“Channie, boleh aku masuk…?” teriakku dari luar
kamar Chansung.
“Pintunya tak terkunci!”
Mendengar seperti itu aku pun segera masuk.
Kulihat Chansung sedang di meja belajar, berkutat dengan laptopnya.
“Selamat malam Tuan Hwang, aku membawakan dessert anda” ucapku meniru gaya pramu
saji restoran sambil meletakkan puding yang kubawa di mejanya. Chansung yang
melihat makanan favoritnya tersaji di meja langsung sumringah. Kutunjukkan
senyum termanis sambil mengarahkan kedua telunjuk ke ujung bibirku. Chansung
tertawa memperlihatkan deretan gigi depannya yang rapi dan mengacak-acak
rambutku, kebiasaan sejak kecil yang tak pernah hilang sampai sekarang. Dia
segera mengambil pudingnya dan menarik tanganku menuju balkon.
Kami duduk bersama menikmati puding yang kubuat.
Tapi raut wajah Chansung masih datar, meskipun tadi dia sempat tertawa.
“Apa rasanya aneh? Aku memang tak membuatnya sama
persis seperti yang dicontohkan, tapi menurutku ini masih baik-baik
saja...”
“Tidak, pudingmu selalu yang terbaik. Ini enak, hanya saja... aku sebenarnya masih lapar...” Chansung
merengut dan memegangi perutnya.
“Mwo? Lalu kenapa tadi tak makan seperti biasa kalau kau lapar? Tadi kelihatannya kau seperti tak punya selera makan sama sekali.
Jangankan selera makan, kau seperti kehilangan gairah hidup!”
"Benarkah aku terlihat seperti itu? Hmm...berarti aku memang punya bakat akting. Ah ya...bahkan tadi eomma sempat memegangi keningku. Artinya aktingku memang meyakinkan. Wah, kalau ikut casting mungkin aku akan terpilih...." tiba-tiba Chansung langsung terlihat semangat.
"Ya! Kau memang keterlaluan!!"
"Benarkah aku terlihat seperti itu? Hmm...berarti aku memang punya bakat akting. Ah ya...bahkan tadi eomma sempat memegangi keningku. Artinya aktingku memang meyakinkan. Wah, kalau ikut casting mungkin aku akan terpilih...." tiba-tiba Chansung langsung terlihat semangat.
"Ya! Kau memang keterlaluan!!"
“Seharusnya tadi kau memaksaku makan dan meskipun kutolak, kau tetap membawakan makan malam ke kamarku kemudian membujuk sampai akhirnya aku mau makan...” mata almond Chansung mengerling, menggemaskan.
“Skenario macam apa itu? Lagipula aku kan sudah membawakanmu puding?!" sungutku kesal.
"Kau seperti baru megenalku saja. Kalau hanya puding, itu belum cukup untuk membuatku kenyang..."
"Kau seperti baru megenalku saja. Kalau hanya puding, itu belum cukup untuk membuatku kenyang..."
“Huh...salahmu sendiri kenapa menipu kami! Rasanya energiku terbuang percuma untuk mencemaskanmu!"
"Eeiii...kau khawatir? Kalau begitu, ayo bawakan aku makanan...." bujuk Chansung.
"Iiish...berlebihan!!"
"Tapi aku benar-benar masih lapar. Kau tak kasihan padaku? Bagaimana kalau aku mati kelaparan?"
"Akan segera kami urus pemakamannya!" jawabku datar.
"Ya!! Kau memang tidak pengertian!!"
"Eeiii...kau khawatir? Kalau begitu, ayo bawakan aku makanan...." bujuk Chansung.
"Iiish...berlebihan!!"
"Tapi aku benar-benar masih lapar. Kau tak kasihan padaku? Bagaimana kalau aku mati kelaparan?"
"Akan segera kami urus pemakamannya!" jawabku datar.
"Ya!! Kau memang tidak pengertian!!"
“Hahaha....” aku benar-benar tak bisa menahan tawa melihat Chansung yang termakan oleh permainannya sendiri.
* * * *
Seperti biasa saat jam istirahat aku kembali datang ke
taman kolam danau belakang sekolah. Penggunaan istilah ‘taman kolam danau’
memang terdengar aneh. Aku bingung harus menyebut tempat ini apa, disebut kolam
tapi penampilannya seperti danau, disebut danau tapi itu adalah kolam. Mungkin
harus kupikirkan sebuah nama untuk memudahkanku menyebut tempat ini.
Kali ini aku datang membawa kimbab yang kubuat
sebagai bekal makan siangku. Sebenarnya kantin sekolah menyediakan berbagai
jenis makanan yang bisa kupilih. Aku pun biasanya makan di sana bersama
teman-teman yang lain atau bersama Chansung. Tapi hari ini adalah ulang tahun appa, aku ingin
memakan kimbab sambil seolah-olah menikmati suasana piknik di danau seperti yang akan kami lakukan di hari kecelakaan itu. Mobil kami bertabrakan dengan sebuah minibus dari arah berlawanan sebelum tiba di taman hiburan. Rencana merayakan ulang tahun appa pun musnah begitu saja dan appa belum sempat mencicipi kimbab yang kubuat. Kimbab selalu menjadi hal termanis sekaligus terpahit yang mengingatkanku pada appa dan
eomma. Setiap membuat kimbab aku selalu berharap appa dan eomma akan tersenyum bahagia melihat anak perempuan mereka mulai beranjak dewasa.
Kunikmati kimbabku sambil duduk bersila memandangi kelopak bunga sakura yang berjatuhan. Jernihnya air di danau semakin merefleksikan keindahan alam tersebut. Berada di sini selalu membuatku nyaman, meskipun beberapa kali juga bertemu dan beradu mulut dengan Kwon Jiyong.
Tapi
entah kenapa walaupun selalu kesal padanya, ada bagian lain dari hatiku yang
mengatakan kalau sebenarnya dia tak sejahat dan sekasar yang selama ini
terlihat. Sepertinya Kwon Jiyong hanya tak ingin memberi kesempatan pada orang
lain untuk dekat dengannya. Dia seperti membentengi dirinya dengan sebuah tembok besar yang tebal dan kokoh.
“Hah…kenapa aku malah tiba-tiba memikirkan si naga
pemarah itu?” kutepuk-tepuk pipiku. “Han Da-In…tak ada gunanya
memikirkan orang aneh itu!” aku menghela nafas dan merebahkan diri ke tanah.
“Tapi…kalau kuingat-ingat lagi, rasanya selama ini aku belum
pernah melihat Kwon Jiyong tersenyum, wajahnya selalu tampak muram dan angkuh dan juga
menyebalkan. Apa hidupnya sekelam itu?!"
"Eh…? aku malah kembali memikirkannya?! Oh My
God, Han Da-In…!!” kututupkan kedua telapak tangan ke wajah. Huh, baguslah hari
ini aku tak bertemu dengannya.
“BLUGH…” sebuah suara mengagetkanku
dan membuatku kembali menegakkan badan. Aku ternganga melihat Kwon Jiyong yang baru
melompat turun dari atas pohon. Letak pohon itu tak jauh dari tempatku berada.
“Ke..kenapa kau...? Sejak kapan kau ada di situ?”
“Ish...kau memang selalu menggangguku! Pergilah, aku yang lebih dulu ada di sini!” usirnya
sengit.
“Apa? Memangnya kau pikir aku tak terganggu?! Seenaknya saja mengusir orang"
kukemasi tempat bekal makananku lalu berjalan menghampirinya.
“Lantas apa aku terlihat senang dengan
kehadiranmu? dasar mulut besar!” kami saling berkacak pinggang seolah siap
bertempur mempertahankan daerah kekuasaan.
“Ya!! enak saja mengataiku mulut besar,
dasar naga pemarah! Kenapa bukan kau saja yang pergi ke tempat lain kalau
memang tak senang!” aku kembali duduk dan memakan kimbabku dengan kesal. Hal
seperti ini selalu saja terjadi setiap bertemu dengannya. Aku tak habis pikir,
apakah sekolah ini tak memiliki tempat lain untuk ia datangi selain tempat ini.
“Kau masih belum sadar? yang harus pergi adalah kau! Aku sudah lebih dulu
berada di sini sebelum kau tiba-tiba datang dan berbicara sendiri seperti orang
gila!” ucapnya yang ikut duduk di sebelahku.
“Orang gila? Orang gila katamu? Aku tak
lebih gila dari orang yang suka berdiam diri di atas pohon!”
Aku sedikit gugup. Dia bilang kalau aku bicara sendiri? Memangnya aku bicara apa?
Tadi aku memang tiba-tiba memikirkannya. Lalu....apa.....tadi dia mendengar semua yang kukatakan? Haaassh...sepertinya tadi suaraku tak begitu keras, apa dia punya pendengaran super!?
Aku menoleh ke arahnya dan menyodorkan kimbabku.
Rasanya aku seperti kucing yang tertangkap basah mencuri ikan. Wajahku pun
terasa memanas.
“Hahaha, ada apa denganmu? kau pikir bisa menyuapku
dengan kimbab?” Kwon Jiyong tertawa dengan sinis dan menghempaskan tanganku.
Tempat bekal makanan yang kupegang seketika jatuh
ke tanah dan kimbabnya ikut berserakan. Dadaku seperti dipukul palu dengan
keras. Kupungut kimbab itu satu persatu dan kumasukkan lagi ke dalam kotak
bekal makanan.
“Ckckck…benar-benar gila dan jorok! Makanan yang sudah jatuh
masih kau pungut juga”
“Ya! Bisakah sekali saja kau tak bersikap kasar? Setidaknya katakan saja ‘terima kasih’ atau…atau…lebih baik tak perlu melakukan apapun
kalau memang tidak menginginkan kimbabku. Kau malah membuatnya
terbuang sia-sia!” aku hampir tak bisa menahan air mata.
“Kau benar-benar gila! Ini hanya
‘kimbab’, okay!! Bisa kau dapatkan dengan mudah!! Dasar kekanak-kanakan” Kwon Jiyong membela diri.
Sebenarnya aku tak menangis karena Kwon Jiyong. Aku hanya menyesal, kimbab yang kubuat dengan segenap perasaan dan penuh memori indah harus terjatuh sia-sia. Bagi orang lain mungkin kimbab hanyalah makanan biasa dan tak berarti apapun. Tapi bagiku......
Tak ada yang bisa kulakukan untuk membalas Kwon
Jiyong. Bahkan air mataku sepertinya sudah terlanjur jatuh sebelum aku berlari
meninggalkannya. Skak mat! Kali ini dia benar-benar membuatku kesal, sedih,
marah, dan malu secara bersamaan. Lengkap sudah semuanya....
Kulangkahkan kakiku lebar-lebar agar segera
sampai di kelas. Perasaanku masih campur aduk. Belum lagi aku tak bisa membayangkan apa
yang sedang dipikirkan si naga pemarah itu sekarang. Perkataan mana saja yang tadi dia dengar!? Iish...menyebalkaaannn!!!
“Hannie? gwaenchanha?” aku berpapasan
dengan Chansung yang baru keluar dari kantin.
“Gwaenchanha…” jawabku sambil terus
berjalan karena tak ingin Chansung melihat mataku yang mungkin masih sedikit sembab.
“Ya!” Chansung berlari mengejarku.
Tiba-tiba kami dikejutkan oleh orang-orang yang
berhamburan keluar dari kantin sambil menggerutu. Kulongokkan kepala ke jendela
kantin untuk mencari tahu, ternyata Kwon Jiyong yang tadi masih di danau
sekarang sudah berdiri di samping sebuah meja dengan kaki kanan diletakkan ke
atas kursi dan kedua tangan sibuk menunjuk-nunjuk ke sekeliling ruangan. Tiga
orang siswa yang sedang makan di meja tersebut bergegas berdiri dan membawa
makanan mereka, tapi Kwon Jiyong merebut makanan dari salah satu siswa dan
memberi kode pada siswa lain untuk meninggalkan makanan di atas meja. Kedua
siswa tersebut menyimpan kembali makanan mereka dan segera meninggalkan kantin.
“Dia?! Sejak kapan dia ada di situ!! Apa dia
mengikutiku?!” umpatku pelan.
“Mengikutimu?? Kau bertemu dengannya?? Apa yang dia lakukan padamu?” Chansung yang mendengar ucapanku langsung memberondong dengan
pertanyaan-pertanyaan bernada khawatir.
“Ani, aku hanya kebetulan bertemu dengannya...."
“Kebetulan? Apa kau yakin? Lalu kenapa kau menangis?"
“Menangis? Hehe...aku tak menangis. Aku baik-baik saja” Jawabku sambil berusaha tersenyum dan
mengedip-ngedipkan mata.
Chansung sepertinya meragukan jawabanku. Dia
memperhatikan mataku beberapa saat lalu mengangguk-angguk pelan. Chansung memang selalu tahu kalau aku menutupi sesuatu darinya. Walau kadang reaksinya juga berlebihan, tapi dia tak akan bertanya
lebih lanjut kalau aku masih tutup mulut.
“Baiklah…” Chansung mengangkat
kedua tangan di depan dadanya, menunjukkan kalau dia tak akan memaksaku bicara.
“Gomawo,
Channie…” batinku sambil tersenyum, kali ini benar-benar tersenyum. Aku belum
tahu harus bercerita apa padanya, tapi setidaknya perasaanku sudah lebih baik. Berada
di dekat Chansung yang selalu mengerti bagaimana cara menghadapiku sudah cukup
memberikan banyak ketenangan.
* * * *
No comments:
Post a Comment