan bubur dan meracik minuman. Dalam waktu setengah jam semuanya sudah siap. Semangkuk bubur dan segelas teh ginseng hangat.
"Ya! Masih mau mengikuti kompetisi?" tanyaku pada Jiyong. Badannya memang masih sangat panas, tapi mencegahnya ikut kompetisi yang telah ia persiapkan sedemikian rupa sama saja dengan membunuhnya.
"Eeemh... apakah ini sudah satu jam?" Jiyong balik bertanya sambil berusaha mengangkat tubuhnya.
"Satu jam lebih sepuluh menit..."
Jiyong bergegas bangun. Hidungnya mengendus-endus.
"Kau memasak sesuatu?" tanyanya.
"Hanya bubur dan teh ginseng"
"Ckck... tak ada keahlian lain selain memasak? Bau masakanmu selalu menggoda hidungku!" seru Jiyong sambil melangkah keluar kamar dan melempar selimutnya.
Sebenarnya itu pujian atau apa?! Setelah melipat selimut yang dia lemparkan, aku segera menyusulnya.
"Waah... rasanya enak dan nyaman sekali setelah memakan ini, darimana kau tahu kalau aku lapar?"
"Nyaman? Kau ini aneh, baru kudengar ada makanan yang rasanya nyaman..."
"Hehe... gomawo, Dain-ah" ucap Jiyong tulus.
Ya ampun, mendengar ucapan terima kasih dan melihat senyumnya saja sudah lebih dari cukup buatku. Sikapnya yang dingin belakangan ini masih belum kupahami...
* * * *
Kudengar suara pintu bergeser sesaat setelah mencuci peralatan makan yang baru dipakai. Seorang wanita paruh baya dengan gaun terusan berwarna merah sepanjang lutut menatapku penuh tanda tanya. Tangan kirinya menenteng sebuah tas hitam kecil dan sebatang rokok yang masih menyala terselip di sela-sela jari kanannya. Wanita itu terlihat glamor dengan rambut yang disasak rapi dan riasan wajah cukup tebal. Perona pipi serta lipstik merahnya tampak mencolok.
"Siapa kau?" tanya wanita itu. Caranya bertanya mengingatkanku pada Jiyong saat kami pertama kali bertemu di danau. Waktu itu kalimat pertama dan cara bicara Jiyong sama persis dengan wanita ini.
"Annyeonghaseo, saya Han Dain", sapaku sambil membungkukkan badan. "Saya teman Jiyong" lanjutku.
"Tak usah mempedulikannya! Ayo berangkat, kita sudah tak punya banyak waktu!" Jiyong sudah berdiri di ambang pintu dengan menyandarkan sebelah tangannya ke dinding kamar. Meski telah tersentuh air, wajahnya masih tampak pucat dan "bruk..." Jiyong tiba-tiba ambruk di langkah pertamanya.
"Ya Tuhan, Kwon Jiyong!" aku refleks berteriak dan berlari ke arahnya. Kupegangi kedua lengan Jiyong untuk membantunya kembali berdiri.
"Kau baik-baik saja? tanyaku pada Jiyong. Si wanita paruh baya pun sebenarnya ikut membantu Jiyong berdiri tapi Jiyong segera menepisnya dengan sedikit kasar. Persis seperti yang pernah Jiyong lakukan padaku.
"Aku baik-baik saja", jawab Jiyong sambil mencoba tersenyum dan tak menghiraukan wanita itu. Dia kemudian melangkah pelan, sama sekali tak ingin dibantu.
Wanita bergaun merah tampak kecewa, terlihat dari caranya membuang muka. Meskipun terkesan sinis dan angkuh, sorot mata yang ia coba sembunyikan tetap tak bisa berbohong. Rasanya aku mengerti bagaimana suasana hati wanita itu sekarang.
"Bibi, maaf kami permisi dulu" pamitku. Aku berada dalam posisi yang serba salah diantara mereka.
"Han Dain, kau ikut pergi atau tidak?" tanya Jiyong yang sudah bersepatu lengkap. Aku kembali membungkuk dan berpamitan pada wanita itu lalu segera menyusul Jiyong yang sudah melangkah keluar.
Di dalam taksi Jiyong hanya memejamkan mata dan menutup hampir sebagian wajahnya dengan hoodie, menunjukkan kalau dia tak ingin banyak bicara. Terutama mungkin tentang apa yang baru saja terjadi. Meski sebenarnya banyak yang ingin kutanyakan, tapi segera kuurungkan karena tak ingin merusak moodnya.
* * * *
Kawasan Hongdae yang menjadi tempat diselenggarakannya Streetdance Competition sudah dipenuhi peserta. Jiyong berjalan sambil merangkul bahuku. Bagi orang lain yang melihat, kami mungkin tampak romantis. Tapi yang sebenarnya terjadi adalah Jiyong sedang menopangkan tubuhnya yang nyaris sulit untuk diajak berdiri. Jiyong bersikeras mengikuti kompetisi walaupun tahu kondisinya seperti itu.
Jika ditanya apakah aku tega membiarkannya menari dalam keadaan sakit, tentu saja jawabannya tidak. Tapi aku lebih tak tega melihat semua usaha kerasnya selama ini sia-sia. Latihannya yang hingga larut malam di setiap waktu senggang dan di sela-sela kesibukan lain bersama EPIC seolah terbuang percuma jika Jiyong "menyerah" dalam kompetisi ini. Apalagi jika mengingat semangatnya yang menggebu-gebu.
Entah karena sedang dalam keadaan yang serupa atau bagaimana, setiap kali melihat latihan keras Jiyong, pikiranku juga tak bisa lepas dari Chansung beserta persiapan ujian dan turnamennya. Sekarang pun Chansung mulai berkeliaran di kepalaku. Bagaimana keadaannya, latihannya, dan lain sebagainya?! Hmm...
* * * *
Jiyong yang mendapat urutan tampil ke-13 berbaur dengan peserta lain. Orang-orang mengira aku adalah kekasihnya. Jiyong hanya tersenyum setiap mendengar komentar tentang kami. Akupun berusaha bersikap senatural dan seluwes mungkin agar tak tampak canggung. Beberapa peserta memang sudah tak asing karena Jiyong pernah mengajakku saat berkumpul dengan komunitas streetdancer, namun bersama orang-orang baru pun rasanya tak sulit untuk mengakrabkan diri. Mereka umumnya berkepribadian seperti Youngbae Oppa yang mudah bergaul.
"Dimana kau temukan makhluk ini?" Youngbae Oppa yang baru datang segera bergabung denganku dan Jiyong yang sedang duduk di salah satu area tunggu sebelum kompetisi benar-benar dimulai.
"Di sarangnya, hehehe..." candaku. Mendengar jawaban itu, Jiyong langsung mendorong bahuku dan menutup kepalanya dengan hoodie sambil bersandar ke bantalan kursi.
"Kau sakit, Jiyongie?" Yongbae Oppa kembali bertanya sambil memegang leher Jiyong, sedangkan yang ditanya sama sekali tak menjawab dan semakin menutupi wajahnya. Sebuah tanda yang menyiratkan bahwa jawaban dari pertanyaan itu adalah "YA".
"Oppa, kau menghitamkan rambutmu?" tanyaku yang baru menyadari kalau rambut Youngbae Oppa lebih hitam dari biasanya. Kali ini pun rambut Youngbae Oppa ditata mohawk. Terlihat berbeda dari tatanan sehari-hari.
"Apa oppa terlihat lebih tampan dan keren, hah?" Youngbae Oppa balik bertanya.
"Menurutku terlihat lebih muda dan...... baiklah kuakui memang lebih keren."
"Ohoo...yess, akhirnya kau mengakui kalau oppa memang keren. Hahaha..."
"BERISIK!!!" teriak Jiyong dari balik hoodie-nya.
* * * *
Seluruh peserta mendekat ke area stage saat MC mengumumkan bahwa kompetisi akan segera dimulai. Kulihat DJ yang akan mengiringi pun telah siap di tempatnya. Satu demi satu peserta menunjukkan kebolehan masing-masing. Mereka benar-benar bukan penari sembarangan. Walau tak begitu mengerti dalam hal teknik, tapi dengan bisa menikmati apa yang ditampilkan, bagiku itu luar biasa. Berarti mereka berhasil menyampaikan energi dari setiap gerakan yang dibawakan.
Youngbae Oppa yang mendapat urutan ke-10 tampil lebih dulu. Meski pernah melihatnya berlatih, penampilan oppa kali ini tetap membuatku berdecak kagum. Selalu ada debar yang mengiringi setiap langkah yang diperagakan. Serasa ada kejutan-kejutan baru yang kutunggu dari setiap gerakannya. Youngbae Oppa berhasil membuatku memacu jantung lebih cepat hingga hampir terhenti saat memperlihatkan handstand yang sempurna di akhir penampilan. Tak ada seorangpun yang memalingkan wajah dari penampilan Youngbae Oppa, termasuk Jiyong. Dia memang mengagumkan.
Saat tiba giliran Jiyong, perasaan gugup dan tegang langsung mengalir dari kaki hingga kepala, seolah akulah pesertanya. Sebelum memulai penampilan, terlebih dulu Jiyong memegangi kalung bintang di lehernya. Sangat kontras dengan sikap Jiyong pada wanita bergaun merah tadi. Padahal si wanita bergaun merah dan pemberi kalung itu adalah orang yang sama.
Penampilan Jiyong benar-benar membuatku terkejut. Is that really him? The same person who came with me, yang sedari tadi selalu bertopang ke bahuku untuk dapat berdiri, yang sejak sore demamnya masih sangat tinggi, yang sama sekali tak mau minum obat karena khawatir akan membuatnya mengantuk? Aku sungguh tak percaya, karena yang sedang tampil saat ini sama sekali tak nampak seperti Jiyong yang sedang sakit. Gerakannya sangat prima, jauh lebih prima dari saat latihan yang justru dalam kondisi sehat. Tak ada mata sayu atau wajah pucat yang kulihat. Apa yang membuatnya seperti itu? Aku ternganga dan menggeleng-gelengkan kepala. Youngbae Oppa yang tahu kondisi Jiyong pun tak kalah terkejutnya denganku. Setiap gerakan Jiyong sempurna, tanpa cela. Bahkan di akhir penampilan, Jiyong kembali memberi kejutan dengan melakukan dua kali salto. Gerakan improvisasi penuh perjudian yang tak pernah dilakukannya saat latihan. Konsekuensinya hanya dua, gagal total lengkap dengan cedera ataukah sempurna luar biasa. Riuh, sorak sorai, dan decak kagum penonton serta peserta lain menjawab pertanyaan tentang hasil akhir mana yang baru saja dipertontonkan Jiyong.
Dengan penuh percaya diri Jiyong menghampiriku dan Youngbae Oppa. Aku yang seharusnya mengambil banyak gambar Jiyong hanya berhasil mendokumentasikan beberapa momen saja saking terhipnotis oleh penampilannya. Segera kukeluarkan jus tomat-nanas yang memang sudah kusiapkan. Wajah Jiyong langsung berseri-seri.
"Daebak... daebak... daebak...!!!" seru Youngbae Oppa sambil bertepuk tangan menyambut Jiyong. Kami terus berjalan ke barisan paling belakang agar Jiyong bisa beristirahat tanpa terganggu. Sedangkan penonton dan peserta lain sudah kembali terfokus ke area stage untuk melihat pertunjukkan berikutnya.
"Hyung..." panggil Jiyong pada Youngbae Oppa yang berjalan di depannya. Aku sendiri masih di belakang Jiyong sambil mengemasi handuk dan botol minuman.
BRUKK...
-bersambung-
Angel Spring - Part 10 < Prev Next > Angel Spring - Part 12
No comments:
Post a Comment