December 2, 2013

Angel Spring - Part 4


Aku dan Chansung turun dari mobil secara bersamaan. Kami segera berlarian menuju gerbang sekolah. Bukan karena terburu-buru ataupun terlambat, tapi hanya ingin berlomba siapa yang akan terlebih dulu menyentuh lambang SIHS di pintu gerbang. Sebuah perlombaan kekanak-kanakan yang sebenarnya sedikit konyol. Idenya kami dapat di sepanjang jalan menuju sekolah tadi. Sama sekali tak ada maksud atau tujuan apapun dari perlombaan ini, sekedar untuk bersenang-senang sebelum memulai aktivitas.

“Haha, sudah kubilang kau tak akan bisa mengalahanku” ujar Chansung bangga setelah memenangkan perlombaan menyentuh lambang itu.

“Huh, lain kali aku yang akan menang!” sungutku.

Langkah kami menuju kelas sontak terhenti ketika dari kejauhan melihat Kwon Jiyong sedang mendorong seorang siswi yang menghalangi jalannya menuju tangga. Kami memang hanya melihat punggungnya, tapi dari sikap dan kelakuannya sudah bisa ditebak kalau itu memang Kwon Jiyong. Tak ada siswa lain yang berani sekasar itu pada wanita selain dia. Siswi yang didorongnya itu tak melawan dan justru malah terlihat meminta maaf sambil membungkuk. Aku dan Chansung hanya menggelengkan kepala menyaksikan pemandangan itu.

“Kalau sampai kulihat dia melakukan itu padamu atau membuatmu menangis, pasti akan kuhajar!” ucap Chansung penuh emosi.

“Hmm…memangnya kau berani melawan dia?” tanyaku sangsi.

“Dia? Siapa takut? Kau tidak lihat badanku jauh lebih besar? Dia pasti akan menangis seperti bayi.” Chansung memicingkan mata sambil menyentilkan tangannya ke arah Kwon Jiyong yang sudah hampir tak nampak.

“Huh, kenapa pria selalu senang membanggakan kekuatannya!?” cibirku. “dia juga sebenarnya punya sisi baik…” lanjutku pelan sambil berjalan mendahului Chansung.

“Baik? yang seperti itu kau bilang baik? Ya! Apa sekarang kau sedang membelanya?” hardik Chansung. Dia berjalan mundur di sampingku sambil terus memperlihatkan tampang penasaran.

Membelanya? Apakah aku baru saja membelanya? Aku hanya mengucapkan apa yang terlintas di pikiranku. Lagipula tak ada salahnya kan? Orang terjahat di dunia sekalipun pasti punya hati nurani.

“HAN DA-IN! Kau tidak mendengarkan aku bicara?” teriakan Chansung seolah memusnahkan gelembung-gelembung awan di atas kepalaku.

“Ne? Emm…molla, tapi bila api dilawan dengan api bukankah akan menimbulkan kebakaran?” kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku membuat Chansung terbengong-bengong, entah karena terpesona dengan yang baru saja kuucapkan atau dia memang tak memahami maksudnya.

“Sudahlah, sampai ketemu nanti!” kudorong Chansung masuk ke kelasnya lalu melanjutkan langkah menuju kelasku yang berada tepat di sebelah kelas Chansung.

* * * *

Mr. Billy pengajar tamu dari Australia akhirnya menutup pelajaran. Kepalaku sepertinya sudah berasap karena dijejali berbagai materi dan sudah menagih untuk diistirahatkan. Otak pun mulai mengirimkan sinyal-sinyal kantuk ke mata. Untungnya jam memang sudah menunjukkan waktu istirahat. Aku segera meninggalkan kelas dengan riang dan langsung menuju danau. Di sanalah tempatnya bagiku untuk mengembalikan kesegaran otak agar kembali pada performa terbaik dan siap menerima pelajaran berikutnya.

Semenjak insiden ‘kimbab’ itu aku jadi lebih berhati-hati bila berada di sini. Selalu kuperiksa sekeliling termasuk ke atas pohon apakah ada Jiyong atau tidak. Aku tak mau lagi tertangkap basah sedang memikirkan atau membicarakannya seorang diri. Cukup satu kali saja aku dibuat malu oleh hal itu.

Aman… sudah kulihat keadaan sekitar dan tak menemukan tanda-tanda keberadaan Jiyong. Lalu aku duduk bersandar pada sebuah pohon sambil mengeluarkan lollipop dari saku jasku. Baru saja beberapa menit merasakan ketenangan, aku sudah mulai mendengar suara “buk…buk…” yang biasanya bersumber dari si pemarah yang sedang memukuli batang pohon. Huh, selalu saja seperti ini! Apa acara santaiku kali ini juga akan berakhir sebelum dimulai?!

“DAMN!! Shit...shit...shit...!!! Mereka sama sekali tak mengerti! Tak mengerti!! Tak pernah mau mengerti!!” suara Jiyong menggiringku menuju tempatnya berada. Tebakanku tak salah, namja itu sedang memukuli batang pohon lagi bahkan sesekali menendang-nendangnya juga.

Untuk beberapa saat, aku hanya memandanginya dari jauh. Entah sudah berapa kali aku memergoki Kwon Jiyong memukuli batang pohon dengan tinju kerempengnya dan entah sudah sejak kapan kebiasaan itu dia lakukan. Setiap kali melihatnya di sini, tak ada kegiatan lain yang dia lakukan selain memukuli batang pohon dan tidur (seringkali di bawah pohon yang sama dengan yang dia pukuli sehingga terkesan tak tahu malu). Beradu mulut denganku mungkin menjadi kegiatan bonus baginya. Sedangkan bagiku, mendatangi tempat ini benar-benar menjadi candu yang selalu kubutuhkan setiap kali merasa penat dengan berbagai pelajaran meskipun belakangan ini aku lebih sering jadi semacam penonton rahasia.

Yup, akhirnya dia berhenti juga. Kwon Jiyong kini menutupkan wajah pada lengan kanannya yang bertopang ke batang pohon. Kuusahakan bersikap sewajar mungkin dan membuang sejenak rasa malu karena tragedi kimbab.

“Jika aku adalah pohon itu, aku pasti sudah memprotesmu karena sering bersikap kasar dan tak tahu malu. Kau menyakitiku, tapi kau juga berteduh di bawah rimbunan daunku.” kataku sambil menyilangkan tangan di depan dada dan menatap lurus ke arah danau. Jiyong hanya melihat sejenak ke arahku dan kembali melemparkan tinjunya.

“AAAAARRRGH....!!!” pukulan Jiyong semakin keras seiring dengan teriakannya yang menggema dalam keheningan.

“Ya! Berhentilah menyakiti dirimu sendiri setiap kali kau kesal atau marah!” aku mendekat dan mencoba menghentikannya tapi Jiyong sama sekali tak menghiraukan. Frekuensi pukulannya malah semakin cepat membuat lecet di tangannya mulai mengeluarkan darah.

Aneh, hatiku terasa sakit melihat kejadian ini. Entah karena si pemarah ataukah karena perlakuannya pada pohon itu.

"Kwon Jiyong, aku mohon hentikanlah! Tanganmu terluka...!"

Sekuat tenaga kutarik lengannya dan membuatnya berbalik. Jiyong segera memalingkan wajah. Kulihat ada lebam di bawah mata kirinya. Bahkan di sudut bibirnya ada luka berdarah yang sudah mengering. Dia tampak sangat kacau.

“Ya! Gwaenchana??” refleks aku hampir memegang wajahnya jika saja Jiyong tak menghindar.

“Sudah kubilang jangan mencampuri urusanku!!” teriaknya. Jiyong pun langsung pergi dengan setengah berlari. 

Ada apa? Apa dia berkelahi lagi? Aku hanya bisa memandangi punggung Jiyong yang semakin menjauh.

Sebenarnya sudah bukan hal baru jika Kwon Jiyong berkelahi. Tapi ada sebersit rasa khawatir yang tiba-tiba mengganggu pikiranku.

Eomma, kenapa aku merasa seperti ini?~


-bersambung-




Angel Spring - Part 3 < Previous                    Next > Angel Spring - Part 5

1 comment:

Unknown said...
This comment has been removed by the author.