November 28, 2013

Angel Spring - Part 2

Tak kusangka namja itu akan begitu kasar memperlakukan wanita yang baru sekali dijumpainya. Sambil mengatur nafas, aku berusaha untuk tak tampak kaget ataupun takut.

“Maaf, bisakah kau lepaskan tanganmu, SUNBAE?!” kupelototi namja itu dan berusaha mendorong paksa tubuhnya untuk melepaskan diri. Tapi usahaku sama sekali tak berhasil karena tenaganya lebih besar. Aku sedikit terkejut karena namja itu sebenarnya bertubuh kurus kalau tidak bisa kukatakan kerempeng. 

“Kau akan menyesal sudah berbuat lancang padaku!” umpatnya sambil mendorong tubuhku dengan keras, membuatku jatuh terduduk.........

Si namja merenggut jasnya yang tergeletak di tanah lalu meninggalkanku. Kutarik nafas dalam-dalam sambil memejamkan mata, bersyukur dia kini telah pergi. Tapi kemudian kurasakan tangan kiriku memegang sesuatu, ternyata sebuah kalung perak dengan liontin berbentuk bintang. Mungkin milik namja itu yang tanpa sengaja terlepas saat aku mencoba mendorong tubuhnya atau saat dia mendorong tubuhku. Ketika kualihkan pandangan ke arah namja itu, dia sudah tak terlihat.

Menyebalkan sekali harus bertemu dengan orang sepertinya di hari pertama masuk sekolah. Benar-benar kontras dengan kesenangan yang kurasakan karena menemukan kolam belakang sekolah yang begitu eksotis.

Kurapikan seragam dan segera pergi. Kubatalkan niat untuk menikmati keelokan danau belakang sekolah. Suasana hatiku sudah berubah gara-gara bertemu dengan namja aneh itu.

* * * *
Sudah hampir dua minggu aku menjadi siswa SIHS dan sudah satu kali mengikuti kegiatan bersama klub fotografi. Aku memang memilih fotografi sebagai kegiatan ekstrakurikuler atau di SIHS kami menyebutnya kegiatan pengembangan diri. Hari Sabtu lalu para senior memberi tugas untuk mencari objek foto dengan tema binatang dan kami diberi waktu selama satu bulan untuk mengerjakannya. Setiap akhir bulan, foto-foto yang kami kerjakan akan diapresiasi dan diberi feedback agar kemampuan fotografi kami menjadi semakin baik dan tak mengulang kesalahan yang sama di kemudian hari.

Aku keluar dari sanggar fotografi di lantai satu yang bersebelahan dengan sanggar seni rupa sambil menenteng sebuah kamera DSLR, kamera yang cocok untuk penyuka fotografi amatiran yang baru belajar sepertiku. Aku dan teman-teman di klub fotografi baru saja berdiskusi mengenai konsep apa yang akan kami ambil untuk objek dengan tema binatang yang ditugaskan para senior. Karena tak ingin membuang waktu, setelah selesai berdiskusi aku segera berpamitan dan mulai ‘berburu’.

Kulangkahkan kaki dengan perlahan sambil mengamati sekeliling dan berharap menemukan objek foto yang bagus, entah itu semut, laba-laba, atau serangga apapun yang mungkin akan kulihat di dalam gedung sekolah. Aku ingin mendapatkan objek yang tak biasa dan membuatnya tampak istimewa, itulah sebabnya aku memotret setiap binatang yang kutemui agar mendapat banyak sample dan pilihan.

“……ini peringatan terakhir, kalau masih seperti ini, kau sudah tahu apa yang akan terjadi!” saat melewati ruang bimbingan siswa yang terletak di ujung koridor, tanpa sengaja kudengar suara wakil kepala sekolah sedang berbicara pada seseorang.

Sebenarnya aku sama sekali tak bermaksud menguping atau mengintip. Namun aku terkejut saat tak lama kemudian mendengar suara yang tak asing menimpali ucapan wakil kepala sekolah. Akhirnya kuputuskan untuk mencari tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.

“Aku tahu dan harusnya kau juga tahu kalau dia tak akan datang, apapun yang terjadi dia tak akan peduli. Percuma saja memanggilnya berulang kali! Jadi lakukan saja apa yang seharusnya kalian lakukan!” ujar suara tak asing itu dengan nada kasar dan tanpa sopan santun.

“KWON JIYONG, bicaralah yang sopan pada orang yang lebih tua!” kudengar suara wakil kepala sekolah lagi.

“Apa jika aku bersikap sopan keadaan akan berubah? Haha, sejak dulu yang kalian tahu hanya memberi hukuman…peringatan… hukuman…peringatan! Untuk apa aku bersopan santun?” Kwon Jiyong si pemilik suara yang kukenal membentak wakil kepala sekolah.

Aku benar-benar terkejut dengan apa yang baru kudengar. Namja yang bertemu denganku di kolam beberapa waktu lalu itu ternyata bukan hanya kasar memperlakukan wanita, bahkan wakil kepala sekolah pun berani ditentangnya. Benar-benar  tak memiliki aturan dan tata krama, pikirku.

“PLAKK…”

Spontan aku langsung menutup mulut dengan kedua tangan begitu mendengar suara tepukan yang lebih terdengar seperti suara tamparan. Aku yakin Kwon Jiyong mendapat hadiah tamparan dari wakil kepala sekolah karena sikap kurang ajarnya.

"Hah! Terima kasih karena sudah MENDENGARKAN penjelasanku! Anda memang guru yang HE-BAT!!!" dia kembali mengeluarkan kalimat pedasnya disertai suara gebrakan pada sebuah benda keras. Sejurus kemudian derap langkah tergesa-gesa terdengar semakin mendekat. Aku pun segera bersembunyi di bawah tangga dan "BLAM" pintu ruang bimbingan yang dibanting dengan keras hampir saja membuatku berteriak karena kaget. Setelah yakin keadaan sudah benar-benar aman, aku baru keluar dari tempat persembunyian.

Sambil terus berjalan, aku mencoba mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Tampaknya pihak sekolah sudah beberapa kali memanggil orang tua Kwon Jiyong namun mereka tak pernah datang. Dugaanku pihak sekolah bermaksud memberi laporan mengenai sikap ataupun kenakalan namja itu. Aku jadi ingat informasi yang pernah kudengar sebelumnya dari beberapa siswa lain dan para senior di klub fotografi, mereka bilang Kwon Jiyong memang sering membuat masalah. Dia sering bolos sekolah, kabur dari pelajaran, memalak, dan melakukan tindakan semena-mena lainnya. Para senior menyebut Kwon Jiyong sebagai troublemaker karena sikapnya yang seperti preman. Bahkan dia sering menjadi biang kerok perkelahian, tak hanya di lingkungan sekolah, tapi juga di luar sekolah. Mendapat hukuman sudah menjadi makanannya sehari-hari. Hal itu membuat seluruh siswa menjadi segan dan enggan berurusan dengannya.

Tanpa disadari ternyata kaki sudah membawa langkahku menuju kolam belakang sekolah. Karena sudah terlanjur, akhirnya aku tetap pergi. Lagipula waktu istirahat masih tersisa sekitar lima belas menit, siapa tahu menemukan objek bagus yang bisa kufoto. Aku belum pernah lagi datang ke sana sejak pertama kali mengunjunginya.

Tempat yang langsung kutuju adalah pinggiran kolam, sudah kubayangkan nikmatnya duduk di atas rumput-rumput liar sambil menunggu bel masuk tiba. Apalagi sekarang aku membawa kamera dan bisa mengabadikan setiap inci keindahannya.

Belum juga sampai, aku kembali dikejutkan oleh pemandangan tak terduga. Kulihat Kwon Jiyong sedang berbaring di bawah pohon ek. Dia meletakkan kedua telapak tangannya di belakang kepala dan kaki kanannya disilangkan di atas kaki kiri. Aku hampir membalikkan badan, tapi teringat kejadian di ruang bimbingan tadi. Akhirnya kuberanikan diri duduk beberapa langkah dari posisi Kwon Jiyong berada sambil mulai memotret sekeliling. Entah apa yang membuatkuku penasaran ingin tahu lebih banyak tentang namja ini. Aku hanya merasa ada sesuatu yang kurang pas dan tidak pada tempatnya.

“Lagi-lagi kau! Masih belum jera menggangguku hah?” hardik Kwon Jiyong sinis tanpa beranjak dari posisinya.

“Aku hanya sedang menghabiskan waktu istirahat dan menikmati keindahan tempat ini. Hari ini udaranya lebih nyaman dan bunga-bunga camellia itu mulai ber…”

“Ya! sudah kubilang kalau aku terganggu!” Kwon Jiyong memotong ucapanku. “…memangnya kau tak bisa menghabiskan waktu istirahat di tempat lain"

“Aku tak akan mengganggu, kau lanjutkan saja kegiatanmu. Aku cuma akan memotret. Lagipula aku juga siswa SIHS kan?! Jadi aku pun berhak menikmati keindahan tempat ini!” kuusahakan menjaga nada suara tetap rendah dan tidak terpancing emosi oleh ucapan Kwon Jiyong.

“Shit!! You’re fuckin’ bastard!” Kwon Jiyong beranjak lalu pergi begitu saja. Meskipun kata-katanya kasar, tapi ada sedikit kepuasan yang kurasakan. Kali ini aku yang menang. Namja seperti dia memang tak bisa dihadapi dengan sikap yang sama-sama kasar.

Appa, eomma, kali ini dia tak mencengkram jasku. Takkan kubiarkan dia melakukan hal itu lagi…

* * * *

“Hannie, apa hari ini kau akan pulang bersamaku?” tanya Chansung yang tiba-tiba sudah mensejajarkan langkahnya disampingku yang baru saja keluar dari gedung SIHS.

“Emm, aku pulang sendiri saja…masih akan berburu objek foto. Waktunya satu minggu lagi dan aku belum punya objek yang bagus” kataku sambil mencubit pinggang Chansung untuk menggodnya. Chansung yang mendapat ‘serangan’ dadakan berusaha membalas dan mengulurkan tangannya bermaksud mencubit kedua pipi chubbyku namun tak berhasil. Sudah kuduga dia akan melakukan itu dan segera menjauhinya sambil menjulurkan lidah.

“Awas kau Han Da-In, kubalas kau nanti di rumah!” teriak Chansung. Sepertinya dia terlalu malas untuk mengejarku.

“Annyeong…!” aku pun membalas teriakannya sambil melambaikan tangan.

Setiap hari Sabtu kami memang tak memiliki jadwal hagwon sehingga bisa pulang lebih awal. Aku berniat untuk berjalan kaki menelusuri jalanan di sekitar SIHS dan mencari objek foto. Begitu keluar gerbang kulihat sebuah Kia hitam terparkir di seberang jalan. Itu adalah mobil keluarga Hwang yang biasa mengantar-jemputku dan Chansung ke sekolah. Kulihat juga seorang pria paruh baya berkaca mata sedang duduk di balik kemudi sambil membaca koran. Aku menghampiri mobil tersebut dan menyapanya.

“Selamat sore, ahjussi” sapaku hangat sambil membungkuk dan tersenyum.

“Nona Han Da-In, sudah akan pulang?” tanyanya sopan dan segera melipat koran yang sedang dibaca.

“Masih belum, ada yang masih harus kukerjakan. Tapi Chansung sudah akan pulang, dia sedang menuju kesini. Aku nanti bisa pulang sendiri”

“Baiklah, hati-hati nona! Nona bisa menghubungi saya jika ingin dijemput!”

“Ah…ne, kamsahamnida. Saya permisi dulu” kutinggalkan pria itu bersama hiruk pikuk siswa yang berhamburan keluar SIHS.

Aku melanjutkan langkah menyusuri kawasan Girin yang merupakan pusat pertokoan dan penjual jajanan kaki lima tak jauh dari sekolah. Kawasan ini hampir mirip pasar saking banyaknya penjual yang menjajakan barang dagangan mereka. Tapi tujuan utamaku bukanlah kawasan Girin ini, melainkan satu blok berikutnya yaitu sebuah taman kecil di tenggara Sungai Han. Sore hari seperti sekarang biasanya banyak orang berjalan-jalan dan tak jarang diantara mereka yang membawa hewan peliharaan. Misiku masih tetap sama, memotret berbagai hewan yang kulihat.

Jalan-jalan sore di taman ini ternyata cukup mengasyikan. Melihat berbagai macam orang yang mungkin memang sengaja datang atau hanya sekedar lewat. Ada yang bersepeda, ada juga yang duduk-duduk bersama pasangan masing-masing. Beberapa berjalan-jalan sambil menuntun anjing mereka dan inilah kesempatanku untuk mulai beraksi. Kusiapkan peralatan tempur dan mulai mengeksekusi. Ada yang kufoto diam-diam dan ada juga yang sengaja kumintai ijin untuk kuambil gambar.

Saat melewati jalan setapak di pojokan taman, perhatianku langsung tertuju pada sebuah jas SIHS yang tergeletak di dekat sebuah gorong-gorong saluran pembuangan air. Baru saja bermaksud untuk mendekat, tiba-tiba seorang namja yang kemeja putihnya sudah menghitam oleh lumpur dan air dari gorong-gorong keluar sambil menggendong seekor anak anjing. Kuputuskan untuk tetap melihat pemandangan itu dari balik pohon yang cukup besar agar tak menarik perhatian.

“Kau sudah selamat sekarang!” ucap namja itu ramah sambil mengelus-elus anak anjing yang baru ia selamatkan. Anak anjing jenis bulldog itu kemudian menggelayut manja seolah berterima kasih. Bagiku, itu adalah sebuah pemandangan dramatis dan sangat menyentuh karena sekarang ini tak banyak orang yang peduli pada keselamatan hewan liar.

Tanpa kusadari, aku sudah beberapa kali memotret mereka. Aku yang masih sembunyi di balik pohon memang tak berniat menghampiri. Tak ingin merusak kemesraan dua makhluk yang sedang berbagi kasih sayang tersebut .

Eomma, ternyata dia tak seperti yang kukira…

* * * *

Aku membantu Bibi Hwang menyiapkan hidangan dan menatanya di sebuah meja makan bundar dengan lima buah kursi di sekelilingnya. Meskipun ada asisten rumah tangga, tapi untuk urusan makanan Bibi Hwang selalu turun tangan langsung. Di hari minggu seperti sekarang, biasanya aku membantu bibi menyiapkan makanan. Bibi Hwang tahu dan sangat mengerti bahwa aku senang memasak, ia selalu mengijinkanku menggunakan dapur untuk bereksperimen membuat masakan-masakan yang resepnya kulihat dari internet atau majalah, atau sekedar membuat makanan yang resepnya kukarang sendiri mengandalkan insting. Tak jarang bibi memuji atau mengkritik. Sedangkan Chansung biasanya akan menjadi korban dan harus bertanggung jawab menghabiskan makanan yang kubuat.

Malam itu paman masih belum pulang dari luar kota untuk urusan bisnis namun sudah mengabari bahwa ia akan tiba di rumah sebelum jam makan malam. Sepeninggal orang tuaku, perusahaan memang dijalankan sendiri oleh Paman Hwang. Ayah dan ibuku masing-masing anak tunggal sehingga tak ada yang bisa menjadi penerus usaha rintisan kakekku tersebut. Paman selalu bilang jika kelak aku sudah cukup umur dan memang berminat, kapanpun dapat langsung bekerja di kantor karena aku merupakan ahli waris appa dan memegang beberapa persen saham perusahaan. Namun sepertinya bekerja di kantor bukanlah minatku. Aku lebih senang bereksperimen di dapur meskipun nantinya belum tentu akan menjadi seorang koki.

Tepat sesaat sebelum seluruh makanan siap tersaji di atas meja makan, Paman Hwang tiba di rumah. Rambut kelimisnya masih tertata rapi ke belakang walaupun raut wajahnya menyiratkan kelelahan. Bibi segera menyuruhku untuk memanggil Chansung yang sedari tadi sedang asyik bermain games di kamarnya. 

Kuketuk pintu kamar Chansung beberapa kali dan langsung masuk tanpa menunggunya mempersilahkan terlebih dulu. “Chan…” aku bermaksud memanggilnya, tapi Chansung tak ada di kamar. TV plasma 20” di samping kiri tempat tidur yang biasanya menjadi media untuk bermain games tak menyala sama sekali. Game console nya pun masih tersimpan di tempatnya, di sebuah rak di bawah TV. Bahkan tempat tidur Chansung yang ditutupi bed cover biru tampak rapi dan belum terjamah. Begitupun dengan meja belajarnya yang terletak tepat sejajar dengan pintu kamar tempatku berdiri sekarang.

"Mungkin dia sedang di kamar mandi" pikirku. Lalu aku berjalan ke pojok ruangan untuk mencarinya. Pintu kamar mandi di kamar Chansung sedikit terbuka, tapi tak menunjukkan tanda-tanda ada aktivitas di dalamnya. Kusembulkan kepala untuk meyakinkan, dan memang tak ada orang. Kemudian kulihat gorden putih tipis yang menutupi jendela di pojok lain ruangan bergerak-gerak terkena angin menandakan jendelanya terbuka. Aku menghela nafas menyadari sesuatu, pasti Chansung sedang berada di balkon. Kamar Chansung memang memiliki balkon yang menghadap ke kebun di samping kanan rumah.

Segera kulangkahkan kaki menuju jendela setinggi dua meter itu. Benar saja, Chansung yang berkaos abu-abu dan bercelana pendek longgar motif kotak-kotak sedang duduk memeluk kedua lututnya dengan headphone terpasang di telinga sambil memejamkan mata.

Karena tak ingin membuatnya terkejut aku langsung duduk. Chansung menoleh dan segera melepas headphonenya.

“Kau hobi sekali datang tiba-tiba seperti hantu!”

“Kau yang terlalu asyik sampai tak tahu aku datang. Aku sudah mengetuk pintu tapi tak ada jawaban, makanya langsung masuk”.

Aku sedikit beringsut, menyandarkan badanku ke pagar balkon berbentuk silinder yang diameternya hanya sekitar dua puluh senti. Kini aku bisa melihat wajah Chansung dengan lebih jelas di bawah sinar lampu balkon.

“Dasar kebiasaan!” Chansung mengacak rambutku.

“Paman sudah pulang dan makanan sudah siap. Bibi tadi menyuruhku memanggilmu untuk makan malam” ujarku sambil merebut headphone di tangan Chansung. Dia tak menjawab dan hanya mengangkat bahu sambil melepas kembali headhone di telingaku lalu memakainya.

“Ya…! Kau ini!”

Tanpa sengaja aku melihat kertas merah muda di dekat kaki Chansung. Kertas itu sudah berubah menjadi bola karena sepertinya telah diremas-remas.

“Apa ini?”

Chansung tetap asyik sendiri. Aku membuka kertas itu yang ternyata adalah pamflet iklan audisi di sebuah agensi ternama di Korea. Aku segera tahu, rupanya Chansung masih kecewa karena paman tidak mengijinkannya mengikuti audisi tersebut. Kulihat Chansung mengangguk-angguk pelan mengikuti alunan musik yang suaranya bahkan bisa ikut kudengar.

“Ayyooo… kita makan, aku sudah lapar!” kutarik lengan Chansung dan menyeretnya berdiri. Walau mendengus kesal tapi dia mengikutiku turun ke ruang makan.

Kami makan dengan khidmat seperti biasa. Tapi kulihat Chansung seperti kurang berselera. Dia makan dengan perlahan dan raut wajahnya tampak sedih. Padahal biasanya Chansung sanggup melahap apapun. Paman Hwang yang menangkap gelagat Chansung langsung membuka pembicaraan.

“Chansung-ah, apa kau masih kesal pada appa?” tanya paman yang diikuti pandangan khawatir dari Bibi Hwang. Malam sebelumnya Chansung memang sempat mengutarakan keinginannya untuk mengikuti audisi di agensi ternama yang tadi pamflet iklannya kulihat.

“Anio.” Chansung hanya menjawab singkat tanpa mengalihkan pandangan dari makanannya.

“Kau sakit, Chansung-ah?” bibi yang duduk di sebelah Chansung memegang kening dan pipi anak laki-lakinya itu.

“I’m good, eomma” jawab Chansung sambil memperlihatkan senyum yang tampak dipaksakan.

“Kau paham kan maksud appa kenapa tidak mengijinkanmu mengikuti audisi itu?” tanya Paman Hwang lagi.

“Ne..."

“Hwang Chansung, kau baru masuk sekolah menengah atas. Appa tidak mau sekolahmu terganggu bila seandainya kau lolos audisi itu. Kau tahu kan bagaimana kehidupan di dunia hiburan? Appa hanya ingin…”

“Ne appa, aku mengerti…” Chansung memotong dengan sopan kata-kata Paman Hwang yang mencoba menjelaskan kembali alasan ketidaksetujuannya.

“Ya sudah, makanlah dengan benar” ujar Paman Hwang tanpa memperpanjang perdebatan seolah mengerti kekesalan yang masih dirasakan Chansung.

Meski mengatakan kalau ia mengerti tapi aku yakin jauh di dalam hatinya Chansung pasti sangat kecewa dan sedih. Chansung selalu membicarakan audisi itu sepanjang waktu dan berulangkali mengatakan bahwa ia ingin mencobanya. Menjadi aktor, model, dan entertainer adalah mimpi Chansung sejak kecil. Aku juga sebenarnya bisa mengerti alasan paman yang menginginkan hal terbaik bagi anak semata wayangnya. Namun di sisi lain aku tak tega melihat Chansung kecewa.

Kami kembali ke atas setelah makan malam selesai. Chansung yang berjalan di depanku langsung menutup pintu kamarnya dan mengucapkan selamat malam. Aku tak yakin apa yang akan dia lakukan, tapi tidur selepas makan malam bukanlah kebiasaan Chansung. Lalu aku teringat dengan puding yang tadi sore kubuat. Aku pun kembali turun untuk membawa puding itu dan berharap bisa cukup ampuh untuk menghibur Chansung.

Kukeluarkan sebuah cup bening berbentuk hati dari dalam kulkas. Penampilannya terlihat cantik. Tadi sore aku membuat puding itu setelah melihat sebuah acara memasak di TV yang mendemonstrasikan cara membuat aneka puding. Memang yang kubuat tak sama persis dengan yang dicontohkan chefnya, tapi soal rasa…sepertinya tak akan kalah.

“Channie, boleh aku masuk…?” teriakku dari luar kamar Chansung.


-bersambung-




Angel Spring - Part 1 < Previous                    Next > Angel Spring - Part 3
  

      No comments: